Satu bulan lagi aku akan berganti usia. Entah sedih atau senang, semua yang telah kulewati akan kusimpan baik-baik dalam kenang. Duka yang berganti cinta, cinta yang memanen luka, dan luka yang mendewasa.
Januari lalu sosok baru dengan berani menghampiriku, menawarkan segenggam harapan dengan kalimat yang menenangkan. Aku tidak dapat memastikan kebenarannya, aku juga tidak dapat mengukur kadar ketulusannya. Mata kita terhalang layar, jarak terbentang panjang dan lebar. Lalu aku dengan yakin menerima. Apakah aku sedang menemukan jalan lain menuju kecewa?
Semoga tidak, semoga dialah yang terakhir yang dikirimkan semesta padaku. Melewati perlawanan sengit, aku meyakinkannya untuk bangkit. Juga hatiku, semoga hatiku tidak lagi mendapatkan sakit.
Kamu tahu apa yang aku harapkan bersama datangnya dirimu? Aku hanya berharap satu kala itu, tetaplah di sisiku meskipun semesta tidak menyetujuinya. Kita lewati semua rintangan yang ada dengan gigih. Segigih ucapanmu kala itu, aku butuh pembuktianmu tanpa ada yang berani mengambil alih.
Terima kasih sudah hadir, terima kasih sudah terlahir. Kuharap kamulah sosok yang akan menjaga dan membersamaiku hingga akhir. Jika bukan maka semoga kita dipisahkan dengan baik-baik tanpa saling cibir. Sampai menunggu keputusan yang pasti tiba, izinkanlah aku untuk lebih mengenalmu dari segala penjuru yang belum kutahu. Izinkan aku agar dapat mengenalimu lebih baik daripada yang lainnya agar aku dapat mengagumimu dari sorot berbeda.
Anjana, Maret 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Antah Berantah (Tentang Perasaan Kita yang (M)entah)
Teen FictionTerima kasih sudah menyempatkan diri untuk hadir. Mengisi rotasi hingga menjadi nadir. Saling sapa, kecap-kecup dalam setiap bahasa. Hingga akhirnya kembali menjadi asing. Selamat kembali menjelajah, jangan terburu-buru dan punah. Kita hanya pernah...