14. Fight The Heart

1.4K 176 35
                                    

--Melawan Hati--

Halo, teman-teman :) maaf banget ya kalo updatenya sering lama, hehe. Terima kasih, buat kalian yang selalu nungguin cerita ini, apalagi sampe kasih vote dan komen, wah ... itu sangat-sangat berarti buat saya

Happy reading ....

***

Another day has gone. Tiga hari rasanya seperti tiga tahun. Apartemenku bahkan bagaikan penjara mengerikan yang membelenggu kebebasanku. Saat kekosongan tengah melanda, lagi-lagi aku hanya bisa berdiam diri sambil menatap keluar jendela kamar lantai dua yang menghadap langsung ke taman, melamun ... tanpa berusaha mencari jalan keluar.

Sampai kapan aku harus begini? Benarkah semua ini hanya sekadar sandiwara belaka? Apakah ini adalah akhir dari kisah cinta yang selama ini menjadi kebanggaanku?

Hari-hariku sepi tanpanya, sepertinya aku pun tak sanggup sendirian melawan waktu, aku tidak bisa melupakan segala yang telah terjadi di antara kami. Semua itu terlalu indah bagiku. Namun untuk tetap tinggal ... tidak, aku tidak sekuat itu. I don't know, apakah aku mampu bertahan bersama hati Dian yang sejak awal memang bukan untukku.

Aku mengembuskan napas lelah. Rasanya tidak ingin peduli lagi, entah kenapa sulit bagiku untuk memaafkan situasi ini. Aku jadi lemah begini hanya karena cinta, bersikap bodoh dan tidak gentle dalam menghadapi masalah, tak ada usaha apa pun yang kulakukan untuk memperbaiki hubungan kami. That's right, aku memang tidak berniat untuk mencoba kembali.

Kalau saja pria itu adalah orang lain, tanpa pikir panjang aku pasti akan mendatanginya dan langsung kupukul. Masalahnya ... dia saudara kembarku sendiri, dan sedang sakit parah pula, hidupnya hanya bergantung pada obat-obatan akibat sirosis hati yang diderita. Mana mungkin aku setega itu melampiaskan amarah pada Raka? Sementara aku tahu pasti, seperti apa kedekatan mereka yang sudah terjalin sejak masa senior high school. Egois sekali diriku ini kalau masih saja memaksa Dian untuk beralih mencintaiku.

-oOo-

Keesokan paginya, aku terbangun dari tidur saat merasakan ponselku terus bergetar, begitu jelas karena tergeletak di sebelahku. Aku sengaja mengabaikan, diam termenung memandang dengan sendu langit-langit kamar yang gelap. Sempat terhenti sebentar, namun kembali bergetar lagi karena penelepon yang sama, terus begitu sampai beberapa kali. Aku pun meraba kasur dan mengambilnya. Tepat seperti dugaanku, nama 'Dearest' tertera di layar enam inchi itu.

Ini bukanlah pertama kali, seperti sudah menjadi kebiasaan baru. Dian selalu menelepon saat waktu makan tiba, entah ketika sarapan, makan siang ataupun makan malam. Mungkin karena ingin mengajakku makan bersama. Wanita itu juga seringkali mengirimkan chat, menanyakan keadaanku, juga permintaan maaf, akan tetapi tak satu pun pesan yang kubalas, bahkan Dian mungkin tidak tahu kalau aku sudah membacanya karena aku sengaja men-download aplikasi pendukung WhatsApp yang memungkinkan si pengirim mengira jika nomorku sudah tidak aktif lagi. Tidak mengherankan kalau Dian jadi lebih sering menggunakan pesan dan telepon berbayar untuk menghubungiku.

Senyumanku melebar. Benar-benar ironis. Kami begitu dekat, bahkan tinggal satu atap, tetapi rasanya seperti terpisah Jakarta-London, dan mungkin lebih buruk dari itu. Sungguh tidak disangka, Dian tak sekali pun melanggar nasihatku, padahal ada banyak cara baginya untuk menyusulku ke sini.

Aku pun keluar dari kamar dan menuruni tangga, tanpa bisa kuduga rupanya Dian sudah berdiri tak jauh dari ujung bawah tangga dan melangkah mendekat. Dia pasti sudah tahu kalau aku sengaja bangun lebih pagi dari biasanya.

"Bu Surti bilang, kamu lebih sering makan kue dan camilan, apa itu benar?" katanya dengan nada lemah. Wajahnya pun terlihat sedih dan penuh luka.

Aku memilih diam dan tidak memedulikan tatapannya.

[2] Hurt Of Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang