Prolog: Ibu

129 18 5
                                    

Aku harus terus mengayuh.


Entahlah, rasanya berhenti bukanlah sebuah pilihan. Aku bahkan sudah lupa berapa kali buang air tanpa ke kamar mandi atau apakah sudah ada air dan makanan yang menyentuh kerongkongan sejak kemarin. Yang kutahu, aku harus mengayuh. Terus mengayuh.

"Kamu belum istirahat, Nak. Istirahatlah dulu." Ibu menyentuh punggungku, berusaha membujuk untuk berhenti.

Diam jadi balasannya. Permintaan ibu tidak kugubris. Tidak akan. Aku tidak akan menggubrisnya. Terserah jika ia akhirnya mengutukku jadi batu karena durhaka padanya. Tidak. Pokoknya tidak. Seberapa besar pun aku ingin, aku harus tetap mengayuh. Tidak boleh berhenti.

"Kak, istirahat saja."

Aku menangis. Tidak mau. Aku tidak mau. Jangan paksa aku. Tolong! Tolong. Hentikan semua ini. Tolong.

"Kak, gak apa-apa, Kak. Istirahat aja, makan aja. Adik ikhlas."

Diam. Kamu ikhlas! Aku tidak! Bagaimana mungkin aku bisa ikhlas? Bagaimana? Coba jelaskan padaku! Ya Allah, hentikan air mata ini.

"Kamu, yakin tidak mau istirahat, Nak?"


Benda tajam nan dingin menyentuh pipiku yang basah. Aku menggeleng. Mulutku terkunci oleh lakban. Aku duduk di atas sepeda olahraga yang digunakan sebagai pembangkit listrik, kaki terikat di pedal, tangan terikat di pegangannya.

Di depan sebuah cermin menunjukkan keadaan adikku yang terikat di langit-langit, melayang seperti boneka 'teru-teru bozu'. Bedanya dia tidak dilingkupi kain putih bergambar senyum dengan dua titik sebagai mata. Besi yang mengikatnya, menempel erat pada magnet listrik yang tersambung dengan mesin di bagian belakang sepeda yang kukayuh.

"Kak, gak apa-apa, sudah."

Tidak! Aku sudah kehilangan ayah karena wanita itu! Aku tidak mau kehilanganmu juga!

"Kak, Adik sudah lelah. Berhenti saja. Biarkan magnetnya mati. Biarkan aku menyusul Ayah."

Aku ... tidak mau menyerah. Tolooong! Siapa pun. Tolong kami!

"Kak, sudah. Adik sudah tidak kuat lagi. Berhentilah! Dia bukan ibu kita. Dia hanya kembaran Ibu yang mendendam pada Ibu dan kita. Dia hanya berpura-pura. Kakak tidak harus mengikuti kemauannya."

Iya, aku tahu! Karena aku tahu rahasia itulah, kau jadi seperti ini. Karena aku membongkar semuanyalah, ini terjadi. Ini semua salahku. Salahku! Mataku berair. Kepalaku mulai berdenyut. Kayuhanku mulai melemah dan tak lama terhenti, pandanganku buram. Tubuhku lunglai ke kiri.

Maaf ....


"Terima kasih, Kakak."

"Ingat, ini semua ... salahmu!" bisik Ibu di telingaku sebelum kesadaranku menghilang sepenuhnya.

* * *

[Completed] Behind The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang