10. My Decision

1.4K 151 17
                                    

--Keputusanku--

 "Saga."

Aku baru saja memasuki ruang tamu rumahku saat suara itu terdengar. Aku menoleh, mendapati seorang wanita yang melangkah mendekat.

"Apa kamu baik-baik saja?" Dia langsung bertanya saat sudah berdiri tepat di hadapanku.

"Iya." Aku menjawab datar, berusaha menyembunyikan segala rasa keputusasaan, tetapi ... tetap saja, sorot khawatir itu tak berpaling dariku seolah sudah tahu apa yang kualami hari ini.

Dia Emily, kepala pelayan berusia 58 tahun yang mengasuhku sejak kecil. Hanya dia dan suaminya, George, yang menetap sementara para pelayan dan bodyguard lain berganti-ganti, selalu saja ada yang mengundurkan diri setiap beberapa tahun sekali. Emily sudah seperti ibu pengganti bagiku, tidak mengherankan jika wanita itu mengetahui segalanya tentangku termasuk sesuatu yang kusembunyikan sekalipun. Sayang sekali, wanita sebaik dirinya tidak dikaruniai anak sehingga kasih sayang tulus yang dia miliki sepenuhnya tercurah padaku.

"Ayo sini, duduk dulu." Emily menarik lenganku pelan, membimbing agar aku duduk di sofa panjang. "Aku buatkan minum untukmu, ya." Dia melangkah pergi begitu saja tanpa menunggu responsku.

Aku melepas jas dan dasi, lalu menyampirkannya ke belakang sofa. Pikiranku kacau, rasanya ingin membanting apa saja yang ada di sekitarku, tetapi tentu saja aku tidak mungkin melakukannya karena hanya akan mempermalukan diriku sendiri di hadapan penghuni lain di rumah ini. Alhasil aku hanya menghela napas berat, memijit kening yang entah kenapa jadi terasa begitu pening sekarang.

Tidak sampai lima menit, Emily sudah kembali, meletakkan secangkir teh di atas meja lalu duduk di sampingku.

"Terima kasih, Mom." Aku menyeruput teh itu sebentar.

"Apa yang terjadi?" tanyanya kemudian.

"Tidak ada."

"Wajahmu pucat begitu. Masih mau membohongiku?" Dia menatapku penuh selidik.

"Sebenarnya aku tidak ingin membuat Mom khawatir." Aku menjawab setenang mungkin, berusaha tersenyum walau tipis.

"Justru aku akan sangat khawatir kalau kamu tidak menceritakannya padaku. Pasti sudah terjadi sesuatu, kan?"

Aku memilih bungkam.

"Saga, apa kebersamaan kita selama dua puluh tujuh tahun ini tidak ada artinya bagimu sampai kamu tidak mau menceritakan sesuatu padaku? Yah, aku tahu, kita memang sudah tidak bertemu lagi setahun terakhir ini, tapi—"

"Tidak, bukan begitu." Aku langsung menyahutnya cepat supaya Emily tidak salah paham dengan sikapku. "Mom sangat berharga bagiku, bahkan sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri."

Emily tersenyum manis, membuat keriput di wajah menuanya semakin kentara. Dia membelai sayang kepalaku. "Ya sudah, tidak apa-apa kalau kamu memang tidak mau mengatakannya."

Aku terdiam beberapa saat dengan kepala tertunduk dalam "Iya, sebenarnya ... Mom memang benar."

"Apa ada masalah di tempat kerjamu? Kamu jadi berubah drastis setelah pulang dari firma itu." Nada kekhawatiran terdengar jelas dalam suaranya.

Aku menghela napas pelan. Mau tidak mau pada akhirnya aku menceritakan semua yang terjadi, soal pekerjaanku, juga keadaan istriku. Seperti yang sudah kuduga, Emily tampak terkejut setelah mendengar semuanya. Ekspresinya bahkan terlihat lebih sedih dariku.

"Baru dua hari aku meninggalkan Jakarta, tapi istriku ...."

"Sudahlah. Aku yakin dia baik-baik saja," katanya sambil mengelusi punggungku. "Dokter pasti akan melakukan yang terbaik untuknya."

[2] Hurt Of Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang