Bab 8: Dendam

26 7 0
                                    

Aku masih ingat.

Semua kejadian itu masih terekam jelas dalam ingatanku. Bagaimana malam itu, malam di mana seharusnya aku dan Tommy merayakan cinta, menjadi malam yang penuh trauma dalam hidupku.

"Hentikan ...."

Jangan sentuh aku lagi ....

"Tolooong ...."

Tolooong!

Aku menangis. Aku teriak. Tapi, semua tertahan, tercekik di ujung tenggorokan yang disumpal celana dalamku sendiri. Tangan-tangan itu menjamahku, menyentuhku tanpa jeda. Semuanya telah terenggut dariku. Tak ada yang tersisa.

Apalagi yang tersisa untukku? Tidak ada. Semuanya sudah tidak ada. Tidak Tommy, tidak kakakku, tidak keluargaku, tidak pakaianku, tidak kehormatanku, bahkan tidak juga tubuhku.

Apalagi yang tersisa untukku?

Di saat itulah, dia muncul. "Kau tidak apa-apa?" 

Sebuah tangan meraihku, menutupinya dengan selembar kain, menyadarkanku bahwa sentuhan kasar itu tidak lagi menjamah tubuhku. Jilatan-jilatan menjijikkan itu sudah menghilang entah ke mana.

Di sampingku, pria-pria bajingan itu terkapar bersimbah darah. Sebagian terluka di wajahnya, sebagian terluka di perutnya. Satu di antaranya menjerit kesakitan. Tertatih mencoba melarikan diri dan berhasil.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya orang yang menyelimutiku sekali lagi. Aku, saat itu, tak bisa lagi melihatnya dengan jelas, pandanganku buram.

Begitu tangannya terselip di antara tengkuk dan bawah dengkulku, aku pun tak lagi sadar ada di mana.

Aku tidak sadar tiga hari, dirawat oleh entah siapa. Tak ada satu pun keluargaku yang mencariku. Mungkin, begitu mereka tahu yang menikah dengan Tommy bukan aku, mereka memutuskan untuk menyembunyikan dan menutup rapat semuanya.

Aku masih ingat, setelah sadar di tempat yang tidak kukenali itu,  aku sempat pulang ke rumah bertemu Ma dan Da. Entah apa yang mereka dengar tentangku. Hanya satu yang kudengar dan akan selalu kuingat seumur hidupku.

"Dasar anak kotor! Murahan! Pergi! Kami tidak menerimamu di sini."

Kalimat yang memotivasiku membubuhkan racun ke pizza yang mereka pesan. Pizza yang di antar oleh salah satu pria yang lolos dari maut tangan penyelamatku.

Kill three birds with only one stone.

Penyelamatku begitu sering mengingatkanku untuk selalu mengerjakan sesuatu secara efisien. Usianya cukup tua. Mungkin sangat tua jika dibandingkan dengan Ma dan Da.

Kalimat yang menyadarkanku dari kenaifan.

Kalimat yang juga memotivasiku untuk membalaskan dendam pada mereka semua yang menghancurkan hidupku. Pada kalian Ma, Da. Padamu kembaranku tersayang. Padamu pria yang sangat kucintai.

Juga ....

Termasuk kau penyelamatku. Pria yang akhirnya juga memperkosaku. Juga penyebab dari semua kutukan dan bualan mengenai anak kembar di kota ini.

Ya, kan, Pak Pendeta?

* * *

[Completed] Behind The TruthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang