Hari semakin sore, matahari pun sudah meredup membuat suasana begitu teduh. Sayangnya saat ini aku tidak setenang itu. Keheningan yang tercipta justru menambah rasa hancurku jadi lebih kentara.
Aku berdiam menyendiri di tepi balkon bagian atap gedung rumah sakit swasta tempat di mana Dian dirawat, berdiri mematung dengan pandangan kosong lurus ke depan, memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana dan membiarkan embusan angin yang tidak terlalu kencang menerpa tubuhku.
Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi setelah mendengar penjelasan dokter tadi pagi. Dian mengalami keguguran dan dokter itu meminta izin padaku supaya Dian bisa segera menjalani kuretase saat itu juga.
Fakta itu membuatku lemas seketika, tidak menyangka ternyata kehilangan calon anak rasanya sungguh lebih menyakitkan dibandingkan saat aku nyaris kehilangan pekerjaan yang sudah kuimpikan selama bertahun-tahun seperti waktu itu, dan yang lebih menikam hati ... Dian belum juga sadarkan diri saat terakhir kali kutinggalkan sekitar dua jam lalu. Penyebabnya tidak lain adalah hipertensi akibat stress berat sehingga membuat janin di dalam rahim tidak mampu bertahan lagi.
God, kenapa malah jadi begini? Ini sungguh di luar perkiraanku.
Tiba-tiba ponsel yang kusimpan di saku celana bergetar walau hanya sesaat. Aku pun mengambilnya, menyalakan layar enam inchi itu. Ada pesan WhatsApp, dari Pak Pratman.
Mbak Diandra sudah sadar, Mas.
-oOo-
"Kenapa Pak Pratman dan Bu Surti tidak masuk kedalam?" tanyaku saat sampai di lantai lima.
"Tadinya saya yang menungguinya, Mas Saga, tapi Mbak Diandra mengusir saya dan terus menangis. Dia bahkan tidak mau makan dan minum." Bu Surti yang menjawab.
"Apa Bu Surti memberitahu apa yang terjadi padanya?"
"Mbak Diandra langsung bertanya pada perawat saat sedang mengganti infusnya tadi."
Aku mencoba tak peduli dan memutuskan berbalik hendak pergi meninggalkan rumah sakit.
"Mas Saga." Panggilan Pak Pratman mencegah langkahku. Pria setengah baya itu kemudian melangkah mendekat dan berdiri tak jauh di depanku.
"Iya?"
"Kalau boleh saya ingin memberi saran."
"Saya akan mendengarkan," kataku datar seperti biasa.
"Sebagai seorang lelaki sekaligus kepala keluarga, seringkali kita memang harus mengambil keputusan dengan cepat, tapi kalau terlalu cepat juga tidak baik, Mas."
"Maksud Pak Pratman apa?"
"Mas Saga, terkadang apa yang dilihat tidaklah seburuk yang kita pikirkan. Sebelumnya saya minta maaf, bukannya mau bermaksud ikut campur. Saya memang tidak tahu apa yang terjadi di antara Mas Raka dan Mbak Diandra, tapi kalau saya perhatikan ... rasanya tidak mungkin ada hubungan spesial dengan mereka, Mas."
Aku memilih bungkam. Kenapa Pak Pratman harus mengungkit masalah itu di situasi seperti ini?
"Saya dan Bu Surti yang melihat keseharian mereka, Mas. Setahu saya pembicaraan mereka juga seperti layaknya keluarga. Justru Mas Raka yang membantu Mbak Diandra saat Mas Saga pergi ke London waktu itu."
"Membantu ... Diandra?"
"Mungkin akan lebih baik kalau Mas Raka sendiri yang menjelaskannya."
Untuk beberapa saat aku hanya bisa terdiam. Benarkah apa yang baru saja dikatakan Pak Pratman?
"Kalau memang masih mencintainya, temui dia. Kasihan Mbak Diandra, Mas."
-oOo-
Meski dengan ragu-ragu, aku tetap memantapkan langkah memasuki ruang perawatan serba putih itu, lalu menutup rapat pintunya. Dari jarak sekitar lima meter, aku bisa melihat Dian sedang duduk melamun sambil bersandar bantal di kepala ranjang dengan kedua pipi yang basah. Dia tidak menyadari kedatanganku. Dengan lesu dan perasaan campur aduk aku pun berjalan mendekatinya.
Sambil tetap melangkah aku memikirkan sesuatu. Jika Dian tahu aku di sini, apakah dia masih mau menatapku? Apakah dia akan menyalahkanku atas segala apa yang terjadi? Yeah, dari sudut pandang mana pun semua ini memang salahku.
"Saga." Pada akhirnya Dian menoleh saat aku tiba di tepi ranjang.
Dia langsung mengenaliku dan tidak memanggil nama Raka.
Tanpa bisa kuduga, wanita itu menghambur ke pelukanku, melingkarkan kedua tangannya ke leherku dengan erat. Dia membuatku semakin terkejut ketika tangisnya pecah seolah sedang menumpahkan kesedihan yang teramat dalam.
Aku terpaku dengan napas tertahan, bahkan detak jantung ini seperti melambat. Tanganku terkepal kuat di belakang punggung Dian, masih terjadi perdebatan antara logika dan juga hati. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku masih pantas untuk balas memeluknya?
"Aku benar-benar minta maaf, Saga. Aku ... aku ... sudah—" Karena terisak kalimatnya jadi putus-putus. "Aku sudah gagal. Aku ... a-aku tidak bisa menjaga anak kita."
Terdengar pilu dan begitu menyayat hati. Aku sudah tidak sanggup lagi untuk menahan diri dan berpura-pura tidak peduli. Terus-terusan membohongi diri sungguh menyiksa batinku. Aku pun merengkuh pinggangnya dengan erat, berdiri lebih tegak supaya Dian bisa menyandarkan kepala pada dadaku dengan nyaman. Satu tanganku kemudian bergerak mengelusi kepalanya dengan sayang, membiarkan Dian menangis dalam pelukanku.
Tanpa sadar, setetes air melesak keluar dari pelupuk mata meluncur begitu saja menelusuri kedua pipi. Aku merasa ini adalah cobaan dari Tuhan yang teramat berat untuk dilalui sehingga menciptakan kepedihan yang amat menyiksa. Dengan gerakan cepat aku mengusap jejak-jejak air mata yang tersisa, tanpa sepengetahuan Dian.
"Sudah, jangan menangis lagi. Lepaskan dia pergi." Meski diriku sendiri juga begitu terluka, namun aku berusaha tetap tegar dan mencoba menenangkannya.
"Tapi aku—"
"Mungkin Tuhan belum mengizinkan kita untuk memilikinya.
Pelan-pelan aku melepaskannya, mundur selangkah demi menjauhkan diri dari Dian. Dia mulai tenang walau air matanya terus mengalir dan masih sedikit sesenggukan. Beberapa saat kemudian dia mengangkat pandangan hingga kedua mata kami saling bertemu.
"Saga," panggilnya lirih.
"Iya?"
Tiba-tiba dia meraih tanganku. Ada sorot ketakutan yang berusaha dia sembunyikan. "Tolong jangan pergi. Aku tidak mau sendirian."
Aku melirik sekilas genggaman eratnya sebelum kembali beralih menatap wajah sedih itu. "Lalu apa maumu?"
"Aku tidak ingin kita berpisah."
"Aku juga tidak ingin seperti itu, tapi aku melakukannya demi kebaikanmu, supaya kamu bisa bahagia bersama Raka."
"Tidak! Kamu adalah kebahagiaanku!" bantahnya.
Napasku tertahan mendengar kalimatnya itu. Aku tak bisa berkomentar apa pun.
"Hari itu kamu memintaku menunggu selama dua minggu untuk ciuman berikutnya, kan? Sampai saat ini aku masih setia menunggumu, tapi kenapa kamu justru memperlakukanku seperti ini? Sekali pun aku tidak pernah mengkhianatimu."
Aku memilih diam dan berpaling.
"Aku sudah kehilangan anakku. Aku tidak ingin kehilangan kamu, Saga. Tolong beri aku kesempatan lagi untuk melahirkan anak-anakmu."
"Aku akan memikirkannya lagi." Setelah mengatakannya, aku berbalik dan pergi keluar dari ruang perawatan itu.
TAMAT
***
Loh, kok cuma begitu doang? Terus gimana kelanjutannya? Apa Saga masih mau menjalin hubungan mereka? Jangan-jangan Saga malah akan kembali ke London. Apa yang sebenarnya terjadi di antara Raka dan Diandra? Mungkinkah Saga dan Diandra bersatu dan hidup bahagia?
Nah, buat kamu yang penasaran, tungju kehadiran bukunya yaa
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Hurt Of Wedding (TERBIT)
RomanceSekuel Wedding Agreement With You Cover : @ni.el READY STOCK! Pemesanan bisa langsung wa saya 085877790464 ----- "Apakah kamu tidak bisa membedakan antara aku dan Raka, sehingga kamu memeluknya di depan kedua mataku?" -Elsaga Fancison- Entah kenapa...