ALES: Kisah Kafka

94 9 2
                                    

Pemandangan tidak biasa terlihat, di dalam Kastil dengan penjagaan yang begitu ketat. Terpencil sudut kehadiran, membuat anak berusia empat belas tahun ini melebarkan mata berbinar. Kakinya yang berayun ketika melangkah seketika berhenti, senyum di wajahnya kini semakin lebar.

Benarkah apa yang ia lihat?

Daun-daun pohon yang gemerisik, bertolak belakang dengan adrenalin yang tengah bergelut di bawahnya. Pemuda lain yang berusia dua tahun lebih tua darinya tampak disana, bersama tubuh orang yang tidak berdaya saat tusukan pisau tidak berhenti diarahkan kepadanya. Bahkan, saat orang dibawahnya tidak ada tanda-tanda bernafas, gerakan tangan itu semakin membabi buta.

Anak ini dengan langkah ringan menghampiri. Tidak terusik sama sekali dengan aroma darah yang tercium. Dirinya tidak berhenti dibuat kagum oleh pemuda dengan lensa biru yang memikat. Tampak berani dengan tatapan tajam yang diarahkan kepadanya.

Angin seketika berhembus seolah menunjukkan tokoh superior yang bersinar dimatanya. Saat sampai langkahnya berhenti, tubuhnya seketika berjongkok, menatap dengan antusias manusia yang tidak bergerak disana. "Dia ayah 'kan? Wajahnya hancur sampai-sampai aku tidak mengenalinya."

"Katamu kau tidak menyukainya." Suara yang menunjukkan tanda-tanda keremajaan terdengar.

Matanya mengerjap sebelum mendongak keatas. "Bagaimana kakak tahu?"

"Kau mengatakannya saat tidur."

Dia baru tahu kalau tidurnya sangat berisik sampai-sampai telinga pemuda disana peka. "Apa aku juga mengatakan ingin membunuhnya?" tangan kurus disana mengetuk dagunya pelan. "Ternyata ayahanda benar-benar menganggu tidurku."

"Kafka..."

"Ya, kakak?" Sahutnya.

Pemuda ini memandanginya secara menyeluruh. Melihat dengan teliti dirinya membuatnya hanya bisa mempertanyakan tindakan itu dalam diam. "Penampilanmu lebih berantakan dariku, kau kacau sekali." Kata kakaknya.

Kafka menyentuh dahinya dan mendapati cairan merah kental keluar dari sana. "Ibunda mempunyai pelayan yang mengerikan. Dia melemparku dengan vas bunga, saat aku ingin mengucapkan salam perpisahan dengan ibunda."

"Lalu apa yang terjadi?" Tanya kakaknya heran.

Kafka dengan semangat menjawab, "aku juga membunuhnya!" kilasan merah disetiap ingatannya membuat anak ini tersenyum. Tangannya terangkat dengan gerakan mempraktikan kembali. "Berbeda dengan ibunda yang bisa tidur dengan indah. Aku memukul kepala pelayan itu sampai hancur sembari mendengarkan nyanyiannya meminta pengampunan."

Kafka tidak sengaja menjumpai Ales saat ia berada di markas Rasia untuk bertemu salah satu Dewan Utama Rasia, Vadius Almeta-- yang sekaligus pimpinannya.

Entah kenapa hari itu, Ales terlihat tidak bersemangat. Pengawalnya yang tidak salah bernama Kiel--atau siapalah itu, Kafka tidak peduli karena Kiel selalu membuntuti Ales kemanapun pemuda itu pergi. Juga menunjukkan raut khawatir sembari terus melihat Ales.

Spontan saja Kafka mengajak Ales untuk mendengarkan kisah masa kecilnya yang menurutnya lucu. "Kakak mengatakan penampilanku kacau, padahal pakaiannya juga bersimbah darah waktu itu."

Herannya Ales mendengarkan dengan tertarik. "Lalu, apa yang terjadi?"

"Kau tidak bertanya kenapa kami membunuh mereka?"

Ales menggeleng. "Setelahnya, apa yang terjadi?"

Senyum tipis terbersit dari bibir Kafka, menurutnya Ales selalu bisa mengejutkannya. "Manusia itu lemah. Tidak peduli bagaimana bentuknya. Ada kalanya menginginkan kehidupan tapi ternyata tidak. Ada kalanya ingin bahagia tetapi memilih menderita dengan bersedih. Kami tersenyum setelahnya, tetapi saat kami berpandangan ternyata kami berdua meneteskan air mata. Kakak bilang, itulah kelemahan manusia, abaikan saja, nanti juga terbiasa."

"Rasanya menyenangkan memiliki kakak." Komentar Ales. "Aku sepertinya punya satu dan kami serupa."

Kafka mengangkat kedua alisnya tertarik, ada fakta baru yang diketahuinya. "Kau memiliki saudara lain? Selain para Zytka?"

Ales memiringkan kepalanya, menutup bibirnya dengan telunjuk sembari tersenyum sebagai isyarat agar Kafka diam. "Aku sudah membawanya kesisiku."

Lonceng peringatan berdenting di kepala Kafka, segala sesuatu tentang Ales selalu menarik perhatiannya. Yang jadi pertanyaan, siapa?

"Apa kau tahu Kiel?" Tanya Kafka kepada orang lain yang ada disana.

Dan seperti biasa Kiel hanya menunjukkan aura permusuhan sembari menatap tajam Kafka, ketidaksukaan Kiel terhadap Kafka sudah tidak terdefinisikan lagi. "Sebaiknya kita pergi, kau berkeringat lagi." Kata Kiel kepada Ales sebelum menggenggam tangannya untuk pergi dari tempat ini.

Kafka membatin heran, apa Ales sakit? Tiba-tiba sebuah ide muncul dari otaknya. Dirinya bisa menjenguk Ales di kediamannya! Kapan lagi dia mempunyai alasan untuk kerumah Ales?

"Aduh!" Kafka mengaduh ketika sebuah buku tebal dihantamkan ke kepalanya. "Kenapa kau memukulku?!"

Vadius Almeta menurunkan bukunya, pemuda berkacamata ini sudah bisa membaca isi otak anak buahnya. "Aku yang akan membunuhmu jika kau berani kesana."


Memory X AlesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang