BAB 5

1.9K 89 0
                                    

Air mataku nggak habis-habisnya menetes.

Aku duduk menunggu di depan ruangan. Nggak berani masuk. Sambil harap-harap cemas menunggu seseorang keluar dari balik pintu itu dan memberitahukan aku tentang sesuatu kabar yang melegakan. Aku sangat berharap.

Tanganku gemetar sedari tadi. Jantungku berdetak lebih cepat. Rasa bersalah yang teramat besar langsung mengikutiku.

Huhuhu. Aku nyesel. Beneran nyesel. Aku nyesel udah bilang jujur sama Om Heri dan Ayah. Aku nyesel udah ngikutin kata hatiku. Aku nyesel, nyesel senyesel-nyeselnya. Kenapa aku nggak dengerin kata Bian dan malah lebih milih buat mentingin egoku sendiri?!

Sekarang, setelah melihat Om Heri terbaring di Rumah Sakit dengan nyawa yang terancam barulah aku bisa bilang menyesal. Terlambat, Re, terlambat!

Gimana pun, aku udah bahayain nyawanya Om Heri! Huhuhuhu.

Aku menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. Menahan isak tangis penuh penyesalan ini agar nggak bisa kedengaran orang lain.

Rasanya menyesakkan. Dada ini sesak. Aku nyesel, Om... Rere, menyesal, Ayah. Rere bener-bener menyesal.

"Re,"

Panggilan itu langsung bikin aku mendongak menatap seseorang yang berdiri menjulang di hadapanku. Bian dengan wajah kerasnya memandang ke arahku.

Aku tau, Bian pasti marah banget sama aku. Kelihatan gitu dari wajahnya. Dan aku nggak akan protes tentang raut wajahnya itu. Wajar dia marah, karena aku telah membuat Papinya sakit!

Jadi, kejadian tadi adalah seperti ini... tepat saat Om Heri jatuh nggak sadarkan diri, kebetulang banget Bian masuk ke rumah. Aku nggak tau dia datang karena alasan apa, tapi kemungkinan emang dia mau menjemput Papinya pulang. Begitu lah, boleh dibilang, dia melihat Papinya anfal tepat di depan matanya dan itu semua gara-gara aku. Beruntung, Mbak Citra langsung memanggil ambulance dan kami pun bisa membawa Om Heri ke Rumah Sakit dengan cepat.

"Ayo bicara." Kata Bian lagi, lalu berjalan lebih dulu menggiringku menuju ke arah luar lorong bangsal.

Aku mengikutinya dari belakang sambil sesekali mengusap mata atau pipiku yang basah. Aku kira dia akan berhenti tepat di pintu depan bangsal. Tapi ternyata aku salah. Bian masih melanjutkan langkahnya sampai akhirnya kami tiba di sebuah lorong dimana ada sebuah vending machine yang memang terdapat beragam minuman dingin berbagai merk di sana.

"Duduk." Katanya menyeruku sambil mengedikkan dagu ke arah kursi deret yang memang ada di sebelahnya. Anehnya, aku nggak dengar ada nada paksaan dari katanya itu. Nadanya kalem aja gitu, nggak ngotot sama sekali kayak nada dia bicara biasanya.

Tanpa ada niatan membantah, aku duduk di kursi itu yang memang sedang nggak ada orang yang menduduki. Bian nggak lantas ikut duduk bersamaku, dia malah mendekati vending machine itu dan mulai memasukkan uang untuk membeli minuman dingin yang tersedia di sana, entah apa.

Aku nggak tau dia mau ambil apa. Karena sekarang aku nggak lagi berani menatapnya. Aku takut, terlebih karena merasa bersalah. Karena kenyataan emang aku bersalah sama dia, lebih-lebih sama Papinya. Jadi udah seharusnya begitu.

"Minum dulu,"

Aku mendongak. Sebotol teh botol kemasan dingin disodorkannya padaku. Aku menatapnya. Dia kini sudah duduk di atas kursi tepat di sebelahku. Eh, bukan. Maksudku berjeda satu kursi di sebelah kiriku. Iya, berjeda. Dia menjaga jaraknya denganku.

Aku meliriknya dari samping. Kini dia sedang menenggak kopi dalam kaleng dinginnya. Lagi, aku menunduk.

Hatiku masih risau. Bahkan mendapat minuman darinya pun rasanya nggak pantas.

Nikah Tapi Musuh (Old Version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang