#22

6.9K 355 1
                                    

Tok tok tok. . .

Dervla sedikit terkejut, saat mendengar suara pintu kamarnya, yang diketuk. Segera, ia bangkit dari ranjangnya, dan berjalan untuk membukakan pintu.

"Franc?" ucapnya, saat melihat Franc, yang sedang berdiri di depannya.

"Dervla, kita harus pergi sekarang" ujar Franc, sambil melangkah masuk ke dalam kamarnya Dervla.

"Pergi? Pergi ke mana?" tanya Dervla, yang terlihat bingung.

"Pergi dari sini, kita harus meninggalkan semuanya, yang berada di sini, termasuk Xandre, dan Joe" jawabnya, sambil menatap Dervla, dengan dalam.

"Tapi, kenapa kita harus pergi?" tanya Dervla kembali, yang terlihat semakin bingung.

Dengan kasar, Franc menghela nafasnya, dan memalingkan pandangannya sejenak, "Nanti akan kujelaskan, karena kita tak punya banyak waktu. Kita harus segera pergi dari sini, sebelum Rebecca kembali" jawabnya, yang kembali menatap Dervla.

"Memangnya kenapa, kalau ia kembali? Lalu, kita ingin pergi kemana?" ucap Dervla.

"Karena kita harus pergi, tanpa sepengetahuannya. Mungkin, pindah dari negara ini" ujar Franc.

Deg!

Dervla langsung terdiam sejenak, seakan apa yang baru saja Franc katakan, memberikan pengaruh terhadapnya. Sedangkan Franc yang melihatnya pun, tentu saja menjadi bingung, karena gadis itu, yang mendadak jadi patung.

"Dervla? Kau kenapa?" tanya Franc, dengan dahinya yang mengerut.





***********************





Sedangkan, di suatu tempat. . .

Seorang wanita berjalan menelusuri taman kota, yang masih cukup ramai, karena kini waktu baru menunjukkan pukul 7 malam. Ia berjalan seorang diri, sambil memperhatikan sekitar, tapi tiba-tiba, ia merasa begitu lapar, dan sangat haus. Dan ia adalah, Rebecca.

"Sial! Sepertinya aku harus mencari mangsa, di sekitar sini" batinnya, sambil menatap ke sekitar, dan terus berjalan.

Namun tiba-tiba, ia melihat seorang anak perempuan, yang tengah duduk sendirian, di sebuah bangku yang panjang. Sebuah seringaian pun, langsung terukir di wajah Rebecca, lalu ia mempercepat langkahnya, dan berjalan menghampiri anak tersebut.

"Hai anak manis, kenapa kau sendirian saja?" sapanya, saat berada di dekat bangku panjang, yang diduduki oleh anak itu.

Anak perempuan itu pun, langsung menoleh ke arahnya, dan menatapnya, "Aku tersesat" jawabnya dengan lirih, yang kemudian menundukkan kepalanya.

Mendengar jawabannya, membuat Rebecca langsung duduk di sebelahnya, "Tersesat? Memangnya, ke mana kedua orang tuamu, sayang?" tanyanya, sambil mengusap bahu anak itu.

Tapi anak itu hanya menggelengkan kepalanya, dan tetap menundukkan kepalanya.

"Mangsa yang menggemaskan" batinnya, sambil menatap anak itu, dari samping, "Bagaimana, kalau aku antar pulang? Kau tahu kan, di mana rumahmu?" ucapnya.

Anak perempuan itu langsung mengangkat kepalanya, dan menatapnya, "Benarkah? Tentu, aku tahu di mana rumahku. Tapi. . . Aku tak berani, jika pulang sendirian" ucapnya, yang kembali menundukkan kepalanya.

Bibirnya Rebecca pun langsung terangkat, lalu ia berkata, "Adik manis, biar aku yang mengantarmu pulang, ya? Dan, akan kupastikan, kalau kau akan pulang dengan selamat, sampai di rumahmu".

Mendengar apa yang baru saja Rebecca katakan, membuat anak itu kembali menatapnya, "Aku mau, kak! Ayo antar aku pulang" ajaknya, yang terlihat begitu bersemangat, dan langsung menarik tangannya Rebecca.

Sebuah seringaian, mulai terukir di wajahnya Rebecca, lalu ia segera bangkit dari bangku itu, dan berkata, "Anak pintar. Iya, ayo kita pulang".

Hanya dengan sebuah anggukkan, anak perempuan itu menjawabnya. Lalu Rebecca segera meraih tangannya, dan menuntunnya. Dan kemudian, mereka segera berjalan, meninggalkan taman tersebut.

Saat diperjalanan, mereka melewati jalan yang cukup sepi, dan hanya diterangi, oleh lampu jalan, yang tidak terlalu terang. Tapi mereka terus saja berjalan, dan tidak mempedulikannya. Namun, sesekali Rebecca menoleh ke arah anak itu, dan menyunggingkan senyuman, yang mengerikan.

"Kau tidak takut kan, sayang?" tanya Rebecca, yang tetap menggenggam tangan si anak, dan terus berjalan.

Tanpa diduga, anak itu malah menggelengkan kepalanya, dan menoleh ke arah Rebecca, "Tidak kak, untuk apa takut?" ucapnya, dengan wajah polosnya.

Bibirnya Rebecca pun langsung terangkat, saat mendengar jawabannya anak itu, "Anak pintar, dan juga pemberani. Kalau boleh kakak tahu, siapa namamu sayang?" tanyanya.

"Namaku, Arabella. Tapi panggil saja Ara" jawab anak itu, dengan disertai senyuman, yang terukir di wajah mungilnya.

Melihat senyuman manis di bibir mungil anak itu, membuat Rebecca jadi tak tega, untuk menghisap darahnya. Ia pun menatap anak itu dengan kasihan, tapi di sisi lain, ia tetap membutuhkan darah saat ini juga. Lalu tiba-tiba, ia menghentikan langkahnya, hingga membuat anak itu menjadi bingung, dan ikut menghentikan langkahnya juga.

"Kenapa berhenti kak? Kita kan belum sampai" ucap anak itu, sambil menatapnya.

Namun Rebecca tak menjawabnya, dan menatap anak itu, dengan tatapan yang mengerikan, seperti seekor singa, yang sedang menatap mangsanya. Lalu tanpa berkata apa-apa, ia mendekatkan wajahnya, pada wajah anak itu, semakin lama dan semakin dekat. Dan saat sudah begitu dekat, ia mencari celah, antara dagu dan lehernya anak itu. Dan kemudian, ia menoleh ke arah si anak, dan menyunggingkan senyuman, yang mengerikan.

Lalu ia mulai menancapkan, kedua giginya yang tajam, pada kulit leher anak itu, hingga membuatnya berteriak kesakitan, tapi ia buru-buru menutup mulutnya. Dan saat merasakan, darah yang mengalir keluar, dari kulit lehernya anak itu, ia pun langsung menghisapnya dengan sigap, dan begitu kuat. Namun tiba-tiba. . .













To be continue. . .

Tueur de Vampire [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang