PROLOGUE

1.3K 105 32
                                    

Sudah tiga jam. Hujan di luar belum berhenti, malah bertambah deras. Namun tidak menyurutkan niat seorang pria untuk pergi ke suatu tempat—lebih tepatnya ia memang harus pergi kesana.

Jarak dari rumah-nya ke tempat itu cukup jauh. Sekitar 1 jam lamanya. Karena hujan, pria yang sedang mengemudikan kuda besi beroda empatnya itu melambatkan lajunya. Topi hitam yang dikenakannya menambah kejantanannya sebagai lelaki tulen, ditambah jaket kulit impor yang menyelimuti tubuh rampingnya pun membuat auranya semakin tajam.

Sorot matanya menatap jalanan dengan serius, kedua bibirnya yang tebal itu memajukan posisinya untuk mengeluarkan sebuah bunyi dari angin yang dihasilkannya sendiri. Di malam yang berair seperti ini, bersiul adalah langkah tepat untuk mengisi kesunyian perjalannya.

Tinggal sedikit lagi hingga ia sampai ke tujuannya—meskipun sudah terlambat 15 menit karena jalanan yang basah. Lampu dari mobil pria itu menyorot sebuah gedung yang memiliki dua pintu besar di depan. Terdapat dua orang pria tegap yang tengah berdiri di sisi kiri dan kanan pintu. Kedua pria itu sedang menjaga pintu dari orang asing yang mencoba masuk kesana. Walaupun hujan, mereka setia berdiri di samping pintu besar itu bak seorang penjaga istana.

Pria bertopi hitam yang masih mengemudikan mobilnya inipun membunyikan klakson sehingga terdengar bunyi yang cukup keras di telinga kedua penjaga itu. Salah seorang penjaga yang tubuhnya lebih tegap menyipitkan matanya, mencoba melihat ke dalam mobil itu siapa yang tengah mengemudi disana. Dirasa dugaannya tepat, penjaga itu menganggukkan kepalanya dan segera berlari ke arah pintu untuk membukanya serta membiarkan mobil yang sudah menunggu itu masuk dengan bebas.

Setelah memasuki gedung yang cukup besar itu, pria yang sudah menghentikan siulan di bibirnya pun memarkirkan mobilnya di tempat yang tersedia. Sudah pekerjaannya untuk mengunjungi gedung ini setiap hari, bahkan kehadirannya cukup penting untuk si pemilik gedung.

Ia melangkahkan kakinya pelan, suara hujan di luar tidak terdengar lagi di telinganya karena ia sudah masuk ke ruang utama dari gedung itu.

"Kau datang terlambat hari ini, Tuan." Bukan sapaan yang didapatnya, seorang pria yang setia berada di belakang meja bar mengucapkan kalimat yang bisa membuat pria berjaket kulit itu mengumbar senyum tipis di bibir tebalnya.

Ia tidak marah, hanya saja tidak ada salahnya kalau bartender itu mengucapkan 'selamat malam' sambil tersenyum manis.

"Apa Ketua ada di dalam?" tanya pria itu ramah. Meski auranya sangat tajam, namun jika ia tersenyum mungkin para wanita akan mengeluarkan darah dari hidung mereka.

Bartender itu mengangguk sambil mengelap gelas panjang di tangan kanannya. "Beliau sudah menunggu Anda, Tuan."

"Terimakasih, lanjutkan pekerjaanmu." Pria itu bahkan membungkuk untuk menunjukkan rasa hormat dan menghargainya. Semua orang yang bekerja di gedung itu juga tahu kalau dia memiliki sikap yang patut diacungi jempol.

Kaki-nya semakin melangkah. Perlahan namun pasti. Hingga kedua kaki jenjang itu membawa-nya ke sebuah ruangan yang memiliki ukuran pintu melebihi ukuran tubuhnya. Warna emas cerah dari pintu itu semakin menambah kemewahan ruangan yang ditutupinya. Tangan pria itu mengepal dan bersiap untuk mengetuk pintu, menandakan dirinya sudah sampai.

"Masuklah." Sebuah suara berat bagaikan bariton itu terdengar. Tangan yang tadinya mengepal kembali terbuka untuk memegang knop pintu berwarna coklat itu dan menariknya lembut.

Pria itu tidak kagum lagi dengan isi ruangan yang nyaris sama dengan ruangan raja di mesir. Berbagai macam lukisan mahal digantung di semua sisi dinding, pajangan---patung dan figur---yang diletakkan di meja-meja kecil menambah kemewahan ruangan ini. Siapapun yang melihat pasti tahu kalau pemiliknya adalah seseorang yang memiliki kekayaan berlimpah.

Au-VERO | PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang