s a t u

2.5K 88 6
                                    


Sohwa melewati meja makan yang sudah ramai diisi oleh sembilan saudaranya. Ralat, Sohwa hanya menganggap ada delapan orang disana.

"Kak Sohwa, sarapan dulu" Saaih menatap punggung Sohwa yang sudah berlalu.

Sohwa menoleh sekilas kemudian tersenyum. Dia tidak membalas ucapan Saaih melainkan langsung melenggang pergi keluar rumah.

"Norak!" celetuk Sajidah di tengah aktivitas makan nya. Tentu saja kata itu dilontarkan untuk Sohwa.
Yang lain hanya diam saja, sudah lelah melihat perselisihan antara dua anak perempuan di tengah kesebelasan ini.

"Kak jid...

"Udah, makan. Gak baik debat di depan rezeki" Thariq memotong ucapan Saaih yang sepertinya ingin protes atas celetukan Sajidah.

Saaih pun menghela nafas pasrah. Tidak ada gunanya juga membantah sang abang. Mereka akhirnya melanjutkan sarapan pagi yang sempat terjeda.

***

Sohwa memukul-mukul keras stir mobilnya. Geraman frustasi terus keluar dari mulut gadis itu. Kepalanya selalu ingin pecah saat suara sang adik terngingang disana.

"Pembunuh"

"Pembunuh"

"Pembunuh"

"Arghhhh!" Sohwa menghantamkan keningnya ke stir mobil dengan cukup keras. Kemudian air mata segera lolos dari kedua manik kelamnya. Ya, semenjak kejadian teragis itu hidup seorang Sohwa tidak lagi secerah warna pink kesuakaan nya.

Sohwa segera menghapus kasar air mata itu saat sadar seseorang mengetuk kaca mobilnya.
Tak lama Sohwa langsung keluar saat tahu siapa si pengetuk kaca mobilnya tadi.
Gadis itu berhamburan memeluk Atta. Atta membalasnya erat.

"Mimah capek bang!!" isakan Sohwa semakin menjadi.
Atta pun membawa Sohwa duduk di bangku yang ada di depan butik milik adiknya ini.

Sejak dua bulan lalu, Atta selalu menyempatkan diri untuk datang ke butik Sohwa sebelum pergi ke kantor. Lelaki itu benar-benar khawatir dengan sang adik yang menderita depresi berat.
Dan benar saja, Sohwa selalu menangis saat tiba di butik, seperti saat ini. Atta tentu saja sangat prihatin kepada jerry nya ini, keadaan nya tidaklah sebaik dulu. Tapi si kapten tidak bisa berbuat lebih untuk Sohwa, karena tanggung jawabnya sebagian besar sudah jatuh kepada keluarga kecilnya sendiri.

"Tenang" Atta mengusap lembut bahu Sohwa yang bergetar.

"Mimah bukan pembunuh!!" Sohwa histeris sambil sesekali memukuli dada bidang abangnya.

"Kamu emang bukan pembunuh. Kamu adik kecilnya banatta yang selalu cerewet itu. Sok perfect dan lemot" Atta berusaha menghibur adik pertamanya. Walaupun sebenarnya dia sudah kehabisan kata-kata untuk menasehati Sohwa.

Sohwa masih saja menangis di pelukan Atta untuk beberapa saat. Atta merasa seperti kembali mengurusi Sohwa kecil.

"Mau jalan-jalan sebentar? Atau beli cokelat?" Tawar Atta pada Sohwa yang sepertinya sudah mulai meredakan tangisannya.

Sohwa bergeming. Tangisannya juga sudah tidak terdengar lagi. Atta perlahan mengintip wajah Sohwa yang bersandar di dadanya.

"Yaampun tidur" gumam lelaki itu pelan.

Atta menyenderkan tubuh Sohwa ke tembok dengan hati-hati, kemudian mengambil sebuah kunci dari saku jas nya.

Setelah menemukan kuncinya, Atta segera membuka pintu butik dan menggendong Sohwa, membawanya masuk ke dalam.

Lelaki itu sengaja menduplikat kunci butik milik Sohwa. Akibat kejadian 2 bulan lalu, dimana Sohwa mengurung diri di dalam butik berhari hari sampai dirinya ditemukan pingsan disana. Atta tidak ingin kejadian tersebut terulang lagi, untuk itu dia menduplikat kunci butik Sohwa, berharap bisa dengan mudah masuk saat Sohwa akan mengurung diri lagi di butik. Tetapi Atta lebih berharap, semoga Sohwa tidak lagi melakukan hal nekat itu.

SORELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang