Suara bising dari berbagai sudut memekakan telinga Gabriel dengan tidak elit. Laki-laki itu tersesat dan berakhir di salah satu club malam cukup elit di kawasan tersebut. Kawasan mewah yang sudah pasti membutuhkan nominal besar bahkan hanya untuk segelas minuman tidak berarti.
Untuk orang seperti Gabriel, tentunya hal itu tidak jadi masalah.
Tersesat yang laki-laki itu alami bukan tersesat semacam tidak tahu jalan pulang. Melainkan, bingung harus bagaimana.
Menemani Arcadia berenang hingga sore pun tidak membuat perempuan itu kembali baik padanya, minimal tersenyum tipis atau mungkin bisa menyahuti ucapan Gabriel seperti biasa saja.
Tapi tidak mungkin bisa seperti itu. Gabriel pun paham keadaan.
Ia harus bersyukur berulang kali karena nyatanya Arcadia masih tetap tinggal di kamar hotel yang ia sewa untuk berdua selama beberapa hari ke depan.
Beberapa perempuan -lebih dari lima perempuan hilir mudik menyambanginya. Menyambangi bagaimana lekuk jantan tubuh Gabriel dan enam kotak yang berada di balik kemejanya.
Sedikit goyah tentu saja. Laki-laki normal mana yang tidak goyah di sambangi, di goda habis-habisan oleh perempuan dengan jenjang kaki yang terlihat menggoda, wajah menawan serta lekuk tubuh membuat liur keluar. Jawabannya sudah pasti tidak ada.
Satu dari antara banyak perempuan yang menyambanginya bahkan mendapat point plus karena nekat melumat bibir Gabriel dengan tiba-tiba dan bodohnya Gabriel balas dengan lumatan pula.
Tidak habis pikir.
Namun, bukan salah Gabriel.
Hanya salah keadaan.