Ales: Kabut Kematian

103 6 0
                                    

Merenggangkan tulang jarinya yang kaku. Pemilik lensa violet ini menopang kepalanya dengan tangan sembari bersender di kursi kebesarannya. Melihat ruang sebesar ini nampak remang dengan penerangan yang dinyalakan seadanya. Karpet mewah hampir memenuhi ruangan dengan selambu yang serupa. Jendela besar membiarkan angin masuk menimbulkan dingin yang menusuk.

Merasa bosan, satu-satunya eksistensi dengan pakaian gelapnya mengetukkan jarinya. "Kenapa lama sekali?"

Seorang gadis dengan sabit besar berada diatas, ditangga yang berada dipojok ruangan. Sebelah matanya tertutup topeng yang tidak biasa, dengan ukiran tengkorak yang menakutkan. "Kau selalu tidak sabar. Tidakkah kau lihat, dinginnya sang malam sedang berpihak kepadamu?"

"Kutipan mana yang kau ambil?" sahutnya.

Mengedipkan sebelah mata, gadis ini tersenyum, "pangeran kita yang mengatakannya."

Terdengar teriakan dan barang yang dibanting dari ruangan lain. Karena kosongnya tempat ini menimbulkan gema yang memekakkan. Senyum kecil timbul dari si violet, "Nyanyiannya selalu membuat dadaku bergetar."

"Kafka...." panggil sang gadis.

"Hm?"

"Kau mengerikan." Lanjutnya yang langsung membuat Si Violet Kafka tertawa.

Kafka berdiri dan berjalan menuruni lima anak tangga. Jubahnya berkibar seiring langkahnya yang terburu, "aku ingin melihatnya."

"Kenapa kau begitu tertarik kepadanya?"

Langkah Kafka berhenti. Matanya menatap lurus lorong panjang yang menghubungkan ruangan disana, mulutnya bergerak, "dia begitu menyedihkan. Manusia paling kasihan yang aku temui selama ini. Tapi, Haile. Apa yang ada difikirannya membuat seorang Daris pun luluh. Kesempurnaan yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kau...kau akan mengerti saat berbicara dengannya."

Haile, si gadis berdiri kemudian melangkah sembari mengeret sabit besarnya membuat bunyi nyaring bergesekan dengan lantai. "Aku tidak mengerti. Terakhir kali dia terlihat tertarik dengan kabut kematian."

"Kabut kematian?"

"Kabut yang datang dan dapat membunuh siapapun didekatnya."

Kafka melihat Haile dengan ekor matanya, sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman, "bagaimana kalau kita melihatnya?"

***



Warna merah sangat kontras dengan jubah putih yang diterangi rembulan. Kaki telanjang yang basah dan lengket disaat bersamaan, sebuket bunga putih berada digenggamannya. Kepalanya terlihat mendongak kepada satu-satunya sumber cahaya. Begitu rupawan, membuat seseorang dengan pedang yang berlumuran darah disana tertegun.

Tenang sekali, seolah kekacauan tadi tidak berarti sama sekali.

Ales menengok yang terasa lambat baginya. Matanya menyipit diiringi dengan senyuman yang keluar. "Terimakasih atas kerja kerasnya, Kiel."

Kiel mengatur nafasnya, pedang masih tergenggam erat ditangannya, banyak mayat bergelimpangan disekitarnya, wajah dan tubuhnya juga ikut berlumuran darah. Melepaskan pedangnya, Kiel berlutut, "apa ini terlalu berlebihan untukmu?"

Kecipak darah terdengar saat Ales menginjaknya. Sosok itu berdiri didepannya sembari mengulurkan bunga, "aku menyiapkannya untukmu."

Mendongak, tak henti-hentinya Kiel dibuat tertegun, kedua tangannya terulur mengambilnya, "bunga ini akan kotor."

"Warna merah bukan masalah untukku." Jawab Ales, "Lagipula, Kalyca juga membutuhkannya."

"Aku merasa tersanjung." Kiel mendekap bunganya, bukan gayanya mempertanyakan tindakan Ales, tapi Ales bukan tipe orang yang suka bermain rahasia, dia akan menjawab kepada siapapun yang bertanya kepadanya. "Kacaunya Kota Marla, bukankah mereka yang membereskannya?"

Memory X AlesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang