8

16 0 0
                                    

"Kringgggg." Telepon rumah Cynthia berbunyi. Cynthia menaruh telepon itu di telinganya.

"Halo." Cynthia menyapa seseorang lewat telepon.

"Hai, Cynthia. Ini aku Vina. Nanti ada acara makan-makan  sama Kadita di kafe teras. Kamu ikutan?"

"Iya, aku ikut. Tapi aku mandi dan siap-siap dulu."

"Yaudah, ditunggu."

        Telepon pun mati. Cynthia mengambil handuk dan pakaiannya lalu bergegas ke kamar mandi. Ia pun mandi dan berpakaian. Setelah itu, ia berdandan dan memperbaiki penampilannya. Tak lupa ia membawa tasnya. Cynthia mengambil kunci mobilnya di meja rias kamarnya lalu pergi.

"Cynthia, kamu mau kemana?" Tanya Nofri lembut.

"Bukan urusanmu! Suka hatiku mau pergi kemana. Mau sama laki-laki kek, mau sama perempuan kek, mau sama bencong pun itu urusan aku." Tiba-tiba emosi Cynthia meledak.

"Cynthiaaaaaaaaaa. Abang ini suami kamu. Berhak atas kamu."

"Secara hukum kau memang suamiku, tapi aku tak mau menganggapmu."

"Cynthia, kamu tak pantas berbicara seperti itu kepada suamimu. Tak pernah Ibu ajarkan kamu bicara begitu kepada suamimu." Maria menarik putrinya itu.

"Bodo amat. Udahlah Bu, Cynthia mau pergi." Cynthia melepaskan diri dari ibunya itu.

        Cynthia pun masuk ke dalam mobilnya dan pergi. Nofri dan Maria hanya berharap keajaiban yang bisa merubah sifat Cynthia.

Beberapa menit kemudian

        Cynthia sampai di depan kafe teras yang dikatakan Vina tadi. Ia memarkirkan mobilnya lalu turun untuk menemui Vina dan Kadita. Mereka pun berkumpul di meja. Seorang pelayan memberikan buku menu kepada mereka.

"Pesan apa, Kak?"

"Bakso daging sapi tiga porsi, jus belimbing satu, jus terong belanda satu, jus jeruk kasturi satu. Semuanya tidak usah ada yang pakai es, Kak."

"Oke."

        Pelayan tersebut pergi ke dapur untuk menyuruh koki agar mengerjakan pesanan Vina, Cynthia, dan Kadita. Koki tersebut melaksanakan pesan dari pelayan tadi. Sambil menunggu makanan, mereka bertiga bercerita tentang masalah mereka masing-masing. Baik masalah keuangan, rumah tangga, dan berbagai macam lainnya.

"Cynthia, bagaimana kamu sama suamimu?" Vina menepuk pundak Cynthia.

"Aku nikah sama dia karena terpaksa. Itu paksaan orang tuaku karena mereka tau aku putus sama Federico. Aku itu gak cinta sama dia. Sama sekali enggak."  Kata Cynthia dengan penuh kebencian.

"Ngapain nikah kalau ujung-ujungnya tak bahagia?" Kadita memegang tangan Cynthia.

"Iya juga ya."

"Mending kamu ceraikan aja dia Cyn." Usul Vina kepada Cynthia.

"Sebenarnya maunya begitu. Cuman nanti dia mengadu yang enggak-enggak sama orang tuaku." Kata Cynthia dengan ekspresi sedih.

"Yang sabar kamu ya, Cyn." Kadita dan Vina merangkul Cynthia.

"Makasih semua." Cynthia membalas rangkulan mereka.

        Pelayan tersebut mengantarkan pesanan mereka dan memberikannya kepada orangnya masing-masing.

"Semuanya kena enam puluh ribu rupiah, Kak." Pelayan tersebut memberikan tagihan kepada Kadita.

        Vina memberikan uang pas kepada pelayan itu. Pelayan itu pun pergi membawa nampan tersebut. Mereka pun makan dengan lahap. Tak sampai lima belas menit, makanan itu sudah habis dan minuman sudah kosong.

"Lahap banget kalian makannya. Kalian kelaparan ya?" Cynthia heran melihat mangkuk dan gelas mereka kosong dengan cepat.

"Eleh, macem dia enggak aja." Ledek Kadita.

"Aku bukan kelaparan cuman pengen aja." Cynthia menutupi bahwasanya dia lapar dan malas makan bersama Nofri di rumah.

"Bacot lu." Timpal Vina.

"Eh, kita jalan-jalan lagi yuk." Ajak Cynthia.

"Kemana?" Tanya Kadita.

"Ke mall main timezone."

"Oke deh." Vina mengangguk.

        Mereka pergi meninggalkan kafe teras. Setelah itu, mereka masuk ke dalam mobil masing-masing. Cynthia sendiri sedangkan Vina dan Kadita berdua lantaran rumah Vina tidak jauh dari rumah Kadita. Cynthia membawa jalan sementara Vina dan Kadita mengikuti Cynthia dari belakang.

"Nah, sudah sampai." Kata Cynthia tersenyum.

"Yuk buruan." Kadita merangkul Cynthia dan Vina.

        Mereka mengunci mobil masing-masing dan masuk ke dalam lokasi timezone. Mereka mendatangi sebuah meja kasir disana.

"Sini kartu dan uang kalian." Cynthia meminta kartu timezone dan uang seratus ribu per orang kepada Vina dan Kadita.

        Vina dan Kadita memberikan kartu timezone dan memberikan uang mereka. Satu orang mengisi seratus ribu. Begitu juga dengan Cynthia. Ia menyodorkan kartu dan uang itu kepada sang kasir.

"Masing-masing seratus ribu, Kak?" Tanya kasir tersebut sopan.

"Iya, Mas." Vina mengangguk.

        Kasir timezone itu pun mengisi saldo mereka. Mereka mengambil kartu timezone dari tangan sang kasir. Mereka memainkan permainan yang mereka sukai seperti basket, tiket, hoki, balap motor, balap mobil, dan lain-lain. Tanpa mereka sadari, malam telah tiba. Mereka keluar dari lokasi timezone karena mau pulang.

"Vina, Kadita, aku mau pulang dulu. Dah capek, ngantuk." Cynthia berpamitan kepada Vina dan Kadita.

"Yaudah, hati-hati ya Cynthia sayang." Mereka berpelukan.

"Iya, makasih waktunya." Cynthia melambaikan tangannya.

        Cynthia memasuki mobilnya dan meninggalkan lokasi timezone. Ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Untung saja jalanan tidak ramai dan tak ada hambatan di depannya. Cynthia pun tiba di depan rumahnya. Ia memasukkan mobil itu ke dalam garasi dan turun. Setelah itu, ia memasuki rumahnya dalam keadaan mengantuk.

"Dari mana kamu?" Kali ini nada suara Nofri meninggi  dan menarik tangan Cynthia karena melihat Cynthia pulang ke rumah larut malam.

"Heboh banget sih nanya urusan pribadi orang." Cynthia mendorong Nofri hingga terjatuh.

"Cynthia, sadar Cyn. Aku ini suami kamu. Wajar dong aku ingin tahu apa yang kamu kerjakan." Nofri menyandarkan tubuh Cynthia ke tembok.

"Jawab pertanyaan Nofri!" Bram memarahi putrinya itu.

"Ayah, Ibu, mending nggak usah ikut campur deh. Urus aja urusan kalian! Cynthia mau tidur, capek, ngantuk." Balas Cynthia dengan penuh kemarahan.

"Cynthia, kamu belum jawab pertanyaan Abang." Nofri menghampiri Cynthia dan berteriak di telinganya.

"Udah deh, percuma aku ngomong samamu. Nggak ada ujungnya dan aku tak akan pernah menang." Cynthia meninggalkan Nofri dan bergegas ke kamarnya.

"Sabar ya menantuku yang baik." Bram merangkul pundak Nofri.

"Iya, Yah." Nofri mengangguk.

Nofri, Maafkan CynthiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang