BAB 35

1.3K 61 0
                                    


Maya terdiam ketika ia menatap sepasang mata tajam, itu tepat di depan pintu kostnya dengan posisi melipat tangan didada. Dengan cepat Maya menutup pintu lagi. Kaki kiri itu tidak kalah cepat, mencegah pintu itu terkunci.

"Sial !" Gerutu Maya.

"Pergilah, saya tidak ingin melihat kamu" ucap Maya, ia memberanikan diri menatap laki-laki itu.

"Kita perlu bicara".

"Tidak ada yang perlu kita bicarakan, dan saya tidak ingin melihat kamu lagi" Maya kembali berusaha menutup pintu itu, tapi kaki itu masih menghalangi hendel pintu.

"Lepaskan kaki kamu, saya tidak menerima tamu laki-laki seperti kamu" Maya kembali berucap.

Bara tidak peduli sang pemilik kost tidak mengijinkannya masuk. Bara dengan cepat memperlebar daun pintu dengan tangannya. Sehinga tubuh Maya mundur kebelakang, Bara lalu melangkah masuk ke dalam.

"Apakah kamu tidak dengar, saya tidak menerima tamu seperti kamu" dengus Maya.

Maya lalu berjalan menuju nakas, ia mengambil ponsel miliknya dan diletakkan ke telinga kirinya, sambil menatap laki-laki brengsek itu. Suara sambungan terdengar, Maya masih menunggu sang pemilik ponsel mengangkat telfon itu.

"Percuma kamu mengangkatnya. Wira sedang sibuk dengan kerjaanya" ucap Bara, ia melangkah mendekati Maya, dengan cepat Maya menjauh. Sedang ponsel masih di telinga kirinya.

"Bara baru saja menyelasaikan kerjaannya" ucap Maya.

Bara melangkah kembali mendekati Maya, wanita itu seketika menghindarinya kembali.

"Jangan pernah mendekati saya" ucap Maya, ia menjauhi Bara.

Akhirnya sambungan itu terangkat, Maya bersyukur Wira mengangkat ponselnya.

"Iya, sayang".

"Bisakah kamu kesini" ucap Maya. Ia melirik Bara, laki-laki itu hanya diam menatapnya intens.

"Ya, saya akan kesana setengah jam lagi. Saya lagi terjebak macet".

"Syukurlah kalau begitu, saya merindukan kamu. Saya akan menunggu kamu disini".

"Iya sayang".

Maya memutuskan sambungannya, ia bersyukur bahwa Wira mengangkat ponselnya. Sementara Bara masih memperhatikan Maya. Wanita itu masih terlihat cantik. Bara melirik jam melingkar di tangannya, menunjukkan pukul 19.20.

Bara menarik nafas, ia dengan cepat mencekal tangan kiri Maya. Seketika ponsel itu jatuh ke lantai, Bara tidak peduli wanita itu memberontak.

"Jangan pernah menyentuh saya" ucap Maya lagi, ia berusaha melepaskan cekalan tangan itu.

"Saya tidak akan melepaskan kamu" Bara mengeratkan genggamannya.

"Apa hak kamu, tidak melepaskan saya? Bukankah kamu dan saya tidak ada hubungan apa-apa lagi".

"Kamu dan saya masih memiliki hubungan, kamu telah mengandung anak saya" ucap Bara.

Alis Maya terangkat, dan ia tersenyum licik, "Mengandung anak kamu? Kamu benar-benar sakit jiwa?".

"Kamu mengandung anak saya, ini darah daging saya" Bara menyudutkan Maya ke dinding.

"Lepaskan tangan kamu".

"Saya tidak akan melepaskannya, sampai kamu mengakuinya" Bara menggeram.

"Dari mana kamu tahu atas kehamilan saya".

"Itu tidak terlalu penting, untuk kamu ketahui".

"Ini anak Wira, dan saya akan menikah dengan Wira sebentar lagi. Jangan pernah mengaku bahwa ini anak kamu. Keluarlah, sebentar lagi Wira datang. Saya tidak ingin kamu merusak hubungan saya dan Wira. Kami akan menikah, dan jangan pernah ada di hidup saya lagi".

Bara melepaskan cekalannya, ia mendengar secara jelas penuturan Maya. Wira dan Maya memang sebentar lagi akan menikah. Ia sudah mengetahui itu, sementara hatinya masih tidak menerima kenyataan itu.

"Apakah Wira sudah tahu atas kehamilan kamu".

"Iya sudah, dan Wira menerima kehamilan saya dengan suka cita".

Bara tertawa, ia melirik Maya, terlihat jelas dari wanita itu berbicara, bahwa wanita itu sedang berbohong. Bara bisa membedakan mana yang bohong dan tidak.

"Wira belum tahu atas kehamilan kamu Maya".

"Dia sudah tahu, dan kami akan menikah".

"Oke saya tunggu Wira disini. Kita berdiskusi bertiga tentang anak yang di kandung kamu. Kelihatannya seru, saya juga tidak peduli mempertontonkan adegan tinju-tinjuan di depan kamu".

Maya terperangah atas ide gila Bara, "Kamu sinting !".

"Itu anak saya Maya, kamu tidak bisa mengelak lagi".

Maya menarik nafas, ia menggeram, "setelah kamu mencampakkan saya, tiba-tiba kamu datang dan lalu mengatakan bahwa ini anak kamu. Ini tidak akan pernah menjadi anak kamu".

"Itu tetap anak saya, darah daging saya dan keturunan saya".

"Jika benar anak ini adalah anak kamu, saya lebih memilih jalur aborsi dari pada memiliki anak dari kamu".

Bara mengeram, ia melangkah mendekat dan lalu ia menarik kerah baju Maya. Menyudutkan Maya ke dinding. Aborsi? Itu merupakan pernyataan paling tidak masuk akal yang pernah ia dengar. Berani sekali Maya ingin aborsi anak yang di kandungnya.

"Jangan pernah mengatakan hal itu lagi" ucap Bara, terdengar jelas suara gemeletuk gigi.

Maya kembali menatap Bara, rahang itu mengeras seakan ingin membunuhnya ketika ia berkata seperti tadi, "Lepaskan, tangan kamu. Kamu sangat mengerikan".

"Jangan pernah melakukan aborsi, dia anak saya" Bara mengalihkan tatapannya kearah perut rata Maya.

"Lepaskan tangan kamu".

Bara lalu melepaskan kerah baju Maya, Maya dengan cepat menjauhi Bara. Laki-laki itu sangat mengerikan.

"Keluar kamu dari sini, dan jangan pernah menemui saya lagi".

Seketika pintu terbuka, Maya dan Bara terdiam menoleh kearah pintu. Sepasang mata Wira menatapnya. Wira tidak menyangka Bara ada disini. Berani sekali ia datang ke tempat Maya lagi. Sudah cukup kemarin hampir membuat hubungannya hancur berantakan. Sekarang laki-laki itu kembali lagi bertemu dengan kekasihnya Maya.

"Ada apa kamu kesini" tanya Wira.

Bara dengan tenang berjalan mendekati pintu utama. Ia melirik Maya yang tidak jauh darinya. Wanita hanya diam, dan terlihat jelas ia mengatur nafasnya.

"Saya hanya mengatakan sesuatu hal yang penting" ucap Bara, lalu melangkah keluar dan meninggalkan Maya dan Wira.

Sepeninggal Bara, Maya lalu duduk di sofa, Wira menghampirinya.

"Sayang apakah kamu tidak apa-apa".

"Ya, saya tidak apa-apa" Maya tersenyum dan berusaha tenang.

***********

LOVE SINGLE DADDY (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang