Beberapa bulan berlalu. Elaine diam-diam sering memperhatikan Jeffrey. Laki-laki itu benar-benar memberikannya pakaian yang hanya bisa dibeli oleh kalangan bangsawan, perhiasan yang gemerlap, kudapan yang lengkap, mulai dari makanan pembuka hingga makanan pencuci mulut, dan guru-guru yang kompeten untuk mengajarkannya banyak hal. Jeffrey juga memperlakukannya dengan baik, diluar fakta bahwa laki-laki itu sering membutuhkannya untuk memberikan supply darah padanya. Elaine masih sering ketakutan, dan berakhir menangis. Tapi setelah itu, ia mencoba berdamai dengan dirinya, setidaknya dia tidak membunuhku, pikirnya.
"Apakah Mayor belum pulang?"
Elaine yang sedang berjalan di lorong menuju kamarnya, memberanikan diri menatap Hansen dan mengajaknya berbicara. Laki-laki itu agak terkejut, dahinya berkerut samar. Ia berdeham pelan, lalu mengangguk samar.
"Belum, Nona muda."
Elaine lalu mengangguk, ia memiringkan kepalanya, memberikan seulas senyuman.
"Bolehkah saya ke dapur? Saya ingin memasakkan sesuatu untuknya."
Hansen berpikir sejenak, tidak yakin apakah keputusannya benar, karena Jeffrey tidak akan segan-segan menghabisinya jika sesuatu terjadi pada Elaine.
"Boleh saja, tapi pastikan Anda menyelesaikannya sebelum Mayor datang, atau dia akan marah besar."
Elaine mengangguk senang. Ia setidaknya ingin berterima kasih karena Jeffrey memberikannya kesempatan untuk hidup, dan tidak membunuhnya. Ia merasa cukup senang dan perlu berterima kasih. Elaine lalu mengikuti langkah Hansen menuju sisi lain mansion itu, menuju dapur. Pelayan-pelayan lain tampak menatapnya dengan takut, mengingat Nona Muda itu adalah kepala keluarga jika Jeffrey tidak ada.
"Ah, teruskan saja pekerjaan kalian. Aku hanya... ingin memasak sedikit."
Elaine berusaha tersenyum dan mengeluarkan suaranya, namun pelayan-pelayan di dapur itu masih menghentikan aktivitas mereka.
"Maaf, Nona, apakah Anda ingin memakan sesuatu? Kami akan menghidangkannya untuk Anda."
Seorang pelayan menghampirinya, menanyakan sesuatu kepadanya. Elaine menggeleng, lalu tersenyum simpul.
"Saya hanya ingin memasakkan sesuatu untuk Mayor. Jadi, bisakah kamu membantu?"
Ia menggandeng lengan pelayan yang usianya terlihat beberapa dekade lebih tua darinya itu, dan pelayan itu perlahan mengangguk. Hansen yang memperhatikan dari sudut ruangan hanya bersandar pada dinding, sambil membiarkan Elaine mengerjakan apa yang gadis itu inginkan. Sempat terlintas di benaknya jika mungkin Elaine memiliki niat membunuh Jeffrey, tapi sepertinya gadis itu tidak berniat demikian. Elaine juga tahu bahwa Jeffrey bukan makhluk yang mudah dibunuh.
Setelah cukup puas memperhatikan Elaine, Hansen berbalik dan berjalan menuju pintu utama. Seharusnya ini adalah saat-saat kepulangan Jeffrey. Baru saja ia hendak membuka pintu besar itu, kedua pelayan sudah lebih dulu membukanya dari luar. Jeffrey benar-benar telah tiba. Masih mengenakan seragam militernya dan juga cloak berwarna biru gelap yang terpasang di tubuhnya, laki-laki itu lalu berhenti setelah langkah ketiga memasuki kediamannya. Hansen dengan cekatan segera melepaskan cloak yang masih melingkari tubuh Jeffrey, dan menyerahkannya ke pelayan lain.
"Di mana Elaine?" tanyanya dengan suara rendah.
"Dapur, Tuan Muda," jawab Hansen setelah ia meloloskan dehaman kecil.
Jeffrey hanya menoleh ke arah Hansen dengan tatapan tajam, meminta penjelasan.
"Ah, Nona mengatakan bahwa ia ingin memasak untuk Tuan Muda," ucapnya.
Jeffrey lalu bergegas melangkah ke arah dapur kediamannya, diikuti Hansen yang melangkah tak kalah cepat. Ia membuka pintu dapur dengan kencang, diiringi debaman yang sanggup membuat seisi dapur berjengit atas kehadirannya. Semua pelayan dapur sontak menghentikan aktivitas mereka dan menunduk, tidak berani menatap Jeffrey. Matanya menelusuri seisi dapur yang luas, untuk mendapati Elaine yang sedang sibuk menyiapkan kudapannya. Gadis itu menoleh takut-takut, namun ia mengamati Jeffrey yang terlihat lebih sehat setelah ia memberikan 'supply' untuk laki-laki itu, beberapa waktu lalu. Ini kali pertama Elaine melihat Jeffrey setelah keberhasilannya menaklukkan Benteng Ivanderz. Seharusnya laki-laki itu terluka parah, namun darah Elaine mempercepat penyembuhannya.
"Sedang apa kamu?"
Jeffrey bertanya dengan nada tegas yang tak terbantahkan. Elaine menatap Jeffrey dengan perasaan campur aduk, yang di dominasi rasa takut.
"Menyiapkan makanan, tuan muda," gadis itu menyahut dengan suara pelan.
"Saya sudah bilang, itu bukan tugas kamu. Itu tugas Greta sebagai kepala koki. Pergi ke kamar, sekarang. Saya akan minta pelayan membawakan makanan untuk kita."
Elaine tidak memiliki keberanian untuk membantah ucapan Jeffrey. Ia lalu perlahan berjalan meninggalkan dapur dengan kepala tertunduk. Gadis itu tiba-tiba hampir terjatuh karena tubuhnya yang mendadak lemas dan kepalanya yang sakit, namun Jeffrey dengan sigap merengkuh Elaine agar tidak jatuh. Sedetik kemudian, laki-laki itu sudah membawa Elaine dalam gendongannya. Elaine bisa merasakan aroma khas citrus menguar dari Jeffrey, wangi yang entah kenapa bisa sedikit menenangkannya.
"Kamu tidur dengan saya malam ini. Saya harus bertanggung jawab karena saya yang membuat kamu jadi lemas seperti ini," ucapnya dengan pelan, namun Elaine hampir yakin orang lain masih bisa mendengarnya. Gadis itu mulai takut orang lain akan salah sangka. Pipinya merona.
Laki-laki itu merengkuh Elaine semakin erat dan berjalan menjauh dari dapur. Elaine merasa tubuhnya gemetar dan jantungnya yang berdetak lebih cepat karena ketakutannya berada di ruangan yang sama dengan Jeffrey Dryomov untuk waktu yang cukup lama. Keselamatannya dipertaruhkan. Untuk apa Sang Mayor membawanya tidur dalam ruangan yang sama dengannya? Bayangan Elaine yang tewas di tangan Jeffrey membuatnya semakin ketakutan, hingga ia tidak sadar ia sudah berada di tempat tidur Jeffrey, dengan laki-laki itu yang berada di sampingnya. Entah sejak kapan laki-laki itu melepas baju militernya, menyisakan kemeja putih yang lengannya ia gulung hingga mendekati siku, dan celana panjang berwarna hitam.
"Tenang, kamu aman bersama saya. Dalam pelukan saya. Tidak ada yang sanggup melukai kamu selama ada saya," bisik Jeffrey sambil menatap Elaine dengan intens.
Jeffrey lalu memeluk gadis itu, sangat erat. Wajah Elaine memanas. Perlahan ia meremas kemeja Jeffrey, sambil merapal doa agar dirinya tetap hidup di tangan Jeffrey, setidaknya hingga esok. Malam itu, mendadak keduanya melupakan makan malam yang seharusnya mereka santap sebelum tidur. Namun, siapa yang tahu bahwa keduanya tertidur dengan perasaan aman dan senyuman sepanjang malam mereka.
-----------------
Halo, kangen?
Pasti kaget saya tiba-tiba update, HAHAHAHA.
Maaf banget ya, karena saya menghilang lamaaa sekali. Sampai banyak yang bertanya via Twitter atau DM tentang kapan saya akan update The Major. Tapi ya, banyak sekali kendala dan saya akan slow update.
Anyway, kalau ada apa-apa, reach me on @/duskintherains di Twitter, ya! Semua username @/duskintherain kecuali di Wattpad bukan milik saya. Saya sudah meminta baik-baik untuk dikembalikan karena dulu saya memakai username tersebut tapi tidak pernah direspon. Username duskintherain saya dilock oleh seseorang untuk username Twitter dan Instagram, entah siapa yang melakukannya.
Sekian, terima kasih. Selamat malam!
See you on the next chapter!
KAMU SEDANG MEMBACA
The Major
Historical Fiction2ND PRE-ORDER STARTS 15TH AUGUST! BOOK VERSION RELEASED. The first book before The Monarch's Vagary and Death Hymn of The Siren. Battlefield. His life belongs to the battlefield. A skilled swordsman and marksman, Jeffrey Dryomov, sang Mayor Jenderal...