reprimand

3.6K 112 5
                                    

Happy reading

Plaaakk..

Bunyi buku data pasien yang dilempar tepat mengenai pelipis gue oleh Erik. Erik ini adalah kepala bagian UGD. Dia yang bertanggung jawab mengenai segala hal tentang UGD. Walaupun gak segalanya, karena menurut gue pekerjaan Erik terlalu santai dibanding kami dokter dan suster yang selalu stay di UGD. Erik ini terkenal dengan pribadi yang pemarah. Gue gak tau gimana sikap dia terhadap dokter lainnya, tapi jujur gue sama dia gak pernah akur.

Gue yang baru dilempar hanya diam sambil menahan emosi gue. Jangan sampai gue ancurin juga muka dia yang sok angkuh itu. Gini-gini gue masih ngerti soal etika. Dia atasan gue, apalagi ini di rumah sakit, di ruangan dia pula. Gue merasa sedikit ngilu di sekitar pelipis gue. Semoga saja tidak berdarah.

"Kamu mengerti gak sih? Sudah berapa kali saya bilang perhatikan prosedurnya!" Kata Erik sambil melotot marah.

"Tapi pasiennya hampir sekarat pak, kalo disuruh tunggu nanti bisa berbahaya. Apalagi pasiennya ibu hamil," jata gue membela diri.

"Memangnya gak ada cara lain?"

Gue diam.

"Lihat posisi kamu disini. Kamu itu cuman dokter UGD, bukan dokter bedah! Jangan merangkap, mau jadi pahlawan?"

Gue diam. Biarkan dia bicara sesukanya. Kalo gue tanggapi bisa jadi bukan mukanya saja yang ancur, ruangan ini juga gue obrak-abrik.

"Bagaimana kalo pak ketua tahu? Saya juga yang bertanggung jawab. Saya tahu kamu dokter dengan lulusan terbaik, tapi perhatikan juga posisinya. Saya tidak suka dengan dokter yang sok pahlawan kayak kamu. Seorang dokter disebut pahlawan kalo dia sudah mengikuti semua prodesurnya" jelas Erik panjang lebar.

Ocehan Erik hanya gue jawab dengan berjalan keluar ruangannya tanpa memohon diri. Gue harus keluar sebelum semua terjadi dibawah alam sadar gue.

Dan sekarang gue berakhir dengan Anisa yang sedang mengobati pelipis gue yang robek akibat ulah Erik. Posisi gue sama Anisa lumayan sangat dekat dengan gue yang duduk sedangkan Anisa yang berdiri berhadapan dengan gue. Gue yakin orang yang lewat pasti salah paham kalau lihat posisi kami yang seperti ini.

"Udah gak apa-apa Nis, nanti gue yang obati sendiri," tolak gue dengan lembut.

"Gak apa-apa Stan, bentar lagi selesai kok. Tahan dikit ya,"

Gue hanya menuruti ucapan Anisa. Lagian ini anak bakalan semakin menjadi-jadi kalo gue beralasan.

"Gue kan udah bilang sebelumnya, lo aja yang gak mau dengar,"

"Gak usah diomongin. Lagian gue juga yang dimarahin,"

"Gue khwatir sama lo Stan,"

"Ia gue tau kok. Semua udah beres." Kata gue sambil mendorong tubuh Anisa sedikit menjauh. "Makasih yah udah obatin. Lain kali jangan terlalu dekat posisinya, bisa salah paham," sambung gue.

Anisa kaget dan tersenyum kecut. Dia seperti tidak menerima ucapan gue barusan.

***

Gue, Anisa dan dokter KOAS lainnya baru selesai evaluasi. Sudah menjadi hal yang biasa setiap malam bagi kami untuk mengevaluasi apa yang kami lakukan hari ini.

Gue merapikan barang-barang gue dan mau balik keruangan gue. Dokter KOAS yang lain juga sudah mau keluar dari ruangan.

"Stan gue minta jatah gue dong," pinta Anisa tiba-tiba.

Semua anak KOAS yang sudah mau keluar langsung berbalik dan melihat kearah gue dan Anisa.

"Apa sih Nis, ngagetin aja,"

"Gue minta balas budi, tadi siang gue udah bantuin lo obatin lukanya. Gak apa-apa kan gue minta balasannya,"

"Yaudah lo mau apa?"

"Karena lo sama gue free, makan diluar yuk. Ditempat biasa,"

"Oke. 30 menit lagi. Gue mau ngomong sama Bimo," kata gue sambil melihat kearah Bimo. Bimo yang sudah diluar ruangan pun sontak melihat ke gue juga.

Semua orang pergi meninggalkan gue dan Bimo. Gue menatap Bimo dan juga ditatap balas oleh Bimo. Sekitar 30 menit kami dalam keadaan seperti itu. Bimo memeliki tatapan yang tajam. Tidak ada rasa takut disana. Dia menatap gue seolah gue adalah temannya. Entah mengapa gue merasa kalau dia meremehkan gue.

"Maksud lo apa?" Tanya gue.

"Sebenarnya saya yang tanya, maksud apa dokter ingin bertemu dengan saya?"

"Lupa atau pura-pura lupa?"

Alis Bimo terangkat keatas dan kemudian dia tertawa.

"Soal rambut?"

Gue mengangguk. Bimo kembali tertawa.

"Ginana yah? Menurut gue gak masalah. Bukannya anda sendiri yang bilang kalo yang anda nilai dari anak KOAS bukan penampilan tapi kerja sama? Jadi gak masalah dong kalo rambut gue gondrong? Atau anda merasa kalo karisma anda berkurang dengan kehadiran gue?"

Gue pengen ngakak mendengar ucapan Bimo.

"Gue cuman mau ngingatin lo, disini banyak dokter senior. Gue suruh lo gunting rambut biar bisa membedakan mana dokter senior dan mana anak KOAS. Disini gue bertanggung jawab penuh atas lo semua dan satu lagi, gue gak pernah takut karisma gue berkurang," kata gue sambil menepuk pundak Bimo dan pergi dari situ.

***

Gue menepati janji gue sama Anisa. Kami berdua bakalan dinner bareng di tempat biasa kami ngumpul. Gue mengeluarkan mobil gue dari parkiran dan menuju tempat Anisa menunggu gue. Anisa sudah mau masuk tapi pandangannya teralih pada seorang gadis yang berusaha mengeluarkan motornya. Anisa belum masuk ke mobil gue, ternyata dia menunggu gadis itu keluar dari parkiran dan kemudian menahan dia bersama motornya setelah mendekat. Karena gue kenal gadis itu sekaligus gue penasaran apa yang mereka bicarakan gue pun turun mendekati mereka.

"Gue baru tau kalo selama ini lo bawa motor kesini," kata Anisa pada Tasya.

"Iya dok, aku bawa motor,"

"Lo gak dinas?"

"Ia dok. Malam ini aku free, mau pulang,"

"Pake motor butut ini?" Tanya Anisa.

"Biar butut tapi lumayan berjasa buat aku," Tasya mulai terpancing emosinya sedikit ketika motornya disebut butut.

"Nama motornya beby lo Nis," kata gue yang dari tadi diam saja.

Anisa tertawa saat gue menyebut nama motor Tasya. Tasya hanya melihat gue dengan tatapan menjengkelkan yang pernah gue lihat.

Anisa mengeluarkan dompetnya dan mengambil beberapa uang seratusan kemudian menyodorkan ke Tasya.

"Simpan aja motornya, lo pulangnya pake taksi aja,"

"Hehehe, gak usah dok. Makasih," tolak Tasya.

"Gak apa-apa ambil aja. Atau kalo lo mau lo bisa nebeng bareng kita. Boleh kan Stan?" Gue mengangguk. "Lagian ntar lo masuk angin lo," lanjut Anisa.

"Aku pake jaket kok. Lagian jarak dari sini kerumah aku gak sampe 30 menit. Kalo ngomong soal masuk angin, apa kabar sama abang ojek diluar sana dan para pengendara motor lainnya? Mereka gak pernah komplain soal masuk angin tuh?"

Anisa diam mendengar ucapan Tasya yang lumaya benar. Dia gak tau sih dari dulu Tasya kalo berdebat selalu menang.

"Maksih sudah perhatian. Tapi kalo memang dokter Anisa iklas dan maksa, aku ambil deh uangnya," kata Tasya sambil mengambil beberapa uang ratusan dari tangan Anisa. "Aku permisi dulu, sampai nanti," kata Tasya kemudian pergi meninggalkan gue dan Anisa yang masih kaget melihat tingkah Tasya yang sebenarnya.

Jangan lupa pencet ☆

StanlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang