5. Heritage

1.8K 147 9
                                    

--Warisan--

"Sejak kapan kamu ada di situ?"

Pertanyaan sinis itu tidak kuhiraukan. Aku tetap menutup wajah dengan koran yang pura-pura kubaca. Sudah hampir dua jam, duduk di sofa ruang tamu ini menunggu sampai Raka datang. Dia pasti baru pulang kerja. Rumah ini benar-benar membuat pikiranku melambung jauh hingga terbayang-bayang pada masa lalu yang terasa begitu kelam.

Ironis sekali rasanya, beberapa waktu lalu aku pernah bertukar posisi dengan saudara kembarku itu, tinggal di rumah besarnya, dan menjadi suami Dian dengan cara yang tidak semestinya. Sungguh hari-hari yang begitu berat dan sangat melelahkan. Menjadi CEO dari perusahaan yang hampir tak bisa diselamatkan, harus mengambil keputusan besar di tengah banyaknya caci maki dari dewan direksi, benar-benar menjadi tantangan yang luar biasa hingga menguras pikiran dan tenaga. Belum lagi hutang ratusan miliar yang membelenggu membuatku dikejar para gengster setiap waktu dan mendapat ancaman pembunuhan dari banyak pihak.

Aku nyaris gila. Tidurku tidak pernah nyenyak, bahkan terpaksa begadang demi membuat rancangan proyek baru untuk mendongkrak eksistensi perusahaan dan hotel. Sebenarnya aku sangat menyesalkan para investor yang memilih mengundurkan diri pada saat rapat umum pemegang saham hari itu, yeah, tetapi mau bagaimana lagi, aku tidak bisa memaksa dan memutuskan melepaskan mereka saja, sehingga perusahaan kehilangan hampir delapan puluh persen untuk income.

Kini aku baru menyadari, kenapa saat itu aku selalu meragukan isi otakku yang tidak tahu apa-apa mengenai manajemen dan ekonomi bisnis. That's right, aku hanya mendalami ilmu hukum yang teramat kucintai, beruntung aku tidak sampai membuat perusahaan yang telah dibangun oleh daddy selama bertahun-tahun bangkrut, justru aku berhasil membuatnya bangkit walau tak sampai tiga puluh persen.

Raka berjalan mendekat, tiba-tiba mengambil koran yang kupegang secara paksa lalu membantingnya ke lantai. Dia tampak emosi. Kami saling menatap dengan pandangan sama-sama tidak suka.

"What are you doing, Raka?" kataku dengan kesal.

"Jawab pertanyaanku!"

Aku berdeham dan membenarkan posisi duduk. "Setelah semua yang kulakukan, kamu masih tidak mau berterima kasih padaku? Kalau aku tidak menggantikan posisimu, kamu pasti sudah jatuh miskin sekarang," sindirku.

"Katakan apa tujuanmu!" Sorot tajamnya tak sedikit pun berpaling dariku.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu. Bukankah semalam kamu mencoba meneleponku beberapa kali?"

"Iya, memang. Pergi ke mana kamu? Kenapa Diandra yang mengangkat telepon? Kamu meninggalkannya di tengah malam sendirian?"

"Itu bukan urusanmu, dan yang pasti aku sama sekali tidak meninggalkannya."

"Awas kalau kamu berani berbuat macam-macam padanya!"

Aku tertawa pelan, menghina lebih tepatnya. "Hei, Raka. Di rumahmu ini sudah tidak ada cermin atau bagaimana? Sebaiknya kamu bercermin dulu sebelum berkata begitu padaku."

Raka terbungkam, memicingkan mata ke arahku.

"Memang siapa yang menyakitinya? Kamu yang lebih dulu mencampakkannya, sementara aku tidak akan pernah melukainya sedikit pun," aku berkata penuh tekad.

Raka tetap diam, dua tangannya mengepal kuat.

"Kenapa? Mau marah?"

Raka mengembuskan napas berat. Dia melepas jasnya, lalu dia lemparkan begitu saja ke atas meja. Dia bahkan melepas seluruh kancing kemeja putihnya hingga bertelanjang dada. Dasar tidak tahu sopan santun. Aku heran, apa yang membuat Dian sampai mencintai Raka sejak lama?

[2] Hurt Of Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang