Dua tahun kemudian...
"Aku benar-benar kangen makan daging sapi," keluh Hwa Min sementara ia berjalan bersisian dengan seorang wanita gemuk bernama Nyonya Sian. Dua anak laki-lakinya yang masing-masing berusia tiga dan enam tahun bermain kejar-kejaran mengitari mereka.
"Aduh. Jangan bilang begitu, dong! Mulutku tiba-tiba jadi berair nih—YAH! Nam Jun Ho jangan kencang-kencang nanti jatuh."
Hwa Min tersenyum dan mengulurkan tangannya mencoba menangkap Jun Ho yang berlari ke belakangnya, "Kapan suamimu kembali ke pulau? Kalau dia bawa oleh-oleh daging sapi berikanlah sedikit padaku."
"Mana mungkin sih dia bawa daging sapi!" gerutu Nyonya Sian. "Lalu bagaimana dengan suamimu? Masih belum ada kabar?"
Senyum Hwa Min langsung menghilang. "Belum," katanya sambil menunduk canggung.
"Memang dia melaut ke mana, sih? Sejak kau datang ke sini aku belum pernah melihatnya."
"India," ujar Hwa Min asal, berharap itu cukup logis.
"Serius?"
Hwa Min mengangguk-angguk. Tangannya mengaduk tas belanjaannya untuk mengambil plastik es kelapa dan buru-buru membuka dan menyeruputnya demi menghindari percakapan.
"Heh, Son Hwa Min, sampai ketemu besok, ya." Nyonya Sian akhirnya menarik Jun Ho dan menggendong anak bungsunya, tersenyum berpamitan pada Hwa Min dan berbelok ke jalanan gang menuju rumahnya.
Hwa Min mengawasi kepergian wanita itu dengan getir. Padahal Nyonya Sian merupakan seseorang yang paling dekat dan paling ia percaya di pulau ini, namun Hwa Min tetap saja tak bisa berkata jujur padanya jika tak mau diusir.
Di pulau kecil ini, hanya ada seratus empat belas orang. Mereka adalah orang-orang mandiri yang masih agak konservatif. Seorang wanita yang belum menikah tidak dizinkan untuk tinggal sendiri. Jadi, mau tak mau, Hwa Min pun mengaku sudah menikah. Suaminya sedang melaut dan ia akan segera datang, akunya dua tahun silam, dan sampai sekarang masih belum datang juga. Beruntung para ketua adat belum ada yang menegurnya.
Hwa Min masuk ke pekarangan rumahnya yang mungil dan duduk di teras, memandang laut berhias burung camar dan langit sore yang cerah sambil menghabiskan es kelapanya. Sulit dipercaya, tapi ia benar-benar melakukannya. Ia menyewa rumah di Soyeonpyong dan tinggal di sini tanpa alat komunikasi. Tak ada ponsel. Tak ada laptop. Tak ada televisi. Yang ada hanya dirinya dan hatinya yang berdenyut nyeri, bersama angin yang bersepoi hangat dan alam yang indah seperti lukisan. Berharap delapan tahun segera berlalu dan mungkin bisa menyembuhkan rasa bersalahnya walau sedikit. Berharap apabila sudah waktunya ia kembali ke Seoul, ia akan punya cukup nyali untuk mencari Doyoung dan minta maaf padanya. Dan mungkin, jika Tuhan sedang baik-baiknya, Doyoung akan menerima permintaan maafnya itu dan tidak membencinya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Good Criminals
FanfictionKim Doyoung tiba-tiba menghilang di semester enam dan muncul kembali di TV nasional, sebagai seorang kriminal. Author : Salsa