d e l a p a n

938 68 14
                                    

Thariq menatap Atta yang terduduk gelisah di ujung ranjang kamar miliknya.

"Harusnya nggak perlu di bentak bang." Ujar lelaki itu yang kini bersandar pada pintu.

"Abang juga nggak ada niatan mau bentak-bentak dia, tapi ya gimana? Abang terlalu panik dan akhirnya emosi." Sang kapten membeo cemas.

"Yaudah, mendingan abang sekarang pulang. Bawain sesuatu yang dia suka, makanan atau bunga gitu," kata Thariq memberi saran.

Atta mengangguk lesu.
"Terus kamu gimana?"

"Gimana apanya?" Thor menatap abangnya bingung.

"Selysha."

Thariq menghela nafas berat dan beralih duduk di sebelah Atta.
"Mamanya pingin kita cepat menikah, tapi.. Thor nggak bisa. Kalo Thor nikah sekarang, pasti nggak bisa ngurus kak Sohwa sepenuhnya, harus bagi waktu sama selysha juga. Thor belum siap berantem terus kayak bang Atta gitu hahaha," Dia meledek Atta.

Pletak.

Atta menjitak kepala adik ketiganya itu cukup keras.

Thariq meringis dan kemudian tercengir.
"Hehe.."

"Jidah juga nggak bisa didiamin terus liq. Dia juga bisa punya gangguan psikis," Atta berucap khawatir.

"Kak Jidah terlalu keras kepala bang, Thor aja udah jarang banget ngobrol sama dia. Dia nggak mau berbagi cerita atau keluh kesah lagi ke kita. Bahkan Qahtan sama Sol yang nggak punya salah aja, selalu kena omelan." Balas Thariq.

Atta terdiam, tatapannya menerawang jauh. Mencari tahu, solusi apa yang tepat untuk menangani masalah kedua adik perempuannya.

*****

"Yahh.."

Iyyah menoleh, menatap Sohwa yang kini duduk bersandarkan kepala ranjang.

"Kenapa kak?" Tanya gadis itu, tangannya masih mengaduk bubur yang ada di atas nakas.

"Boleh tolong pesenin tiket pesawat ke dumay? Kakak mau ke sana dua hari lagi." Pintanya diiringi senyuman lemah.

Mata Iyyah membola kaget.
"Ke dumay? Kakak kan lagi sakit."

"Kak Sohwa kangen nenek. Boleh ya ke sana?" Perempuan itu memohon. "Kata dokter, besok kakak udah boleh pulang kok." Imbuhnya, berusaha meyakinkan sang adik.

Iyyah menghelas nafas gusar.
"Nanti Iyyah tanya bang Thor dulu ya. Sekarang kak Sohwa makan dulu."

Sohwa mengangguk pelan. Menerima suapan pertama yang disodorkan oleh Iyyah. Rasanya sangat hambar, bahkan Sohwa tidak memiliki niatan untuk menelan bubur lembut itu. Tapi dia sadar, dia harus makan, dia tidak boleh sakit lagi, dia tidak mau merepotkan siapapun lagi.

*****

"Jid, ayo pulang. Udah jam sepuluh," Ervan berdiri di hadapan Sajidah, menunggu perempuan itu bangkit dari duduknya.

"Ngapain gue harus pulang? Toh nggak ada yang perduli gue mau pulang atau enggak." Ucap gadis itu sambil sibuk memainkan ponselnya.

"Keluarga lo tuh sebenarnya perduli banget sama lo, Jid. Tapi mungkin aja kadang lo nggak bisa ngerasain itu karena kemarahan lo sendiri."

Jidah menatap Ervan sinis.
"Oh, jadi lo udah berpihak ke mereka ya?" Tanyanya sarkastik.

Ervan menghela nafas lelah. Seharian dia sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya sebagai chef, belum lagi mengurus semua data dan admistrasi restaurant. Ditambah menghadapi Sajidah yang selalu saja keras kepala. Lelaki itu benar-benar pening.

SORELLATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang