2. Fake Memories

2.3K 125 1
                                    

--Ingatan Palsu--

Hal yang paling menyedihkan bagiku ketika di rumah sakit, adalah saat pertama kali aku membuka mata setelah dua minggu tidak sadarkan diri. Tidak ada seorang pun yang kulihat di ruang mengerikan itu. Aku jadi bertanya-tanya, di mana keluargaku? Hingga akhirnya dokter datang. Itu pun karena aku menekan tombol emergency-nya.

"Ya Tuhan, akhirnya kamu sadar juga."

Seorang pria tua memakai setelan jas warna putih melangkah cepat mendekati ranjangku, diikuti dua pria lainnya yang juga memakai pakaian serba putih. Mereka pasti dokter dan para perawatnya. Entah kenapa ada perasaan lega yang tersirat di wajah menua itu seakan tak percaya sudah mendapatiku dalam keadaan tersadar.

"Bantu saya mengecek keadaannya." Dokter itu menoleh ke kanan dan kiri bergantian, memberi instruksi pada dua orang perawat itu.

"What's happen?" Aku pun bertanya demi menuntaskan rasa penasaran dalam benak. Aku hanya mampu bersuara pelan, kuharap pria tua itu bisa mendengarnya.

Dia menoleh dan mengalihkan atensi padaku. "Kamu mengalami kecelakaan parah dua minggu lalu. Ingat?"

Seketika itu aku menundukkan pandangan sebagai respons ketidaktahuanku. Namun rupanya dokter itu bisa memahami.

"Kamu koma selama dua minggu, bahkan saya sempat tidak yakin kamu bisa melewati masa kritis dalam keadaan penuh luka seperti itu."

Aku tak bisa berkata-kata lagi dan hanya memandangi dokter itu dengan sorot kelam.

"Kalau boleh tahu, siapa nama kamu? Keluargamu? Tempat tinggalmu?" dia bertanya ramah.

Aku mengalihkan pandangan. Kenapa tidak ada satu pun nama yang kuingat? Otakku seperti kosong tak ada memori yang tertinggal.

"I don't know."

"Maksudnya? Kamu tidak ingat apa-apa?"

"Saya bahkan tidak bisa mengingat kenapa saya bisa ada di sini."

Dokter itu diam terpaku dengan dahi berkerut dalam, begitu pula dengan dua perawat lainnya. Mereka sama-sama mematung dan saling memandang. Saat itu, aku merasa bingung tidak tahu apa yang terjadi.

"Tolong keluarlah lebih dulu dan siapkan ruangan untuk CT scan. Oh ya, beritahu pihak kepolisian yang menyelidiki kasus ini untuk mencari tahu identitasnya, barangkali ada sesuatu yang tertinggal di mobilnya," kata dokter itu.

"Baik, Dokter."

Dua orang pria setengah baya itu kemudian meninggalkan ruangan, sementara sang dokter tetap memberikan atensinya padaku. Sebenarnya aku benci dengan tatapan mengiba itu. Aku tidak suka dikasihani.

"Dokter, lengan kanan saya sakit," rintihku pelan dengan suara gemetar. Aku hanya bisa sedikit menggerakkan kepala. Ingin sekali bangun dari baringan, namun rasa sakit yang luar biasa menyiksa di sekujur tubuh membuatku tak mampu berbuat apa-apa.

"Jangan banyak bergerak dulu. Benturan keras dan pecahan kaca yang terjadi saat kecelakaan bisa berakibat fatal dan membuatmu nyaris kehabisan darah. Beberapa tulang rusukmu patah jadi harus segera dioperasi. Ada luka robek di lengan kananmu sehingga kami harus memberikan banyak jahitan, begitu pula dengan luka di kepalamu," jelasnya panjang lebar.

Beberapa hari kemudian, penyelidikan polisi berhasil membawa daddy datang dan memberikan ingatan palsu padaku, menutup segala akses yang memungkinkan diriku untuk mengetahui fakta yang sebenarnya dengan membayar semua pihak yang menangani kasus itu, termasuk dokter, dua perawatnya dan para polisi.

Aku masih ingat. Siang itu, aku baru saja terbangun dari tidur panjang yang diakibatkan oleh obat tidur yang diberikan dokter sebelumnya. Sejak sadarkan dari koma, aku memang tidak pernah absen meminum obat tidur di waktu malam. Tentu saja, mana mungkin aku bisa tidur nyenyak jika rasa sakit di sekujur tubuh tak kunjung mereda. Daddy mengunjungiku dengan raut semringah yang dibuat-buat.

"Raka ..." Dia memanggilku dengan nama lain.

"Iya, Ayah?" Aku menoleh dengan memberikan tatapan polos padanya.

Semenjak daddy memperkenalkan diri sebagai orang tua tunggal yang kupunya, keluargaku satu-satunya, aku mulai memanggilnya dengan sebutan 'ayah' dan berganti identitas baru sebagai Raka, saudara kembarku sendiri. Sejak itu pula bahasa Indonesiaku pun semakin lancar, meski ... ya, entah kenapa rasanya tetap tidak nyaman saat sedang menggunakan bahasa yang tidak digunakan dalam keseharianku di London.

"Tadi pagi Diandra mengunjungimu." Entah untuk ke berapa kalinya daddy berbohong, sementara begitu mudahnya diriku menelan mentah-mentah semua fakta palsu yang diberikannya.

"Diandra? Siapa dia?" tanyaku bingung.

"Dia kekasih yang sangat kamu cintai. Sejak pagi dia menemanimu di sini. Karena kamu tak kunjung sadarkan diri, akhirnya Ayah menyuruhnya pulang. Baru saja Ayah mengantarnya ke depan rumah sakit."

"Benarkah itu?"

"Tentu saja. Saat koma pun dia selalu di sampingmu. Hampir setiap hari dia datang kemari."

"Maaf, Ayah. Aku benar-benar tidak tahu. Aku masih tidak ingat semuanya," kataku dengan nada penuh penyesalan. Saat itu, aku selalu dihantui rasa bersalah dan takut membuat daddy marah.

"Tidak apa-apa, Ayah sudah mengatakan semua yang terjadi padanya, hanya saja ... Ayah tidak ingin kamu semakin mengecewakannya."

"Maksud Ayah apa?"

"Kamu harus segera sehat, karena dua minggu lagi adalah hari pernikahan kamu dan Diandra."

Betapa terkejutnya diriku saat itu setelah mendengar penjelasan Daddy. Bagaimana tidak? Diriku yang tidak tahu apa-apa mesti dihadapkan dengan permasalahan baru. Aku harus menikahi wanita yang tidak pernah ada dalam ingatanku.

"Tapi, Ayah, aku—"

"Ayah tidak mau tahu. Undangan pernikahan sudah terlanjur disebar. Ayah tidak mau menanggung malu di depan semua kolega dan rekan bisnis Ayah. Jadi, apa pun yang terjadi kamu harus menikah dengan Diandra."

[2] Hurt Of Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang