12. Jealous

1.3K 147 20
                                    

BAGIAN I

"Pak Pratman tidak mengatakan pada Diandra kalau saya pulang hari ini, kan?"

Aku sedang dalam perjalanan pulang menuju apartemenku, bersama Pak Pratman yang mengemudikan MPV yang sengaja disewa. Hanya mengantisipasi kalau Dian akan mencurigai sesuatu andai tiba-tiba Pak Pratman naik mobil sport milikku tanpa alasan yang jelas.

Aku berhasil mengumpulkan semua data yang diperlukan untuk membuat laporan yang diminta oleh Jemmy sehingga bisa kembali ke Jakarta lebih cepat dari yang seharusnya. Aku ingin memberi kejutan untuk istriku.

"Tidak, Mas." Pak Pratman menjawab sopan.

"Apa dia mencurigai sesuatu?"

"Tidak, Mas, saya pergi diam-diam."

"Good job, Pak Pratman." Aku cukup mengapresiasinya, dia memang selalu bisa diandalkan.

Aku mengabaikan pria setengah baya itu, merogoh saku coat yang kukenakan mengambil sebuah kotak kecil beludru warna biru tua di sana. Aku membukanya perlahan dan memandangi isinya sambil tersenyum tipis. Pikiranku mulai membayangkan sosok wanita yang begitu kurindukan saat ini.

"Wah, pasti buat Mbak Diandra, ya, Mas?" Pak Pratman berdeham beberapa kali. Pandanganku terangkat, kedua mata kami saling bertemu pandang di spion tengah walau hanya sesaat. Pria itu tersenyum geli.

Aku tertawa tanpa berniat memberi komentar.

"Saya benar-benar kagum sama Mas Saga."

"Seriously? Why?"

"Ya ... Mas Saga bisa seromantis itu sama Mbak Diandra."

Seringaiku pun melebar. "Itu karena saya sangat mencintainya. Hm, kenapa Pak Pratman tidak melakukan hal yang sama pada Bu Surti?"

Kini giliran pria itu yang tertawa. "Saya dan Bu Surti sudah tua, Mas. Sudah tidak pantas."

Tatapanku tak sedetik pun berpaling dari sepasang cincin berlian yang diletakkan sejajar secara vertikal di dalam kotak. Satu cincin yang seukuran dengan jari manisku, dan ada satu cincin lagi berukuran lebih kecil di depannya. Dahulu, pernikahan kami dibiayai seluruhnya oleh daddy termasuk cincin pernikahan kami, aku merasa belum sempat memberikan apa pun pada istriku. Jadi aku memutuskan untuk membeli yang baru meskipun hanya untuk sekadar hadiah semata. Nilainya ... sama persis dengan besarnya utang Dian pada Raka waktu itu, dua miliar, nominal uang yang menjadi latar belakang pernikahan kami terjadi. Cukup mahal memang, sampai aku harus menguras separuh dari isi ATM-ku, namun tentu saja tidak menjadi masalah. Jangankan uang, bahkan jika nyawaku bisa ditukar pun tidak cukup untuk mengukur betapa besarnya cintaku pada Dian.

"Pak Pratman, bisa tolong percepat lagi laju mobilnya?" kataku kemudian. Mobil ini sudah seperti siput melaju di jalanan yang cukup lengang sore ini. Aku sedikit merasa beruntung karena ... ya, setidaknya jalanan tidak macet seperti biasanya. Mungkin karena belum jam pulang kantor.

Pria itu tertawa pelan, mungkin karena tahu kalau aku ingin cepat-cepat sampai. "Iya, Mas, saya mengerti."

Pada akhirnya mobil yang kutumpangi mulai berbelok ke kompleks apartemen tempat tinggalku setelah perjalanan yang begitu membosankan selama satu jam dari international airport. Aku benar-benar ingin segera bertemu dengan Dian, aku tidak sabar lagi ingin memeluknya dan melihat reaksinya setelah menerima cincin pemberianku.

Di luar dugaan, sesuatu terjadi ketika mobil sudah melaju pelan melewati taman di area kompleks apartemen.

"Pak Pratman berhenti!"

"Baik." Pria itu menurut.

Senyum bahagia seketika itu pula memudar seiring dengan pandanganku yang beralih keluar jendela, mendapati Dian sedang duduk berduaan dengan Raka di kursi taman itu. Jantungku seperti berhenti berdetak dengan napas tertahan, tubuhku ikut membeku menyaksikan adegan yang tak semestinya terjadi. Mereka terlihat sangat akrab, bahkan sampai tertawa bersama, entah apa yang sedang mereka bicarakan. Aku kesal karena Dian tidak pernah tertawa lepas seperti itu saat bersamaku.

"Pak Pratman, apakah saya sedang salah lihat sekarang?" Aku bertanya dengan kedua mata yang tetap tertuju pada pemandangan menyakitkan itu.

"Ehm, itu ...." Pak Pratman mendadak gugup. Seharusnya dia bisa melihat perubahan ekspresiku dari kaca.

"Jawab, Pak Pratman! Apakah saya sedang salah lihat sekarang?" Aku sengaja mengulangi pertanyaan itu demi menyangkal apa yang ada di depan mataku saat ini. Aku masih berharap hanya salah lihat dan mereka bukanlah dua orang yang kupikirkan.

Namun, suasana hening yang tiba-tiba terasa mencekam membuatku sepenuhnya sadar jika apa yang kulihat bukanlah sekadar ilusi. Sekilas aku bisa melihat dari kaca Pak Pratman tampak ketakutan menghadapiku, padahal nada bicaraku tetap datar seperti biasa. Tanpa sadar kedua tanganku terkepal kuat menahan api cemburu di dalam dada.

"Ti-tidak, Mas. I-itu ... itu ... Mbak Diandra dan ... dan Mas Raka," ucapnya terbata.

Apa yang mereka lakukan di belakangku?

Tak lama kemudian, mereka sama-sama berdiri. Dian nyaris jatuh, aku sempat dibuat panik, namun Raka bergerak sigap dan menopangnya. Mereka berpelukan tepat di depan mataku. Oh, My God, aku tak pernah menyangka ternyata dikhianati itu sesakit ini rasanya.

"Sejak kapan mereka mulai bertemu?"

Logikaku mulai memikirkan berbagai macam hal negatif tentang mereka. Bagaimana kalau mereka tidak hanya bertemu sekali saja?

Pak Pratman tersentak mendengar pertanyaanku. "Itu ... itu, ehm."

"Katakan yang jelas!" Aku jadi semakin emosi karena sikapnya.

"Dari—"

"Jalankan mobilnya. Saya akan cari tahu sendiri."

"Ta-tapi, saya ...."

"Dengar tidak apa yang saya katakan!" tegasku tanpa berniat membentak.

"I-iya, Mas, maaf."

Percuma meminta penjelasan darinya, sikap Pak Pratman saat ini justru membuatku semakin ketakutan saja. Kenapa dia harus gugup begitu. Apakah karena ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku?

-oOo-

Aku berdiri di depan cermin besar kamar kami di dekat ruang tengah, sudah melepas coat dan scraft, menyisakan kemeja abu-abu tua yang seluruh kancingnya terbuka, memandangi pantulan bayanganku sendiri di sana yang terlihat buram karena hanya mengandalkan cahaya dari satu lampu tidur saja di atas nakas. Pikiranku kacau akibat frustrasi. Hatiku diselimuti amarah, tubuhku seperti dikelilingi api yang terasa amat panas. Tanganku terkepal kuat-kuat meski ekspresiku tetap datar.

Aku sudah mengetahui semuanya. Cctv di unit apartemen ini telah menjawab segala pertanyaanku tentang pertemuan mereka. Raka sering datang ke sini, menemani Dian selama berjam-jam dan sesekali tertawa bersama, juga menemani Dian makan. Aku tidak menyangka Dian akan memainkan piano untuk Raka. Saudaraku itu bahkan pernah menggendong istriku yang jatuh pingsan sampai ke kamar ini.

Jangan-jangan ... Raka sengaja mendekati Dian dan mengaku-ngaku sebagai diriku.

I remember. Wanitaku justru memanggil nama pria lain dalam tidurnya. Segala kenangan tentang Raka pun masih membekas dalam ingatannya. Apakah dia belum bisa beralih dari masa lalunya? Apakah selama ini dia hanya pura-pura mencintaiku saja?

Suara pintu yang terbuka membuat lamunanku lenyap. Aku tahu pasti siapa yang datang, karena Pak Pratman dan Bu Surti tidak mungkin berani tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Sudah hampir dua jam sejak aku sampai. Apa saja yang dia lakukan di luar sana? Kenapa dia baru datang sekarang?

"Saga?" Suaranya melengking, nada keterkejutan itu terdengar begitu kentara. Dian pasti tidak menyangka akan melihatku di sini.

[2] Hurt Of Wedding (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang