BAB 9

1.9K 88 8
                                    

Semalam, aku mikirin Uti sampai ketiduran. Pas bangun tau-tau waktu subuh udah datang. Ibu yang bangunin aku sambil ngetuk-ngetuk pintu kamarku biar aku bergegas solat dan mandi.

Pagiku hari ini bener-bener hectic. Aku sampai pusing sendiri lihat Ibu dan Mbak Citra mondar-mandir terus di depanku. Ribet sendiri entah yang ngurus gaun, hubungin MUA, nelponin sanak saudara dan lainnya. Mas Aji juga nggak jauh beda. Daritadi nggak ada habisnya Mas Aji ngomong sama lawan bicaranya di telepon. Lain hal sama Ayah yang kelihatannya adem ayem aja sambil manasin mobil karena emang mau dipakai.

Jangan salahkan aku yang cuman duduk diam menunggu adanya instruksi. Lagian, aku kan emang nggak tau apa-apa soal pernikahan ini. Masalah akad yang berlangsung jam berapa pun aku nggak tau. Yang aku tau akadnya akan dilaksanakan pagi ini aja. Ya, kalau nggak jam 9 mungkin jam 10. Entahlah aku juga nggak tau pastinya jam berapa.

Kelihatan banget nggak niatnya ya? Emang. Siapa pula yang niat kalau nikahnya bareng musuh sendiri.

Huft. Nggak nyangka, inget kalau bentar lagi akad, jantungku tiba-tiba aja jadi maraton sendiri. Aduuhh, meskipun nikahnya sama musuh tapi gimana ya. Kalau ngebayangin ketika namamu disebut saat ikrar sakral yang disebut ijab qobul itu terjadi, bagaimana pun keadaannya, gugup itu pasti ada. Lebih-lebih kalau keadaannya seperti aku ini. Nikah sama orang yang paling nggak disuka pasti rasanya lebih nyiksa dari biasanya.

Pukul 06.10 pagi kami akhirnya berangkat. Ayah, Ibu dan aku berangkat lebih dulu. Sementara Mbak Citra dan Mas Aji menyusul kami setelah menyelesaikan beberapa urusan.

Lalu, di sinilah aku berada.

Duduk di depan sebuah cermin besar disebuah ruangan serbaguna yang ada di sisi belakang Masjid. Termangu menatap diri yang ternyata bisa cantik juga akibat polesan makeup yang menarik berbalut gaun putih lengkap dengan segala perhiasannya.

Pada akhirnya, pernikahan ini benar-benar terlaksana. Lihat lah aku, secara kasat mata orang yang melihat aku adalah pengantin yang sudah sangat siap buat menikah!

Sebenarnya dari lubuk hati terdalam, aku merasa senang karena pada akhirnya aku bisa mancapai fase ini. Fase dimana titik awal dari sisi lain dunia hidupku akan dimulai. Namun, ketika aku ingat kalau Bian lah yang akan menjadi calon imamku, hatiku kembali nggak tenang. Bisa dibilang sebagian hatiku senang tapi sebagian yang lagi nggak. Bimbang. Aku ini emang sungguh sedang dilanda dilema yang parah!

Ah, jadi... benar Bian ya yang bakal jadi suamiku?

Aku mendesah panjang. Membayangkan wajah Bian, mendadak perasaanku jadi berat.

Huft.

"Rere!"

Aku menoleh. Mendadak terkejut sekaligus senang melihat kehadirannya yang kini menatapku dengan senyum sumeringah.

"Qinaaa!!"

Qina, teman akrabku atau lebih asiknya dibilang sahabatku sedari aku SMA itu langsung berhambur memelukku dengan hangatnya. Sama sepertinya, aku juga membalasnya dengan perasaan sama.

"Ya Allah, Re, gue kangeeenn!!"

Kami mengurai pelukan itu. Dan saat aku menatapnya, aku berkata, "Apalagi gue. Gue malah kangen berat sama lo. Habis lo sibuk terus sih?!"

Qina nyengir. "Hehe... maaf deh."

Aku tertawa kecil melihatnya.

Qinari Putri Prasetyo adalah sahabatku semenjak kami sama-sama menjadi murid baru di SMA. Dialah yang dengan setianya menemani hari-hariku saat itu. Boleh dibilang kami selalu berbagi suka duka dalam keadaan apapun itu. Nggak terkecuali pada saat kami berdua sama-sama ditolak mentah-mentah oleh PTN atau pada saat kami sama-sama berusaha mendaftar di kampus yang sama. Uh, emang deh, susah senang kita lalui bersama lah pokoknya!

Nikah Tapi Musuh (Old Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang