Part 26

21 2 0
                                    


Aya terbangun dari tidurnya dan menjumpai dirinya tidak berada di kamarnya, melainkan di kamar asing yang mirip kamar rumah sakit. Seorang perawat yang sedang mengganti cairan infusnya mengkonfirmasi bahwa ia memang sedang berada di kamar di rumah sakit. Tepatnya ia sedang dirawat di rumah sakit.

Aya merasa kepalanya berat dan ia mengantuk. Sebelum memejamkan matanya kembali ia sempat melihat papanya dan Dion tampak sedang mengobrol dengan suara pelan sambil duduk di sofa besar yang ada di sudut kamar. Wajah mereka berdua serius. Tapi Aya merasa terlalu mengantuk untuk bertanya. Ia pun membiarkan alam bawah sadar menyelimutinya kembali.

Aya terbangun lagi ketika lampu-lampu di kamar sudah dinyalakan semua. Kemungkinan sudah masuk malam hari. Orang pertama yang ia lihat adalah papanya. Beliau tampak sedang bekerja dengan laptop di sofa sudut.

Aya memanggil papanya yang langsung menghampirinya dengan wajah gembira.

"Sukurlah kau sudah bangun. Masih pusing?"

"Sudah mendingan," jawab Aya sambil berusaha tersenyum. "Dion mana?"

"Tadi sore pamitan pulang. Besok katanya mau ke sini lagi bareng teman-teman yang lain."

"Dia udah nolongin Aya Pa."

Papanya mengangguk-angguk setuju, "Ya, Papa terimakasih sekali sama dia. Tapi lain kali kamu juga jangan ceroboh dan nekat begitu ya. Papa ngeri membayangkan kalau saja Dion tidak datang tepat waktu, apa jadinya itu."

Aya meringis, tapi ia tidak membantah karena sadar ia memang salah.

"Kamu tahu rumah singgah itu terbakar pada saat kamu tidak sadarkan diri?"

Aya membelalakan matanya, "Aku memang sempat mencium bau bensin sebelum ada yang menghantam kepalaku. Jadi benar ya, ada oknum yang sengaja mau membakar rumah itu pas aku masuk?"

Papanya mengangguk muram, "Kamu berada di tempat yang salah pada waktu yang salah, dua orang preman sedang beraksi mau membakar rumah singgah itu waktu kamu datang. Mereka panik, yang satu bersembunyi di kamar mandi, satunya lagi kabur setelah sebelumnya menghantam kepalamu dengan benda keras yang kita belum tahu apa. Sebaliknya Dion berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat untuk menyelamatkan kamu. Kamu berhutang nyawa padanya nak," Papa Aya menjelaskan panjang lebar.

Aya mengangguk.

"Besok kalau kamu sudah lebih sehat, ada Pak Polisi yang mau datang untuk minta keterangan, bisa?"

Aya mengangguk lagi.

"Untunglah kata dokter kamu tidak gegar otak, walau dahimu perlu dijahit. Keras juga kepalamu ya nak," Papa Aya mencoba bercanda.

Aya meringis lagi, "Turunan dari Papa, keras kepala."

Papanya terbahak.

Playboy Versus TomboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang