3. I Think

2.3K 168 24
                                    

--Aku Berpikir--

"Saga."

Suara lembut nan mendayu itu tiba-tiba menyusup pendengaranku. Segala memori masa lalu yang berputar bagai film tiga dimensi di otakku lenyap seketika saat merasakan dua tangan gemulainya melingkari pinggangku.

"My Dear?" Tanpa menoleh pun aku tahu pasti siapa yang sedang memelukku dengan erat di belakang sana. Dian, istriku.

"Aku mencarimu ke mana-mana, ternyata kamu di sini." Nada kekhawatiran terdengar begitu kentara dalam suaranya.

Dengan hati-hati, aku melepaskan rengkuhan Dian, lalu berbalik menghadap ke arahnya hingga kedua mata kami pun saling menatap. "Hei, what are you doing here? Kenapa belum tidur? Ini sudah larut malam," ucapku sambil menangkup kedua pipinya yang terasa dingin.

"Memangnya tidak boleh? Kamu juga belum tidur." Dia menatapku dengan sorot menantang. Dia memang terlihat kesal, tetapi aku tidak pernah mempermasalahkan dan justru merasa senang. Entah kenapa aku selalu menikmati setiap amarahnya, karena dalam beberapa hal, itu pertanda bahwa dia sangat mengkhawatirkan diriku.

"Bukan begitu. Hanya saja, aku khawatir karena kamu naik tangga sendirian ke sini."

"Jangan parno, deh. Aku baik-baik saja, lagi pula aku sudah berpegangan kuat." Seperti biasa, Dian seringkali membantah nasihatku.

"Parno?" Aku sedikit memiringkan kepala dengan dahi berkerut dalam karena tidak tahu apa artinya.

"Paranoid."

"Oh." Aku mengangguk mengerti. Maklum saja, sudah lebih dari dua puluh lima tahun aku menghabiskan waktu di London, paling setahun sekali aku kembali ke Indonesia, itu pun hanya untuk menemui Raka, sehingga tak jarang aku salah paham dan membuat Dian kesal. "Kamu bisa meneleponku, kan? Biar aku saja yang datang menemuimu."

"Bagaimana bisa menelepon? Ponselmu tertinggal di atas nakas." Dian mengangkat tangan, menunjukkan sebuah smartphone enam inchi dalam genggamannya.

"I'm very apologize. Kupastikan hal seperti ini tidak akan terjadi lagi." Aku mengambil ponsel itu lalu memasukkannya ke saku celana.

"Oh ya, tadi Raka meneleponmu beberapa kali."

"Really?" Aku cukup terkejut mendengar berita itu, yeah, i think ... aku dan Raka sedang bermusuhan sekarang. Rupanya, setelah semua yang terjadi dia masih berani menghubungiku lagi.

"Dan ... aku mengangkat teleponnya, Saga," ucapnya dengan ragu.

"What?"

Inilah yang tidak aku suka, membuat napas sampai tertahan setelah mendengar pengakuannya itu. Sebenarnya aku tidak ingin Dian ikut campur dalam permasalahan antara aku dan Raka. Aku memilih diam, menatapnya dengan sorot datar dan menunggu dia bicara.

"Karena mungkin saja ada hal penting yang ingin di sampaikannya." Dian menundukkan pandangan seperti ada sesuatu yang disesalinya. "Maaf, Saga, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku janji tidak akan mengutak-atik ponsel milikmu lagi."

I don't know why, alasan pasti yang membuat Dian jadi merasa bersalah begitu. Bukan hanya penyesalan, tetapi juga ketakutan yang tersirat di wajah cantiknya. Apakah dia bisa membaca rasa tidak suka yang berusaha kusembunyikan? Padahal aku hanya menanggapinya dengan sikap dingin.

Seringkali aku memang dibuat terkesima karena Dian bisa dengan mudah menebak apa yang sedang kurasakan, tetapi aku mulai merasa dia terlihat berbeda, terlebih lagi setelah mengetahui identitasku yang sebenarnya. Kehidupan pernikahan kami mendadak jadi sedikit canggung.

[2] Hurt Of Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang