PERBATASAN

162 5 0
                                    

MENJADI  seorang tentara di bagian perbatasan Amerika tidaklah mudah. Terkadang mereka juga harus merasakan sakit parah. Bukan hanya luka baku tembak, tapi juga kekurangan asupan bahan makanan. Untuk melewati tempat itu pun, sangat sulit karena harus menaiki gunung-gunung pasir.

"Pak, selamat datang. Hari ini Bapak terlihat tampan," sapa pemuda berusia lebih tua dari Damian seraya memberi hormat.

"Jadi selama ini, saya jelek ya?" singgungnya.

"Oh, maaf. Tidak sama sekali," ralatnya.

"Saya menikah, itu yang membuat saya bahagia dan tampan," pamernya.

"Maaf, Pak. Saya tidak tanya," jawabnya tegas.

"Saya cuma mau pamer. Bego! Saya cuma mau bilang kalau saya tidak jomlo lagi!" teriak Damian.

"Oke, Pak. Silakan saja," jawab bawahannya dengan nada santai.

Damian ingin mencekik orang itu karena tidak mengucapkan selamat padanya, tapi kemudian rencananya urung. Ia menghela napas kesalnya. "Sudah sana jaga!" katanya sembari menyepak bokong bawahannya untuk keluar.

"Dasar psyco!" umpat bawahannya dari luar.

Pintu tiba-tiba terbuka. "Ngomong apa you?!" bentak Damian.

"Psyco!" teriak bawahannya yang tidak kalah galak dari Damian.

"What?! Berani ya, kamu sama saya. Piring numpuk, cucian kotor nganggur, lantai kotor. Bersihkan!" perintahnya.

"Tidak sudi!" tangkisnya.

Damian kesal lalu melempar sepatunya ke bawahannya. "Mentang-mentang sepupu, seenaknya saja. Sana kerjakan. Nanti ku-door baru rasa!" omel Damian.

Bawahannya tadi mengomel dengan berbagai ayat. Mulai dari pendek hingga panjang, sembari mengerjakan hukuman yang diberikan Damian. "Dasar Bejo!" umpatnya.

Damian tersenyum sendiri sembari memandang foto Sania. Ia tidak sadar kalau perbuatannya diperhatikan oleh bawahannya tadi. Dengan sengaja bawahannya yang bernama Hilman itu mengepel di dekat kakinya.

"Minggir kaki, saya mau pel," kata Hilman.

Damian menaikkan kakinya ke kursi masih dengan memandan foto Sania. Hilman mengepel di bawah kursi. Damian segera menurunkan lagi kakinya setelah Hilman selesai di bagian area itu.

"Minggir saya mau bersihkan meja itu," perintahnya.

Damian menuruti perintah itu dengan menjauhkan dirinya dan membawa kursi untuk duduk di pojok ruangan. Tidak lama Hilman datang lagi untuk meminta kursi. Damian meninggalkan kursi itu dan duduk di atas meja. Hilman datang lagi untuk meminta meja. Damian memberikannya dan duduk di lantai.

"Minggir Pak," perintah Hilman dengan sapu di tangannya.

Damian memandang Hilman dan berdiri. "Hem," jawabnya.

Hilman terkikik geli karena bisa mengerjai Damian. Damian menjadi kesal karena melihat punggung Hilman bergerak naik-turun, pertanda sedang tertawa diam-diam. Dengan kesal Damian mematahkan sapu yang dipegang Hilman dengan pahanya. Suara pukulan terdengar hingga keluar markas.

"Hilman lagi tu," kata mereka.

"Memang usil dia, sudah tahu bos kita itu pemarah. Masih saja dia begitu,"

"Biar rasa," sumpah mereka.

Bagi mereka sikap Damian adalah hal yang lumrah dilihat setiap hari. Harus pasrah bila ia sudah mengomel, walaupun kesalahan itu datang darinya. Harus sabar dan tawakal.
Kata mutiara pemuda itu adalah jargon mematikan. "Bila salah itu kalian, bila benar itu aku. Bila aku salah, tetap kalian salah. Tidak terima silakan protes. Akan saya beri hadiah besar. Tendangan tiada henti sehari semalam" Itulah jargonnya.

Damian bernyanyi sembari mandi di sungai. Ia sedang membayangkan bernyanyi bersama Sania. Kini dia benar-benar mabuk kepayang. Saat Sania ada di hadapannya sembari mandi juga. Hanya dengan memakai kain penutup saja. Damian tersenyum dan menghampirinya sembari bernyanyi lagu India kesukaannya.

"Sania, aku merindukanmu," kata pemuda itu seraya memeluk gadis itu.

Ketika ia ingin menciumnya, sebuah suara tak asing membuyarkan hayalannya. "Pak, Woy! Ini saya!" teriak Bawahannya sembari meronta.

"Hah! Mana istriku?!" Damian segera mendorong tubuh bawahannya hingga terjengkang ke sungai. "Kau kenapa bisa jadi dia, kau operasi plastik tadi ya?!" bentak Damian.

"Mana ada orang operasi plastik dalam sekejap berubah lagi," gerutu bawahannya seraya berdiri.

Damian menggaruk kasar kepalanya. Ia benar-benar sudah bersikap tidak normal hari ini. Kajadian itu pun terjadi lagi, saat ia sedang di dalam tenda. Ia melihat Sania sedang menari, gadis itu sedang membakar ubi jalar.

"Jangan kau lukai tanganmu yang manis ini sayang," tegur Damian sembari mengecup lembut tangan mulus itu.

Sania tersenyum dan mengedipkan mata dengan genit. Damian makin berdebar. Pemuda itu meraih pinggang gadis itu untuk berdansa dengannya di tengah lapangan yang diterangi temaramnya api unggun. Suasana yang romantis berubah menjadi sebuah tawa yang memecah imajenasi Damian.

"Hah!" teriak Damian setelah hayalannya buyar.

Semua anggota tentara kini memandangnya sembari tertawa lepas. Sania berubah menjadi salah satu dari mereka. Damian segera berlari ke sungai dan muntah.

"Sial! Yang kupeluk tadi si hitam tadi! Bangsat!" umpatnya.

Sementara di sana. Sania sedang sibuk melatih ilmu beladirinya. Bersama Aina, mereka berdua sedang adu kekuatan.

"Guru, yang kuat. Kok letoy," sindir Aina.

"Kalau kuat-kuat kau nanti mati," balas Sania.

"Dasar," hina Aina.

Sania membanting Aina dengan pelan. Aina berdecih kesal karena Sania tidak seperti biasanya. Sikapnya berubah saat menikah dengan Damian. Wajah Gurunya sangat kalem. Tidak tomboy seperti dulu.

"Mana dulu jagoannya yang membasmi orang satu kampung itu. Kok gak kelihatan," sindir Aina sembari bangkit dari bantingan Sania.

"Bukan aku, orang lain kali," kilah Sania.

"Sok gak berdaya," hina gadis itu seraya menendang ke arah wajah Sania.

Sania menangkis dengan satu tangan dan memukul paha gadis itu dengan sebelah tangannya yang lain. Aina meringis. Namun ia tidak menyerah untuk menyerang Gurunya itu. Sebuah tinjuan mengarah pada ulu hati. Sania memundurkan langkahnya sehingga serangan hanya mengenai angin kosong. Tidak tinggal diam Aina kembali memutar tubuhnya dan menyerang dengan siku. Sania menangkap siku Aina dan menjepit leher gadis itu dengan ketiaknya. Tidak ingin terjepit, Aina segera menyerang dengan tendangan belakang kakinya. Sania mundur karena tendangan itu. Kini Aina menendang dengan lompatan cepat ke arah kepala. Sania segera menangkis dengan sebelah tangannya dan mendorong kaki itu untuk menjauh. Aina merasa terdorong, untuk menghindari resiko terjatuh. Maka Aina bersalto ke belakang dan mendarat dengan ringan ke tanah. Kini Sania yang menyerang. Gadis itu melayangkan tendangan memutar berulang kali, sehingga Aina kepayahan untuk menghindar dan menangkis.

"Ais! Guru. Mampus aku kalau begini." Keluh gadis itu dalam serangan Sania.

"Katanya aku lemah, ayo lawan saja," singgungnya.

Aina merasa termakan omongannya sendiri. Kini gadis itu kepayahan sendiri. Sania menyerangnya tiada henti sehingga Aina hanya bisa menangkis saja.

DICULIK PEMUDA TAMPAN (serial SANIA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang