11. Miss You

1.5K 148 25
                                    

--Merindukanmu--

"Apa maunya orang itu sebenarnya?" Dengan perasaan kesal aku menekan salah satu tombol pada panel dasbor untuk kembali menutup bagian atap mobil, kemudian langsung membanting setir setelah memastikan lalu lintas aman untuk putar arah. Jalanan kota yang cukup lengang siang ini kumanfaatkan untuk melajukan mobil dengan kecepatan tinggi demi bisa sampai ke kantor kurang dari lima menit.

Aku benar-benar dibuat seperti orang gila. Beruntung karena individualisme di firma itu sangat tinggi, hampir semua staf tidak memedulikan lingkungan sekitar sehingga aku bebas berlarian tanpa harus jadi bahan tatapan orang-orang. Tepat lima menit berlalu, aku tiba di depan ruang kerja Jemmy.

"Fancison, apa kamu baik-baik saja?" Sekretaris Jemmy bertanya. Pria tua itu pasti merasa heran melihatku datang dengan keadaan terengah-engah seperti ini.

"Tidak apa-apa, maaf aku harus bertemu dengan Jemmy sekarang." Tanpa menunggu responsnya, aku masuk ke ruangan besar milik atasanku itu.

Jemmy sedang duduk di sofa panjang di sudut ruangan dengan wajah yang tertutup koran. Aku sangat yakin dia hanya pura-pura membacanya, aku tahu dia bukan tipe orang yang mau membuang waktu untuk bersantai. Baginya, waktu adalah uang.

"Selamat siang, Jemmy." Aku berkata setenang mungkin meski raga ini lelah karena dipacu waktu. Mungkin dengan sapaan singkat bisa mengalihkan atensi Jemmy.

Cukup lama dia mendiamkanku, membolak-balik korannya. Sikapnya saat ini membuat jantungku berdebar kencang menunggu kepastian. Pada akhirnya pria itu pun menutup koranya dengan sorot tajam langsung menghunjam ke arahku. Jemmy mengambil map hitam milikku yang semula tergeletak di sisinya, lalu melemparnya begitu saja ke atas meja sehingga menimbulkan suara yang cukup keras.

"Apa maksudnya ini? Kamu mau mendahului keputusanku, hah?" Nada bicaranya memang tidak membentak seperti saat di telepon, namun jelas lebih menusuk dan penuh tekanan. Jemmy menyandarkan punggung ke belakang sofa sambil melipat kedua tangan di depan dada, memberi tatapan menuntut.

"Maaf, aku tidak mengerti. Bukankah kemarin kamu hanya mendiamkanku, Jemmy? Jadi kupikir semuanya sudah berakhir."

"Dasar bocah kemarin sore! Di mana otakmu sebenarnya?" umpatnya sambil menuding pelipis kanannya sendiri.

Aku memilih diam mendengarkan, masih tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Jemmy.

"Aku tahu kamu ini cerdas, tapi tidak pernah menyangka ternyata kamu secerdas ini sampai menganggap sepele semua masalah yang terjadi. Kamu tahu? Begitu permohonan cutimu selama dua tahun disetujui, ada ribuan orang yang mengantre di belakangmu, bersedia menggantikan posisimu sekalipun hanya sebagai staf out sourcing."

"Iya, aku tahu itu." Aku menyahut ala kadarnya.

"Tapi apa yang kamu lakukan kemarin?" Jemmy memberi jeda, dahinya berkerut heran. "Kalau orang lain yang ada di posisimu sekarang, dia pasti sudah bersujud memohon padaku supaya tetap mempekerjakannya."

"Maaf, sekalipun firma ini adalah impianku, aku tidak akan merendah sampai seperti itu," tegasku, berusaha membela diri. "Aku hanya mencoba bersikap profesional saja. Sudah seharusnya aku mengundurkan diri karena tidak layak lagi ada di sini. Aku tidak mampu menyelesaikan tugas yang sudah menjadi tanggung jawabku." Aku menunduk penuh penyesalan, tidak bisa dipercaya ... keputusan yang kubuat sendiri ternyata sesakit ini rasanya.

"Itu menurutmu, Fancison."

Perkataan Jemmy membuat pandanganku kembali terangkat, pria itu sudah bangkit dari duduknya dan melangkah menghampiriku. Aku tercekat saat mendapati ekspresinya berubah semringah.

"Di sini aku yang menilai. Aku yang berhak menentukan nasibmu sekarang." Dia bicara dengan nada angkuh seperti biasa. "Dan aku yakin kamu mampu melaksanakan tanggung jawabmu dengan baik."

[2] Hurt Of Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang