"Bang, Abang." Cynthia berteriak memanggil Nofri. Namun Nofri agak terlambat datang kepada Cynthia.
"Ada apa Cynthia? Kok teriak?" Tanya Nofri dengan penuh kelembutan.
"Dipanggil kok lelet banget." Cynthia memarahi Nofri.
"Maaf ya, Cynthia. Abang habis pulang kerja. Jadinya Abang istirahat dulu." Ujar Nofri.
"Aku mau minum. Ambilin dong. Yang dingin ya!" Cynthia memerintah Nofri bak pembantu rumah tangga.
Nofri mengambil segelas air dingin di dalam kulkas. Ia memberikan gelas itu kepada Cynthia. Cynthia menenggak air itu.
"Apa? Udah sana!" Cynthia menyuruh Nofri untuk tidak di depan matanya.
Nofri meninggalkan Cynthia di dapur. Ia hanya bisa bersabar menghadapi tingkah Cynthia. Meskipun demikian, ia tak pernah membenci Cynthia apalagi dendam. Nofri bisa saja meminta cerai kepada Cynthia. Tetapi ia tidak mau melakukannya.
"Cynthia kenapa, kok diem-diem bae?" Tanya Maria kepada putrinya yang sedang merajuk.
"Cynthia lagi malas, Bu. Apalagi liatin mukanya dia tu." Cynthia terlihat sangat jutek.
"Nofri itu suamimu. Kamu harus menyayanginya, Cynthia. Dia baik sama kamu, Cyn. Jangan sekali-sekali kamu membentaknya apalagi menyakitinya. Allah marah sama Cynthia nanti." Kata Maria panjang lebar guna untuk menasihati putrinya itu.
"Astaghfirullah, jawaban apa itu?" Bram sangat emosi mendengar perkataan putrinya.
"Ya jawaban hati dong, Ayah." Cynthia menjawab santai kepada ayahnya.
"Kamu sudah dirasuki oleh jin ifrit."
"Cynthia bukan jin ifrit, Ayah. Cynthia tetap Cynthia, Ayah."
"Sudah, jangan ribut! Malu sama tetangga." Maria melerai perkelahian Bram dan Cynthia.
"Hei, Cynthia. Kamu sudah menyakiti hati Nofri, kamu sudah tidak menghargainya sebagai suamimu. Mungkin sekarang kamu bisa senang di atas kesakitan dan penderitaan Nofri. Awas kamu menyesal. Semoga saja Allah mengampuni dosa-dosamu, Cynthia Zaurina putriku." Bram menunjuk putrinya itu.
Cynthia merasa malas dan pergi meninggalkan orang tuanya. Bram dan Maria hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah putrinya itu. Nofri berada di sebuah kamar kosong. Tiba-tiba, ia merasakan sesak di dadanya. Untung saja ia membawa inhaler dan menghirupnya. Ia mengantongi inhaler itu dan keluar dari kamar kosong itu.
"Nofri, kamu mau kemana?" Tanya Maria heran. Karena tidak biasanya Nofri keluar rumah kecuali bekerja.
"Bentar, Bu. Mau ke rumah teman." Nofri mencium tangan Maria.
"Yaudah, hati-hati."
Nofri berbohong kepada Maria dan Bram. Sebenarnya ia bukan mau ke rumah temannya. Melainkan ia memeriksakan dirinya ke rumah sakit untuk mendeteksi penyakitnya. Karena ia tidak mau orang yang di rumah Cynthia itu tahu ia sakit tak terkecuali Cynthia.
"Bagaimana hasilnya, Dok?" Nofri gugup akan mendengar hasil pemeriksaan.
"Begini, saudara Nofri. Anda terkena asma akut. Anda tidak boleh merokok, kelelahan, meminum olahan susu, dan makanan berpengawet." Dokter tersebut memberitahu dengan terpaksa.
"Jadi ini bisa disembuhkan, Dok?" Nofri merasa ketakutan.
"Bisa, asalkan kamu tidak melanggar pantangan itu dan tidak kelelahan. Ini saya beri resepnya."
"Terima kasih, dokter." Nofri menjabat tangan dokter tersebut.
"Sama-sama."
Nofri meninggalkan rumah sakit dan pulang ke rumah. Ia terus berbicara dalam hatinya bahwa orang yang di rumah itu tidak boleh tahu bahwasanya dia sakit terutama Cynthia. Ia tidak mau Cynthia sedih karenanya, ia tidak mau Cynthia menjadi tidak bebas berkarya karena ia sakit. Ia sangat tidak mau merepotkan Cynthia.
"Nofri sudah pulang?"
"Sudah, Ayah." Nofri mencium tangan Bram.
"Kalau kamu lelah istirahat dulu." Bram menepuk pundak Nofri.
Nofri mengangguk. Ia memasuki kamar kosong itu. Untung saja ada sebotol air putih di meja kamar kosong itu. Jadi kalau dia ingin meminum obat pun tidak perlu mengambil air di dapur.
"Ya Allah, kuatkanlah aku. Sembuhkan penyakitku. Aku nggak mau Cynthia-ku menangis karena aku, angkatlah penyakit ini agar aku bisa terus bersama Cynthia-ku. Aku sayang Cynthia-ku ya Allah." Nofri berdoa dalam hatinya sambil menatap beberapa bungkus obat yang diberikan dokter tadi.
Nofri mengambil beberapa butir obat itu lalu meminumnya. Ia merasa agak sehat berkat obat tadi. Ia berharap obat itu akan membuatnya terus bisa bersama Cynthia-nya.
"Bang, sinilah." Cynthia berteriak dari kejauhan.
"Ya, Cynthia Zaurina?" Nofri menyahut panggilan Cynthia.
"Buatkan makanan untukku! Aku lapar." Perintah Cynthia kepada Nofri.
"Iya sayang." Nofri mengelus kepala Cynthia.
"CEPAT!!"
"Nofri itu suamimu, bukan pembantumu!" Bram menyambung pembicaraan putri dan menantunya itu.
"Alah, Ayah itu ngomongnya asik itu-itu aja. Kuping Cynthia ini panas dengarnya, Ayah. Cynthia muak mendengar yang begitu."
"Ayah lebih muak lagi melihat tingkahmu, Cynthia Zaurina." Bram ingin menampar putrinya itu.
"Sudah, Ayah. Nggak ada gunanya terus melayani Cynthia." Nofri menahan tangan ayah mertuanya itu agar tidak menampar Cynthia.
Nofri membuatkan sepiring nasi yang berisi sayur capcay, udang goreng, perkedel kentang, dan lain-lain. Ia menaruh makanan itu di meja dan memberikannya kepada Cynthia.
"Nah gitu dong." Cynthia mengambil sendok dan garpunya di meja.
Cynthia memakan makanan yang dibuatkan Nofri untuknya. Bram dan Maria merasa emosi melihat putri mereka yang sedang makan itu. Mengapa demikian? Karena makanan itu Nofri yang membuatnya dan Cynthia mendapatkannya dengan memerintah Nofri secara kasar. Bahkan lebih kasar daripada seorang pembantu rumah tangga (PRT).
KAMU SEDANG MEMBACA
Nofri, Maafkan Cynthia
General FictionCynthia Zaurina dan Nofriansya adalah sepasang suami istri yang usianya berjarak empat tahun. Tetapi, Cynthia tidak mencintai Nofri. Ia menikah dengan Nofri lantaran paksaan orang tuanya. Ia selalu kasar dan membangkang kepada Nofri. Bahkan ia tak p...