Bab 3: Piring-piring Pecah

47 12 7
                                    

Ia menghempaskan tangannya ke air di bak pencucian piring. Kesal dengan segala hal yang harus dia lakukan sementara kembarannya berbahagia menyambut tamu. Meski, ia tahu tugas mencuci piring ini dibebankan padanya bukan tanpa sebab.

Kenapa harus cuci piring?

Dia benci diberi tugas yang harus berurusan dengan air. Sayangnya, di antara mereka berdua, hanya dia yang bisa berurusan dengan air dan sabun cuci tanpa gatal-gatal dan demam. Ellie alergi pada sabun, bahkan sabun mandinya sendiri. Karenanya, Ma dan Da menugaskan Rea untuk berurusan dengan sabun.

Padahal kami kembar, kenapa cuma dia yang alergi? Ini semua pasti karena kutukan pastor itu.

Rea sangat mempercayai kutukan anak kembar. Setiap anak kembar yang terlahir di daerah itu, akan mengalami dua takdir berbeda. Satu pasti bahagia, sementara yang lain pasti menderita. Rea percaya, di antara mereka berdua, dia lah yang ditakdirkan untuk menderita.

Hari ini cucian piring sedikit lebih banyak dari biasanya. Keluarga besar Blair sedang berkumpul di rumahnya. Karena itulah, rumah mereka ramai sekali hari ini, tentu saja piring dan gelas pun tak kalah banyaknya.

Kenapa, sih, di keadaan seperti ini, Ma dan Da tidak mempekerjakan saja Nona Lisa?

Meski bertanya begitu, Rea tahu betul keadaan ekonomi keluarganya. Membeli sabun mandi atau sabun cuci piring khusus untuk Ellie saja mereka tak mampu, bagaimana mungkin membayar seorang budak?

Ini masih banyak, rintihnya dalam hati sambil mengempaskan tangannya ke tumpukan piring di sisi bilasan, membuat piring-piring itu jatuh....

Dan, ... tentu saja, pecah.

"Rea! Berhentilah berbuat onar!" teriakan Ma membuat hati Rea bergetar kesal menahan marah.

Coba Ellie yang menjatuhkan piring-piring ini, pasti mereka langsung berlari ke belakang, menolong Ellie sambil mengusap-usap tubuhnya.

Air mata Rea menitik. Ia mendesah, menahan gaunnya lalu berjongkok untuk membersihkan pecahan piring keramik. Ujung jarinya tak sengaja menyentuh bagian tajam pecahan keramik.

"Aduh ...." Lalu gadis itu berkata, "Astaga! Apa ada yang lebih buruk daripada ini?"

"Kamu tidak apa-apa?" ucap seseorang yang tiba-tiba muncul dan meraih telunjuknya yang terluka.

Ia menggeleng pelan, menatap terpesona pada sosok pria tampan di hadapannya, Tommy. Rea sudah memendam rasa pada Tommy sejak mereka berumur lima tahun.

Di antara sebegitu banyak hal yang membuatnya tidak bahagia, kehadiran Tommy sudah bagai oasis yang muncul saat ia sangat kehausan di padang pasir.

"Aku bantu, ya, Rea?" tanya pria itu padanya.

Ia hanya mengangguk pelan, mengiakan pertanyaan Tommy. "Kita lakukan bersama. Agar selesai lebih cepat." Sambil tersenyum Rea ikut memunguti pecahan beling di sekitarnya.

Pekerjaan ini terasa sangat menyenangkan, apalagi dengan Tommy berada di sisinya. Hatinya sedikit terhibur setelah seharian ini rasanya semua hal berkomplot untuk membuatnya murka.

"Tommy, tunanganmu menunggu di depan. Segeralah temui dia."

Segera dan tanpa diminta pandangan mata Rea langsung menatap Ma, wanita yang sesaat lalu meminta Tommy ke ruang tamu mereka. "Tunangan?"

"Adikmu belum memberitahu? Hari ini Tommy dan Ellie akan bertunangan. Karena itulah rumah kita ramai."

Tommy tersenyum, dan seperti menambah garam di hati Rea, lalu berkata, "Mohon bantuannya kakak ipar. Aku mencintai adikmu."

* * *

[Completed] Behind The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang