--Frustrasi--
Tengah malam tiba, kulihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.10. Aku duduk di depan meja makan, menghadap layar laptop, ada sebuah dokumen di sampingnya.
Tadinya aku hanya ingin pergi ke dapur untuk mengambil beberapa potong cake di kulkas karena lapar. Aku memang sengaja melewatkan makan malam demi menghindari bertatap muka dengan Dian. Namun pada akhirnya aku memutuskan berdiam diri di sini dan mengerjakan beberapa laporan untuk bulan ini.
Hampir satu jam berlalu. Aplikasi pengolah angka yang seharusnya sudah penuh dengan data masih saja kosong, membiarkan kursor di dalamnya terus berkedip. Pikiranku tidak bisa fokus, ini pertama kalinya aku tidak mood bekerja. Aku mengembuskan napas berat, lalu mengusap kepala dengan frustrasi. Kalau terus begini, aku bisa benar-benar dipecat, laporan yang harus dibuat cukup banyak sementara sampai detik ini aku belum menyelesaikannya satu pun. Luka menganga di dalam hati ini sungguh menyiksa sampai logika pun tak mampu digunakan untuk berpikir.
Setelah beberapa lama aku beranjak pergi dari ruang makan, beralih menuju kamar yang Dian tempati. Pelan-pelan aku membuka pintunya, mengintip dari celah. Aku pun masuk setelah memastikan Dian dalam keadaan lelap. Aku berdiri mematung di sisi ranjang dengan pandangan terpaku pada wajah cantik yang tampak damai itu.
"I miss you so much, My Dear," kataku setengah berbisik sambil mengelus pipinya beberapa kali dengan ibu jari. "Kamu tahu? Demi bisa lebih cepat bertemu denganmu, aku lembur dari pagi sampai pagi lagi seminggu terakhir ini, tapi ...."
Seringaiku melebar penuh ironi. "Aku tidak menyangka ... sandiwaramu sangat bagus, My Dear." Dua tanganku terkepal kuat-kuat demi menahan marah. "Kenapa kamu justru bersenang-senang dengannya? Kukira kamu benar-benar mencintaiku. Setiap hari aku memikirkanmu, mengkhawatirkanmu. Apakah ini balasanmu untuk cinta yang selama ini kuberikan? Apakah kamu tidak bisa setia padaku saja? Di mana letak kesalahanku sampai kamu tega menodai ikatan suci di antara kita?"
"Sepertinya aku memang salah sudah menaruh kepercayaan terlalu besar padamu." Aku pun berbalik hendak keluar, namun menyempatkan diri menoleh dan menatap matanya yang tetap terpejam. "Aku memang sangat mencintaimu, tapi aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku bersama kepalsuan ini dan segala pengkhianatanmu, Diandra." Langkahku pun mantap meninggalkan ruangan gelap itu.
Yeah, lebih baik aku yang terluka daripada harus melihatmu terus berpura-pura bahagia bersamaku, Diandra.
-oOo-
Ketika hari menyambut pagi, matahari pasti belum muncul sekarang. Aku menuruni anak tangga, sengaja bangun lebih awal supaya tidak bertemu dengan Dian saat sarapan. Tubuhku terasa pegal-pegal karena hanya tidur tiga jam. Aku tidak terkejut lagi dengan rasa sakitnya karena sudah terbiasa begadang di kantor.
"Wah, aku benar-benar tidak menyangka, Bune, ternyata Mas Saga mengerikan sekali kalau lagi marah."
Mendengar suara Pak Pratman, langkahku seketika terhenti dan memperhatikan, mereka terlalu asyik mengobrol sampai tidak menyadari keberadaanku di sini.
"Yah, namanya juga laki-laki yang lagi cemburu buta, Pakne. Pastinya, ya, begitu." Bu Surti menyahut sambil tetap sibuk mengaduk masakan di dalam penggorengan.
"Iya, sih, tapi aku yang jadi korbannya. Sikapnya dingin, bicaranya juga datar seperti robot. Kadang aku tidak mengerti apa yang dia katakan, bahasa Indonesianya terdengar kacau. Ini pertama kali dia marah setelah lima tahun kita mengenalnya, Bune."
"Kesabaran itu tetap ada batasnya, Pakne. Ya ... pura-pura tidak tahu sajalah, daripada nanti kita juga kena imbasnya."
"Hm, aku jadi kasihan sama Mbak Diandra, dia tidak salah apa-apa sebenarnya."
"Iya, soalnya Mas Raka juga—"
"Mas Saga!" Pandangan Pak Pratman tanpa sengaja tertuju padaku. Bu Surti ikut berbalik. Mereka sama-sama tersentak kaget dengan wajah ketakutan. "Eh, Mas Saga, kok, ada di situ? Sejak kapan—"
"Apa sarapannya sudah siap?" Tatapanku beralih pada Bu Surti sambil melipat kedua tangan di depan dada, memilih tak memedulikan perkataan Pak Pratman.
"Sebentar lagi selesai, Mas," jawab Bu Surti dengan wajah tegang. "Maaf kalau lama, Mas, saya—"
"tidak apa-apa, saya memang sengaja bangun lebih awal." Aku berjalan mendekati kursi di ujung meja dan duduk di sana.
"Mau dibuatkan teh atau kopi, Mas Saga?"
"Memang biasanya saya minum apa kalau pagi?" Aku memicingkan mata tak suka pada wanita setengah baya itu.
"Bukan ... bukan begitu, Mas. Soalnya, akhir-akhir ini, kan Mbak Diandra sendiri yang menyiapkan kopi setiap pagi."
"Semalam saya sudah terlalu lama begadang, jadi setelah ini saya mau tidur lagi."
"Baik, saya mengerti." Bu Surti pun lenyap dari pandanganku.
Masakan sudah matang. Pak Pratman sibuk mondar-mandir menata makanan dari dapur ke atas meja. Makanan kesukaanku sebenarnya, grilled fish. Namun saat ini aku tidak begitu berselera. Dengan malas aku mengambil pisau dan garpu, lalu memotong kecil-kecil dan mulai makan.
"Ini, Mas, tehnya. Tidak terlalu manis seperti biasa." Bu Surti menyusul, meletakkan secangkir teh di hadapanku.
"Good."
Asistenku memang cerdas, langsung mengerti apa yang kumau meski hanya dengan sindiran kecil saja. Ya, sudah seharusnya begitu, kalau tidak sudah kupecat mereka dari dulu.
Sarapan sudah siap saat jam baru menunjukkan pukul lima pagi, dua jam lebih awal dari sebelumnya. Dua orang itu menyingkir dariku menuju dapur, meski begitu aku masih bisa mendengar mereka sedang berbisik-bisik membicarakan diriku. Aku meletakkan garpu dengan kasar menumbuk piring sehingga menciptakan bunyian mengejutkan yang cukup keras, mengubah suasana hening jadi terasa lebih mencekam.
"Maaf saja, saya sedang tidak ingin berbasa-basi sekarang, jadi kalau tidak suka dengan sikap saya ... silakan bisa langsung angkat kaki dari tempat ini," kataku datar dengan sedikit mengeraskan suara supaya mereka bisa mendengar.
Pak Pratman yang memberanikan diri mendekat, berdiri tak jauh dari sisiku. "Ma-maaf, Mas Saga, kalau diperbolehkan ... kami masih ingin bekerja di sini."
"Oh ya?" Aku menyeruput teh dengan santai.
"Tolong, Mas Saga, kasihani kami. Kami masih harus membiayai anak semata wayang kami yang masih kuliah."
"Saya hanya memberi penawaran." Aku melanjutkan makan beberapa suap.
"Tolong, Mas—"
"Apakah gaji yang saya berikan terlalu besar, ya, sampai Pak Pratman memohon-mohon begitu?" sindirku.
Pekerjaan utama suami-istri itu adalah buruh pabrik yang hanya mendapat hari libur di akhir pekan. Kebetulan, selama lima tahun terakhir aku juga hanya berkunjung ke Jakarta saat weekend saja sehingga mereka bisa melayani kebutuhanku dengan baik tanpa harus mengganggu pekerjaan mereka di luar sana. Namun kini setelah aku memutuskan tinggal selama beberapa bulan ke depan, mereka lebih memilih resign dari pabrik itu dan menetap denganku di sini. Demi Dian, aku membayar mahal, per bulannya setara dengan gaji mereka di pabrik selama setahun, karena kupikir mereka cukup berjasa menemani dan menjaga istriku saat aku sedang tidak ada.
"Saya ... saya hanya ingin anak saya bisa sekolah tinggi, Mas."
Aku mengembuskan napas berat. "Ya sudah, jangan ganggu saya. Cukup lakukan saja apa yang saya minta."
"Iya, baik."
"Satu lagi, Pak Pratman dan Bu Surti jangan pernah ikut campur masalah privasi saya." Aku cepat-cepat menyelesaikan makan.
"Saya mengerti."
Aku pun bangkit berdiri. Sebelum pergi aku berkata, "Saya mau istirahat dulu, jangan lupa bangunkan Diandra jam tujuh nanti, suruh dia makan."
KAMU SEDANG MEMBACA
[2] Hurt Of Wedding (TERBIT)
RomanceSekuel Wedding Agreement With You Cover : @ni.el READY STOCK! Pemesanan bisa langsung wa saya 085877790464 ----- "Apakah kamu tidak bisa membedakan antara aku dan Raka, sehingga kamu memeluknya di depan kedua mataku?" -Elsaga Fancison- Entah kenapa...