BAB 3

2.3K 85 0
                                        

Aku menangis. Meratapi selembar kertas undangan simple cutting di tanganku. Meski kelihatannya undangan itu menarik pun nggak bisa tangisanku ini berhenti. Yang ada saat melihat deretan nama yang tertera di sana dengan tinta emas itu malah bikin air mataku tumpah ruah.

Regita Pertiwi
(Putri kedua Bpk. Anas Ilham dan Ibu Nasriyah)

dengan

Fabian Samudra
(Putra Pertama Bpk. Heri Santosa dan Ibu Melati Admadja)

Meski sudah kulihat berkali-kali pun tetap saja aku nggak percaya bahwa nama yang tertera itu adalah benar namaku. Beneran deh, rasanya kayak habis kesambar petir di siang bolong!

Setelah capek nangis, aku langsung mengusap habis bekas air mataku di pipi. Percuma juga sih menangis, toh keadaan juga nggak akan berubah begitu aja setelah aku menangia begini.

Tadi Om Heri bilang, persiapan pernikahan ini udah mau selesai. Pakai WO jadi prosesnya bisa lebih cepet. Mungkin sekitar 90% sementara pernikahan itu akan diadakan dua minggu lagi.

Gila ya, baru aja beberapa saat lalu aku mengutuk siapapun itu yang akan jadi istrinya Bian kelak. Nahas banget, kenapa bisa aku coba yang bakal jadi istrinya. Huhu, nggak mauuuu!!

Sebenarnya aku merasa ada yang aneh sih dari pernikahan dadakan ini. Soalnya, aku merasa nggak pernah dapat informasi apa-apa soal ini, bahkan persetujuan basa-basi untuk mau dijodohkan aja nggak ada. Selama di Singapura aku merasa tenang-tenang aja kok. Ayah dan Ibu juga nggak pernah bicara apa-apa. Begitu juga Mbak Citra dan Mas Aji yang nggak pernah mengungkit hal ini. Bukannya kalau soal pernikahan kayak gini tuh harus pakai persetujuan dulu ya? Atau... memang pernikahan ini yang disebut kawin paksa?! Makanya, aku nggak dikasih tau apa-apa dan langsung ditodong buat nikah kayak gini!

Nggak, nggak, nggak! Pokoknya nggak bisa!! Nggak boleh!!!

Aku nggak boleh nikah sama Bian! NGGAK BOLEH!! TITIK!!!

Ah, yaa Allah... gimana coba ini cara aku mencegah hal creepy ini biar nggak terjadi? Aku harus gimana??

Ogah banget aku sih kalau beneran harus nikah sama Bian, si cowok kampret bin kurang ajar itu. Amit-amit!

Duhhh, ayo dong, Rere... berpikir, berpikir! Ayo otak, berpikirlah bagaimana caranya aku bisa menggagalkan pernikahan ini biar nggak akan terjadi! Mumpung undangan itu belum sama sekali disebar ke mana-mana nih, aku harus bisa gerak cepat!!

Daritadi aku bolak-balik di kamar sambil berpikir keras. Nggak tau nih, akal bulusku yang biasanya jalan terus kenapa tiba-tiba hari ini macet coba. Beneran deh, otak ini kenapa nggak bisa berfungsi disaat aku lagi butuh banget kayak gini. Huh!!

Eh, tunggu deh!

Bian.

Iya, Bian. Bukannya dia juga anggap aku musuh ya? Artinya kalau dia waras, nggak mungkin dong mau-maunya dinikahin sama aku yang notabene adalah musuh bebuyutannya. Toh, dia kan selalu bilang juga kalau dia nggak suka liat aku. Nggak suka liat berarti kan dia benci aku banget kan ya? Gila, kalau dipikir-pikir sebenarnya aku ini salah apa coba sama dia. Bisa-bisanya dia bilang kayak gitu, padahal yang lebih cocok ngomong kayak gitu cuman aku. Karena semasa SMA dulu akulah yang jadi korban bully-annya.

Ish, kalau diingat-ingat lagi, aku jadi makin benci sama dia. Apalagi kalau inget kata-katanya yang negasin kalau dia bener-bener nggak suka liat aku, bahkan buat sekedar papasan sekalipun. Heuh, dasar orang nggak jelas! Cowok kampret!

Aduh, Rere... bukan saatnya maki-maki dia. Itu nggak penting! Yang lebih penting adalah harus gerak cepat biar pernikahan itu bisa gagal!

Nggak ada waktu lagi. Aku harus ngomong ini sama Bian. Putar siasat. Kerjasama sama musuh sendiri biar rencana ini sukses nggak masalah kan? Toh, ini juga buat kepentingan bersama.

Nikah Tapi Musuh (Old Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang