Bab 2: Di Gudang Gereja

49 12 4
                                    

Dalam temaram kamar, kulihat bulan yang bersinar. Jendela kamar ini mulai kusam terkena jelaga lampu yang terus menyala sejak dua hari yang lalu.

Lonceng gereja tua di depan gudang tempat mereka menyekapku, berbunyi nyaring. Satu. Dua. Tiga. Tepat tiga kali, tanda sebuah pernikahan akan dilangsungkan. Harusnya saat ini aku di sana, menatap Tommy penuh cinta dengan gaun putih yang dijahit sendiri oleh Ma.

Mengapa mereka lama sekali menjemputku. Apa mereka lupa aku masih di sini? Apa mereka tidak tahu aku disekap? Apa orang-orang di depan sana tidak meminta tebusan?

Sudah berkali-kali aku menggedor pintu, memohon agar mereka membukanya. Tapi yang kudapat hanya tawa renyah pria-pria berkumis di luar.

"Sabar, Nona Ellie. Kau hanya perlu mempercayai legenda tentang si gadis kembar kota ini," balas mereka sambil tertawa dari luar sana.

Sialan! Legenda itu lagi!

Kalian tahu? Di kota ini, ada sebuah legenda yang terus menerus diceritakan agar semua orang berhati-hati untuk tidak memiliki anak kembar. Bahkan sampai ada buku tata cara melakukan seks agar hamil satu anak.

Katanya, dahulu ada seorang pastur yang mengutuk kota ini, karena membunuh kembarannya. Kutukannya berbunyi, "Siapa pun yang memiliki anak kembar di kota ini, satu di antaranya akan bahagia dan satu yang lainnya akan menderita." Sialnya, Ma melahirkan aku dan Rea. Sialnya lagi, Rea tumbuh menjadi wanita yang mempercayai cerita itu,  membuat Ma dan Da sering habis kesabaran menghadapi tingkahnya saat iri padaku.

"Hei, buka pintunya! Aku harus ke gereja di depan. Calon suamiku sudah menunggu!"

Mereka tertawa cekikikan. Seolah aku mengatakan lelucon terlucu sejagat raya.

"Calon suami katanya. Nona, apakah Nona tahu untuk apa lonceng itu berbunyi?"

Tidak! Aku tidak mau dengar. Apa pun itu, aku tidak mau dengar!

"Tommy, calon suami Nona, akan menikah. Tebak siapa gadis beruntung yang menggantikanmu?"

Mataku membelalak. Aku tidak percaya dengan apa yang kupikirkan, tapi hanya itu yang mungkin. Tidak!

"Kau sudah mengetahuinya. Aku tak perlu memberitahumu lagi!"

Air mataku turun. "Kalian bohong! BUKA PINTUNYA! Buka!!!" Dengan sekuat tenaga aku menggedor pintu gudang di depanku. Terus. Terus. Lagi dan lagi. Hingga–

–pintu itu terbuka lebar.

"Oke, Cantik. Karena pangeranmu sudah mengucap janji, dan Nona–Eh, kita mungkin harus memanggilnya Nyonya Tommy sekarang, mengatakan kami bebas. Maka, kau milik kami sekarang."

Aku menatap ketiga pria yang kini ada di ambang pintu, menutupi jalan keluar. "Apa maksud kalian?"

"Kita akan bersenang-senang malam ini." Satu dari mereka menjawab.

"Ingat, jika yang satu bahagia, maka yang satu harus menderita," jawab yang satunya lagi.

"Dan kami, ingin Nyonya kami ... bahagia," lanjut pria berbadan besar sebelum akhirnya mereka merengkuhku dalam kelamnya rasa sakit dan muak.

* * *

[Completed] Behind The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang