17

27 0 0
                                    

         Jam menunjukkan pukul 05.00. Adzan mulai terdengar indah di telinga. Cynthia terbangun dari tidurnya dan bergegas mengambil wudhu di kamar mandi. Setelah itu, ia melaksanakan sholat subuh dua rakaat.

"Ya Allah yang Maha Pengampun, ampunilah dosa-dosaku. Sembuhkanlah penyakit Bang Nofri ya Allah. Berikanlah aku kesempatan kedua untuk berbakti sama Bang Nofri. Aku sayang sama dia ya Allah." Cynthia berdoa sambil menangis.

         Cynthia melepas mukenanya lalu melipatnya bersamaan dengan sajadahnya. Bu Emi datang ke kamar Nofri yang dipakai Cynthia.

"Cyn, dah siap sholat?" Emi mengelus kepala menantunya itu.

"Udah, Bu. Cynthia baru aja." Cynthia merapikan perlengkapan sholatnya.

"Kamu hari ini mau ke rumah sakit?"

"Mau, Bu. Kalo bisa Cynthia sendiri aja."

"Yaudah, kamu siap-siap."

"Iya, Bu. Pakaian udah Cynthia gantung di kamar mandi. Ini tinggal mandi aja Bu."

        Cynthia pun mandi. Setelah itu, ia bersiap-siap mau ke rumah sakit. Kali ini ia tidak memesan kendaraan online. Ia dipinjami mobil oleh Eko.

"Nah, Cyn. Ini kuncinya. Kamu bisa menyetir?" Eko memberikan kunci mobil kepada Cynthia.

"Bisa, Ayah." Cynthia mengangguk dan mengambil kunci mobil itu dari tangan Eko.

        Cynthia memanaskan mobilnya agar tidak mogok di jalan. Setelah itu, ia berpamitan dengan Eko dan Emi lalu pergi. Di sepanjang jalan, hanya satu nama yang ia pikirkan. Yaitu suaminya sendiri, yang tak lain adalah Nofriansya.

         Sesampainya di rumah sakit, ia memarkirkan mobilnya dan masuk ke rumah sakit itu melalui jalur lift agar cepat sampai. Tidak membutuhkan waktu lama, ia melihat seorang dokter dan perawat sedang memeriksa kondisi Nofri. Cynthia masuk ke ruang rawat Nofri lalu duduk di sofa.

"Dokter, tadi suami saya sudah sadar?" Cynthia ingin tahu kondisi terkini suaminya.

"Masih koma, Kak." Dokter itu menepuk bahu Cynthia.

"Terima kasih, Dok."

"Sama-sama, kami permisi." Dokter dan perawat itu meninggalkan Cynthia di ruang rawat Nofri.

"Silakan."

        Sepeninggal dokter dan perawat itu, Cynthia menggenggam tangan Nofri yang tertancap selang infus. Sambil menangis, ia mencium kening dan pipi Nofri. Ia melepas sandalnya dan meletakkan tasnya di sofa. Kemudian ia merebahkan diri di samping Nofri. Tak lupa ia menggenggam tangan Nofri yang tertancap infus itu. Karena kelelahan, akhirnya Cynthia tertidur hingga akhirnya ia lupa melepas kacamatanya. Kepalanya ia sandarkan tepat di bahu Nofri.

Tiga jam kemudian

        Tangan Nofri bergerak dan matanya terbuka. Tangannya yang tak tertancap selang infus melepaskan kacamata Cynthia dari matanya lalu menaruhnya di meja samping ranjang. Tangannya yang tertancap infus membelai rambut dan punggung Cynthia. Nofri mencium kening dan pipi Cynthia.

"Cy-Cynthia Zaurina." Nofri menyebut nama Cynthia.

        Cynthia terbangun dari tidurnya. Ia terkejut melihat Nofri sudah sadar dan tersenyum. Apalagi baru-baru ini telah memanggil namanya secara lengkap. Ia langsung memencet bel di samping tempat tidur Nofri guna untuk memanggil dokter bahwa Nofri sudah sadar agar mendapatkan penanganan medis lebih lanjut. Dokter dan perawat pun datang. Ia melihat perkembangan kondisi Nofri. Syukurlah sudah banyak mengalami peningkatan daripada kemarin.

"Alhamdulillah, Abang udah sadar." Cynthia mengira itu adalah mimpi.

"Iya, sayang. Cynthia Zaurina yang cantik." Nofri berbicara walaupun terhalang masker oksigen. Namun Cynthia mendengar suara Nofri.

"Terima kasih ya Allah, udah kabulkan doaku."Cynthia bersujud syukur.

        Orang tua dan mertua Cynthia pun datang. Mereka senang melihat kondisi Nofri telah sadar dari komanya. Cynthia menatap Nofri lekat dan ingin mendekatkan wajahnya ke wajah Nofri. Namun terhalang oleh masker oksigen.

"Cyn, sini dulu." Nofri memberikan isyarat.

"Kenapa, Abangku tersayang?" Cynthia tak ragu untuk mendatangi Nofri.

        Nofri memegang tangan Cynthia lalu meletakkannya ke dadanya. Cynthia heran apa maksud Nofri melakukan itu kepadanya. Satu lagi tangan Cynthia mengelus rambut Nofri yang sudah mulai tumbuh panjang.

"Apa maksud Abang ke Cynthia?" Cynthia heran akan perbuatan Nofri kepadanya.

"Cyn, rasakanlah detak jantung Abang di tanganmu. Bagaimana nanti ketika detak jantung dan hembusan napas Abang berhenti." Tangan Nofri yang satu lagi memegang kepala Cynthia.

"Abang jangan bicara begitu. Abang pasti sembuh." Cynthia menjatuhkan air matanya.

"Kalau Cynthia mau Abang cepat sembuh, Cynthia berdoa."

"Selalu, Bang." Cynthia mencium kaki Nofri.

"Kenapa Cynthia mencium kaki Abang?" Nofri terkejut dengan apa yang dilakukan Cynthia.

"Cynthia sudah jahat sama Abang, Cynthia sudah berdosa dan durhaka sama Abang. Sekarang Cynthia sadar, Bang. Kini surga Cynthia sudah di telapak kakimu, Bang." Cynthia mengakui semua kesalahannya selama ini

"Cyn, kalau mau bersujud itu sama Allah Cyn. Jangan sama Abang. Abang selalu membuka pintu maaf untuk Cyn Cyn yang Abang sayangi. Manusia itu tak ada yang tak bersalah, manusia itu tak ada yang tak berdosa. Sedangkan manusia yang dosanya sudah menumpuk aja Allah mau memaafkannya. Kenapa Abang tidak?"

"Alhamdulillah ya Allah, terima kasih telah memberikan kebahagiaan dan kesempatan bagi putra-putri kami." Emi bersujud syukur.

"Ayah, Nofri mau duduk." Pinta Nofri kepada ayah mertuanya.

"Iya, sebentar." Bram menyahut permintaan Nofri.

        Eko mengatur posisi tempat tidur. Cynthia membantu Nofri untuk duduk. Cynthia mengelus punggung dan rambut Nofri. Cynthia begitu menyayanginya.

"Cyn, Abang mau minum." Pinta Nofri sambil menarik tangan Cynthia yang penuh dengan gelang karet.

"Sabar, sayang." Respon Cynthia.

        Cynthia mengambil gelas di meja lalu mengisinya dengan air. Tak lupa ia memasukkan sedotan ke gelas itu agar saat minum nanti air itu tidak tumpah ke tubuh Nofri. Cynthia membuka masker oksigen itu lalu menyuapi minuman kepada Nofri.

"Terima kasih, sayangku yang cantik." Ucap Nofri kepada istrinya itu.

"Sama-sama, sayang. Walaupun Abang sakit, tapi Abang tetap tampan di mata Cynthia." Cynthia meyakinkan Nofri, namun ia tidak berbohong. Melainkan itu adalah isi hati yang ia ungkapkan.

"Benarkah?" Nofri tak percaya dengan penuturan Cynthia.

"Iya, sayang. Sumpah." Jari telunjuk dan tengah Cynthia mengacung membentuk huruf V.

"Maria, syukurlah Cynthia sudah berubah menjadi istri yang baik." Bram sangat bersyukur melihat perubahan sikap putrinya itu.

"Iya, Bram. Federico itu bukan manusia. Hampir saja Nofri kehilangan nyawa gara-gara dia. Untung saja dia dipenjara dan tidak jadi menikah dengan Cynthia." Maria juga bersyukur. Bukan hanya karena perubahan pada sikap Cynthia, ia juga bersyukur karena Cynthia tidak menikah dengan Federico.

"Tuhan itu baik, Eko." Bram menepuk pundak Eko.

"Memang." Cynthia menyambung pembicaraan orang tua dan mertuanya.

Nofri, Maafkan CynthiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang