Ales: Crown

119 8 0
                                    



Empat kursi memutari meja bundar. Punggung kursi dibuat lebih tinggi dengan ukiran mahkota yang disilang pedang diatasnya. Di luar, langit sama sekali tidak menunjukkan belas kasih, menenggelamkan siapapun yang berniat meremehkannya. Hanya cahaya bulan dengan gelar sang penjaga yang membuatnya diam.

Benar-benar suasana yang membuat Dalarisa tidak mampu bersuara. Malam memang mencekam, tapi apa yang terjadi dengan dua orang didepannya jauh dari kata mencekam itu sendiri. Ales masih seperti biasa, Allan tengah menanti siapa gerangan yang berniat memecah keheningan, dan Ruzsa, gadis itu bersedekap sambil bersender, tidak lupa dengan dagu terangkat yang menunjukkan betapa angkuhnya dia.

"Bagaimana cara kerja dunia?" Allan sepertinya tidak tahan dengan kebisuan ini.

"Apa yang kau inginkan? Menata ulang semesta?" Sahut Ruzsa.

"Kemarin, hari ini, dan besok. Kita sudah melalui kemarin, menjalani hari ini, dan menanti esok." Ales tampak menjawab, "Aku lebih suka menyebutnya pengulangan. Dan yang menyenangkan manusia tidak akan bisa mengulang kemarin, hanya bisa menjalani hari ini, dan menebak-nebak esok hari. Bukankah ini terlihat seperti permainan satu arah?  dan kita diharuskan terus maju."

"Fikiranmu menari-nari seperti biasa, Ales." Terbersit senyum kecil dibibir Allan. "Aku harus memutar otak untuk melawanmu yang seperti ini."

"Kita hanya ingin melindungi Kalyca, tapi cara dari masing-masing diri kita begitu bertentangan." Giliran Dalarisa yang membuka suara, "Allan dengan kekuatan politiknya, Ruzsa dan kemiliterannya, dan Ales dengan dunia bawah yang digelutinya. Sampai mulut berbisapun, jika kalian tetap gigih dengan pendirian masing-masing, dunia hanya bisa menonton kehancuran Kalyca."

"Jangan terlalu dramatis, Dalarisa." Ruzsa meliriknya, "Ketahuilah, siapa yang terkuat maka dialah yang bisa melindungi Kalyca."

"Tugasmu hanya sebagai penikmat, atau mungkin kau ingin terlibat dalam pertarungan ini?" Allan tampak memegang pisau kecil dan melemparnya ke buah apel di keranjang buah. Tepat, pisau itu tertancap.

"Jika Dalarisa terlibat, maka kitalah yang akan terbuang. Dia putri yang dicintai semua orang, dan kita hanya sarang bagi para pembenci. Kau akan kalah Allan. Hal itupun berlaku padaku." Ales berbicara dengan santai, dan Dalarisa mengamati pemuda yang tidak menunjukkan emosinya sedari tadi. "Tapi, bukan ide buruk. Dalarisa, kenapa kau tidak mengambil tahta ini saja?"

Allan dan Ruzsa langsung menatap Ales, membuat si pencetus ide hanya tersenyum kecil mendapat reaksi sedahsyat itu.

"Aku hanya bercanda. Tenang saja, selama permainan ini tidak membosankan. Aku selalu berada dipihak pecinta kedamaian." Kelakar Ales.

"Tidak ada kata damai didalam duniamu, Ales." Dalarisa menghela nafas berat, tubuhnya bersender, mendadak kepalanya pening melihat pertarungan antar saudara ini. Tidak ada yang mau mengalah, mereka bertiga begitu berambisi, atau tidak? Allan terlihat tidak mau kursi itu jatuh kepada orang lain, Ruzsa sepertinya tidak terlalu berminat, tapi kehadiran Ales membuat gadis itu bertindak. Dan Ales sendiri, Dalarisa yakin Ales mengikuti permainan ini semata-mata untuk membunuh kebosanannya. Dan selama ini Dalarisa menjadi pihak netral, dimana jika tahta jatuh ketangannya hal itu tidak akan menjamin hubungan saudara-saudaranya akan membaik. Mungkin, jika salah satu dari mereka  memenangkan pertarungan ini, maka permainan bodoh ini akan berhenti.

"Pastikan saja aku tidak melihat mayat kalian didepan mataku." Dalarisa langsung beranjak, suasana disini begitu sesak, dimana eksistensi mereka telah merenggut oksigen yang ada. Dirinya ingin sekali tertawa, Negeri Kalyca yang begitu berkuasa, ternyata dikendalikan orang-orang gila dibelakangnya, yaitu saudara-saudaranya.



....

Memory X AlesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang