Dion memarkir mobilnya di samping jeep Aya. Rasa kuatir memikirkan Aya yang masuk sendirian ke rumah singgah yang kosong tanpa ditemani siapapun membuat Dion buru-buru berjalan cepat menuju rumah singgah. Hatinya tercekat begitu mendekat dan mendapati rumah tersebut dalam keadaan gelap gulita, apalagi ia melihat ada kobaran api kecil yang mulai merambati dindingnya dari arah belakang.
Seseorang yang mungkin kebetulan sedang lewat dan juga melihat api yang mulai merambati rumah mendatangi Dion, "Wah Mas, Kebakaran ya?"
Dion tak menjawab dan langsung masuk dari pintu depan yang terbuka lebar sambil berteriak panik memanggil Aya. Tak ada jawaban. Dion yang tidak membawa senter atau penerangan apapun meraba-raba dalam gelap masuk ke arah ruang makan dengan napas memburu sambil terus memanggil Aya. Segala sumpah serapah berkumpul di dadanya manakala tak lama kemudian mendapati Aya tergeletak di tengah ruangan tak sadarkan diri dengan senter yang masih menyala tak jauh darinya. Bagian kepalanya tampak terluka. Tanpa membuang waktu Dion mengambil senter tersebut dan cepat-cepat menggendong tubuh Aya keluar dari rumah tersebut.
Sesampai di luar Dion mendapati beberapa orang yang mungkin warga sekitar tampak sudah berkumpul siap membawa ember-ember berisi air. Mereka bergerudukan masuk ke dalam rumah.
"Kebakarannya dari arah mana Mas?" tanya salah seorang diantaranya.
"Dari arah dapur Pak, tolong cepat panggil Damkar," jawab Dion sambil tetap menggendong Aya.
"Saya sudah panggil Damkar dan juga polisi," kata salah seorang lagi yang mungkin tokoh setempat.
"Terimakasih Pak, saya mau bawa teman saya ini dulu ke rumah sakit, Bapak bisa menghubungi Mas Randy caretaker rumah singgah ini bila nanti polisi perlu keterangan, atau ini nomor telpon saya bila dibutuhkan juga," Dion pun menyebutkan nomor telponnya sebelum ia lalu berjalan cepat menuju mobilnya dan ngebut membawa Aya ke rumah sakit terdekat.
Setibanya di rumah sakit, Dion langsung membopong Aya masuk ke IGD. Aya yang mulai siuman tampak kebingungan dan kesakitan. Dion baru sadar kalau luka di bagian kepala Aya ternyata cukup parah. Darahnya mengotori lengan baju Dion. Dengan panik ia segera mendatangi seorang perawat dan menceritakan dengan singkat kondisi Aya. Untunglah IGD sedang tidak terlalu penuh sehingga Aya segera bisa ditangani oleh dokter. Sambil menunggu Aya dalam penanganan dokter, Dion tak menyia-nyiakan waktu dengan segera menghubungi teman-temannya dan mengabarkan keadaan Aya.
Tak berapa lama Mas Randy menelpon Dion. Ia mengabarkan bahwa kebakaran di rumah singgah sudah berhasil dipadamkan oleh tim DAMKAR dan ia juga sudah dihubungi oleh pihak kepolisian untuk diberikan laporan sementara. Ada seseorang yang tertangkap oleh warga sedang sembunyi di kamar mandi saat warga berusaha memadamkan api secara swadaya sebelum tim DAMKAR tiba. Diduga orang tersebut yang sengaja membakar rumah singgah dan dikenal sebagai salah satu preman yang sering mangkal di terminal. Menurut penyidikan awal polisi sepertinya tersangka bekerja sama dengan satu temannya yang berhasil kabur duluan. Saat ini polisi sedang memperdalam motif pembakaran rumah singgah tersebut.
Dion lalu menceritakan dengan singkat bagaimana ia dan Aya bisa berada di tempat kejadian pada saat peristiwa pembakaran terjadi dan juga kondisi Aya terkini. Mas Randy merasa sangat prihatin dan menyampaikan salamnya untuk Aya yang disertai dengan doa supaya Aya cepat sembuh sebelum ia menutup pembicaraan mereka.
Baru saja ia menutup telponnya, teman-teman Dion dan Aya berdatangan satu per satu. Dimulai dengan Andy, dan disusul oleh Danu plus Tiara, lalu Dina yang terakhir. Dion sangat menghargai teman-temannya yang bisa langsung datang walaupun sudah lewat tengah malam, ia lalu mengajak mereka ke cafetaria tak jauh dari lokasi IGD dan menceritakan lebih detail mengenai peristiwa malam itu.
"Aduh, Aya kenapa nggak nunggu elo dulu sih sebelum masuk?" sesal Tiara.
"Atau nggak ngechek meteran listrik di luar kenapa mati," timpal Andy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Dion menghela napas berat, "Tapi memang begitulah Aya, suka nekat."
Teman-temannya mengangguk mahfum.
Dina menggamit tangan Tiara, "Kita tengokin Aya sekarang yuk, siapa tahu sudah selesai dengan dokternya."
Tiara mengangguk setuju dan beranjak mengikuti Dina menuju ruang IGD.
"Luka di kepala Aya kenapa ya men?" tanya Andy sepeninggal Tiara dan Dina.
Dion menghela napas berat, "Nah, itu gue nggak tahu. Tapi tadi Mas Randy ngabarin gue menurut polisi kemungkinan ada dua orang yang melakukan pembakaran, satu ditemukan sembunyi di kamar mandi, tapi yang satunya lagi kabur. Bisa jadi yang satu itu sebelum kabur sempat memukul kepala Aya nggak tahu pakai apa. Mungkin panik karena tertangkap basah oleh Aya."
"Elo udah ngabarin bokapnya Aya men?" tanya Danu.
Dion menggeleng, "Tadi gue telpon ke rumahnya Aya tapi yang angkat asisten rumahnya, Mang Usin. Kata mang Usin papanya Aya lagi dinas luar kota. Terus terang gue nggak tahu nomor telpon papanya Aya, gue udah tinggalin sih nomor telpon gue."
"Wah berabe juga ya, gue denger papanya galak men."
"Hehehe, bisa aja lo."
Andy menepuk pundak Dion, "Lagipula kan bukan salah elo men, kalau gue jadi papanya Aya gue malah berterima kasih sama elo yang udah nolongin anaknya. Nggak kebayang gue kalau elo nggak datang tepat waktu. Ceritanya pasti lain."
Dion dan Danu mengangguk-angguk setuju dengan muram.
"Tuh preman-preman nekat banget ya, apa coba untungnya ngebakar rumah singgah yang jelas-jelas punya pemerintah. Polisi pasti akan ngusut sampe ketemu pelakunya," ujar Danu geram.
"Kepepet men. Yang jelas mereka merasa penghasilannya berkurang karena anak-anak jalanan banyak yang menghabiskan waktu di rumah singgah untuk belajar bukannya cari duit di jalanan. Pastinya setoran ke mereka berkurang dong," Dion menjelaskan.
Tak lama kemudian Dina muncul kembali dari arah IGD dan menghampiri Dion, "Aya nanyain elo tuh, kata dokter dia udah boleh pulang."
Dion langsung bangkit dari duduknya, "Oke, gue urus administrasinya dulu ya."
"Nggak usah, biar gue aja yang urus," jawab Dina sambil melambai-lambaikan nota resep yang ia dapat dari dokter, "Elo langsung ke Aya aja."
Andy ikut bangkit dari duduknya, "Gue temenin yuk Din."
Dina mengangguk dan mereka berdua pun pergi ke loket administrasi pembayaran.
"Buruan sana men temuin Aya," suruh Danu sambil mendorong temannya, "Bilangin Tiara gue tungguin dia di sini, biar kasih waktu elo berduaan sama Aya."
Dion nyengir dan segera pergi meninggalkan temannya untuk menemui Aya di IGD. Di jalan ia berpapasan dengan Tiara.
"Ditanyain tuh sama Aya. Buruan sana," kata Tiara sambil tersenyum.
Dion mengacungkan jempolnya.
Dion menjumpai Aya sudah duduk di pinggir tempat tidur IGD bersiap pulang. Wajahnya tampak masih pucat dan di dahinya ada perban lumayan lebar. Saat melihat Dion datang ia meringis.
"Hai," sapa Dion sambil mendekat dan duduk di sampingnya, "Udah siap pulang?"
Aya tidak menjawab tapi menyenderkan kepalanya di bahu Dion. Dada Dion langsung kembang kempis bahagia, tapi rasa bahagianya tak berumur panjang dan berganti dengan cemas saat tubuh Aya mendadak melorot seperti hendak jatuh. Dengan sigap Dion langsung menangkap tubuh Aya sambil berteriak memanggil perawat. Aya pingsan lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Playboy Versus Tomboy
ChickLit"Elo tau kan gue punya sabuk item taekwondo?" tanya Aya sambil bertolak pinggang. Dion menyembunyikan senyumnya, "Paham. Nggak usah pakai ngancem segala kali Ya." "Nggak ada salahnya gue ingetin." Aya yang cantik tapi tomboi baru putus dari pacarny...