Chapter 7

3 0 0
                                    

"Neng, punten uy pangngetikin data DKM tiap RW. Ceunah dedlennya teh besok lusa jadinya kudu selese sekarang, oke?"

Aldiana mengangguk ketika Bu Eneng memintanya untuk mengetik daftar nama DKM beserta pengurusnya. Dia pun duduk di depan komputer dan mulai membuat tabel sembari melirik ke secarik kertas yang berisi data-data yang disebutkan tadi. Tiga hari yang lalu, kelurahan mendapatkan surat dari bagian kesejahteraan sosial perihal pendataan DKM tiap kelurahan dan tanggal pengumpulan data terakhir adalah besok lusa. Agar tidak ribet, Bu Eneng memutuskan untuk menyelesaikan pendataan ini secepat mungkin -- tentu saja dengan bantuan Aldiana sebagai staf langsungnya.

"Gimana neng? Masih ada yang kurang nggak?" tanya Bu Eneng sambil duduk di sebelah Aldiana.

"Hm, nggak sih saya rasa? Udah cukup-cukup aja tuh." jawab Aldiana singkat sambil memperhatikan data yang baru diketik dan dibandingkan dengan data tahun lalu. Tidak begitu banyak perubahan, jika ada perubahan pun karena ada pergantian pengurus DKM.

"Oh, setelah ini, bantuin ibu ngerekap data warga miskin yak!" ujar Bu Eneng lagi. Kali ini ekspresinya tampak riang dan sesekali mengelus rambut gadis itu. Aldiana merasa canggung, baru kali ini ada yang mengelus rambutnya seperti ini.

"Euh, ibu mah seneng uy ada eneng disini." ujar Bu Eneng dengan nada manja. "Eneng mah rajin, bisaan komputernya, andalan we pokokna."

Aldiana terdiam seribu bahasa. Dia pun melirik ke arah pegawai lain yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing. Gadis itu membayangkan apakah Bu Eneng akan memuji ke staf lainnya atau tidak, mengingat sebelum Aldiana kesini, Bu Eneng adalah satu-satunya pegawai wanita di kelurahan ini. Selain itu, Aldiana merasa geli ketika ada seseorang memuji seperti itu. Padahal sudah cukup lama di kelurahan ini, tapi Aldiana belum bisa membiasakan diri dengan pimpinan langsungnya ini, terutama dengan pujian itu.

~000~


Dua hari kemudian, Aldiana tengah membawa file yang berisi data DKM yang telah dicetak dan disetujui oleh Surya kemarin. Ketika akan berangkat, Bu Eneng menghampiri dirinya dan memasang ekspresi senyum yang terkesan genit. Aldiana yang melihatnya hanya bisa membalas senyumannya dengan senyum canggung.

"Mau berangkat, kan? Bareng sama ibu aja." ucapnya dengan nada yang sama seperti ekspresinya saat ini.

"Ng, anu. Saya udah janjian sama pak Seklur buat ke Setda hari ini." kata Aldiana dengan nada pelan. Dijawab begitu, Bu Eneng tampak kurang berkenan -- terlihat dari ekspresinya yang murung.

Aldiana jadi canggung. Kenapa jadi begini?, pikirnya.

"Ah, kenapa masih disini? Ayo kita berangkat." sapa Tirta sambil membawa kunci mobilnya di tangan. Aldiana yang canggung langsung menganggukkan kepala dan pamit pada Bu Eneng saat itu.

"Sa-saya duluan..." ucap Aldiana dengan gugup lalu masuk ke dalam mobil seniornya itu. Begitu mobil dinyalakan dan meninggalkan area kantor, Aldiana menghela napas panjang dan ekspresinya tampak murung.

"Dek, ada sesuatu?" tanya Tirta yang tampaknya menyadari perubahan air muka Aldiana saat itu.

"Ng, maksudnya?"

"Yah, kamu tampak murung gitu. Ada masalah?"

Aldiana menarik napas panjang lagi sebelum akhirnya melanjutkan. "Dibilang masalah sebenernya juga bukan, tapi--"

"Tapi?" ulang Tirta penasaran.

"Sepertinya Bu Eneng kurang berkenan saat aku pergi bersama kak Tirta. Beliau emang ngajakin pergi bareng gitu."

Aldiana - The Stories -Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang