DAMIAN

198 9 2
                                    

Pemuda itu kini melamun di markas. Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuknya. Tangan satunya menumpu kepalanya di meja. Sudah beberapa hari ia bersikap tidak wajar. Semua penglihatannya jadi kacau bila sedang mengingat Sania. Bahkan prajurit yang menjadi bawahannya menjauhinya karena takut terkena korban khayalannya.

"Apa aku pindah pekerjaan saja ya? Banting setiran jadi abang bakso," gumamnya. "...ah, ngaco betul pikiran ini. Mana mau Sania sama laki tukang bakso." gerutunya. "Hadeh ... susah betul kalau RDL, kangen terus!"

"Pak! Lapor!" Bawahannya datang dan memberi hormat.

"Lapar, ya makan. Ngapain mengadu denganku," kata Damian dengan berbalik membelakangi bawahannya.

"Maaf, Lapor! Bukan lapar," ralatnya.

"Hem," jawab Damian dengan malas-malasan.

"Pak. Perbatasan kita diduga dimasuki oleh para penyelundup." Lapor bawahannya.

"Kalau sudah tahu, kenapa diam saja. Tidak usah melapor, langsung sikat!" ujar Damian dengan mata melotot ke arahnya.

"Maaf, target menghilang saat kita tiba di sana," jelasnya.

"Kau kira hantu! Cepat cari!" perintah Damian.

"Siap, Pak." Bawahannya segera pergi.

"Ganggu orang nge-halu aja," gerutunya.

"Bos, ngapain?" tanya mereka saat bawahannya tadi keluar.

"Nge-halu lagi dia," jawabnya. "Katanya kita disuruh cari penyusup itu." Sampaikannya.

"Atasan kita gak bisa diharapkan, terpaksa kita yang gerak. Gini saja, kita bergantian saja mengawasi di ujung garis perbatasan. Seperti biasa jangan pernah meninggalkan posko persenjataan kita. Rawan," kata salah satu dari mereka yang biasa dipanggil Arman. Lelaki yang berkulit hitam yang pernah Damian kira Sania di anak sungai.

Damian mondar-mandir tidak jelas mana yang dituju. Pemuda itu memiliki HP tapi tidak bisa digunakan untuk menghubungi Sania. Ingin rasanya membanting HP itu, tapi sayang. "Mahal," katanya.

"Cih, benaran banting setir jadi tukang gali parit nih. Benci betul aku sama jaringan," omelnya. "Mana nelpon gak bisa pakai jaringan radio ke luar lagi, HT, oh, HT. Produksimu tidak ada yang lebih canggih lagikah?" Damian berbicara pada alat telekomunikasi yang berada di situ. Karena hanya alat itu saja yang bisa menangkap sinyal, itupun hanya jarak beberapa meter saja.

"Pak, penyusup terlihat memasuki kawasan terlarang!" Lapor Hilman dengan terburu-buru.

"Segera nyalakan alirin listerik kita. Buat pagar kawat itu dialiri listrik secepat mungkin!" perintah Damian seraya ikut keluar bersama Hilman.

"Ini Hilman, segera nyalakan listerik pada kawat! Ini perintah atasan!" katanya dari alat telekomunikasi.

"Sudah kamu kasih tahu?" tanya Damian.

"Sudah," jawab Hilman.

"Kamu suruh mereka yang di utara jaga markas, sementara saya mau melihat ke sana," katanya.

"Baik, Pak." Hilman segera menghubungi teman-temannya.

"Pak, ternyata cuma kambing," kata Hilman setelah mendapatkan informasi dari temannya.

"Cari tahu itu kambing siapa!" bentak Damian kesal.

Hilman segera lari ke barat untuk mendatangi rekannya yang sedang berada di atas puncak menara yang mereka bangun dari kayu untuk mengintai musuh. Ia menaiki menara itu dengan tangga darurat yang mereka buat dari kayu pula.

DICULIK PEMUDA TAMPAN (serial SANIA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang