Chapter 2

5 0 0
                                    


Di hari keduanya, Aldiana baru saja tiba di kantor pukul 7.15 tepat. Langkahnya begitu santai saat memasuki halaman kelurahan dan mendadak terhenti saat melihat pintu menuju aula kelurahan yang terbuka lebar dan terdengar suara seklurnya itu samar-samar.

Sebentar, pak seklur sudah berada disini?, pikir Aldiana penasaran dan mulai melangkah ke dalam aula perlahan sembari mengintip dari balik pintu. Ternyata di dalam tidak hanya Tirta saja, tapi juga semua pegawai yang sedang duduk di kursi pertemuan. Mereka menoleh ke arah gadis itu serentak saat menyadari pergerakannya dan aula mendadak hening.

Mampus, pekik Aldiana di dalam hati. Gadis itu memasuki aula dengan langkah tertahan dan hanya memasang senyum getir pada semua pegawai. Semua pegawai ikut membalas senyum, entah senyum sapa atau senyum geli pada gadis itu. Tirta hanya menunjuk kursi yang masih kosong dengan jarinya sambil berkata, "silakan duduk, bu Aldi."

Ekspresinya begitu datar seakan-akan tidak terjadi sesuatu ya, gumam Aldiana yang tampak kagum sekaligus heran dengan sikap sekretaris lurah itu. Setelah gadis itu duduk, Tirta melirik arlojinya sekilas dan memulai pembicaraan lagi sembari melemparkan pandangan ke seluruh pegawai.

"Jadi, sesuai arahan dari Kasi PPM kecamatan, kita harus mengingatkan semua ketua RW untuk menyelesaikan proposal P2RW. Pak Enda, udah ada berapa proposal yang udah dikumpul?" tanya Tirta sambil memandang Pak Enda lama.

"Sudah ada 5 RW yang selesai. Tinggal 4 lagi dan sedang proses." jawab Pak Enda mantap. Tirta meresponnya dengan anggukan pelan dan kembali berbicara.

"Oke. Berarti soal rincian agenda kegiatan sudah, proposal P2RW juga sudah. Mungkin ada informasi tambahan dari bapak ibu?"

Suasana mendadak hening saat ditanya begitu oleh Tirta. Tidak lama, seklur itu berdeham sambil menatap arlojinya lagi.

"Kalo begitu, sekian dari saya. Sekarang bapak ibu bisa sarapan dulu atau mungkin absen online dulu." kata Tirta mengakhiri pertemuan itu dan semua pegawai beranjak dari kursinya. Hanya Aldiana yang masih duduk dengan ekspresi bingung.

"Kenapa?" tanya Tirta yang kini sudah berada di samping gadis itu dan membuat Aldiana terkejut. "Briefingnya udah beres kok. Sarapan aja dulu."

"Ng, iya..." gumam Aldiana lemah. Begitu Tirta mengangguk dan berjalan keluar aula, Aldiana hanya menunjukkan raut wajah cemberut sambil berpangku dagu cukup lama disana.

~000~


"Jadi begitu ceritanya, teh."

Aldiana mendengus setelah mendengar penjelasan dari Timothy sembari berpangku dagu di atas meja kerjanya. Pemuda berambut coklat cerah itu memperhatikan gelagat pegawai baru itu intens meskipun bibirnya tengah menahan senyum.

"Ini ide siapa sih yang ngadain briefing jam 7 pagi?" gerutu Aldiana keki. "Batas presensi tuh jam 7.30, kan? Atau aku salah jam masuk pula?"

"Pak lurah yang mulai, neng." timpal bu Eneng yang ikut bergabung dengan Aldiana dan Timothy. "Udah dua tahun lebih kalo gak salah mah. Jadinya udah terbiasa gitu, neng."

Aldiana mengangguk dan bergumam secara spontan. "Hebat ya. Salut deh."

Timothy dan bu Eneng hanya tersenyum mendengar ucapan Aldiana yang lugu. Di saat itu, Pakkei melewati mereka sambil membawa buku folio berwarna biru dengan motif batik.

"Tapi kalo pak lurah sama pak seklur nggak ada mah, pasti nggak ada briefing, neng." ujar Pakkei sambil menaruh buku folio itu di meja dan membukanya. Meskipun dirinya tengah fokus dengan buku itu, Pakkei kembali berkata, "bahkan kalo nggak ada berita terbaru pasti gak ada briefing. Jadinya diganti dengan sarapan bareng atau ngopi bareng."

Aldiana - The Stories -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang