Kita tidak bisa tawar-menawar tentang noktah takdir dengan Tuhan;
dipertemukan dengan siapa, di mana dan dalam kondisi seperti apa.
Bagiku, seperti apapun bentuk temu, tetap akan meninggalkan residu.
Untuk apa?....nanti kucari tahu
***
"WAW... kamu benar-benar melakukannya" tutur suara yang tidak asing di telingaku.
Aku langsung menoleh ke asal suara, benar saja. Dia tepat berdiri tidak lebih dari satu hasta dari tempatku. Memakai kemeja kotak-kotak lusuh favoritnya berpadu celana jeans biru dan sepatu sport hitam tanpa tali. Tangannya menepuk-nepuk udara kosong dengan wajah sedikit takjub. Kutebak dia benar-benar tidak menduga hari ini akan tiba.
"Udah?" tanyaku menghampirinya.
"Apanya?"
"Repot-repot datang ke sini, dan itu saja yang mau kamu katakan?" aku benar-benar memastikan satu hal.
"Ada yang aku lewatkan?" alisnya terangkat
"Tidak. Aku senang kamu tidak mengucapkan kalimat lain selain itu" tuturku lega.
Diam. Dia menyimak. Sambil mengimbangi langkah kecilku menuju stand buku yang sudah setengahnya dikemas.
"Kamu tahu, aku benar-benar takut. Sejak tadi orang-orang mengatakan hal yang sama padaku--sukses selalu; ditunggu karya berikutnya; bahkan yang paling mengerikan tidak sedikit yang mengatakan see you on top ya. Aku benar-benar bersyukur tidak mendengar kalimat itu darimu, dan please jangan pernah mengatakannya".
"Apa yang salah dengan kalimat-kalimat itu?" tanyanya sambil menutup kardus terakhir yang siap diangkut crew untuk dikembalikan ke kantor penerbit.
Aku tersenyum, "Tidak ada, kalimat itu secara maksud penutur mungkin baik; ingin melihatku sukses, terus berkarya hingga tujuan tertinggiku tercapai. Hanya saja bagiku rasanya sangat menyedihkan dibiarkan berjuang tanpa dibersamai; tahu-tahu udah di atas aja ketemu, gak peduli mau sukses sampe puncak pake cara apa, sama siapa, pokoknya ketemu udah sukses aja gitu" terangku panjang lebar.
Dia terdiam. Matanya menerawang jauh entah kemana. Aku memanggilnya berkali-kali, tetapi dia hanya mematung. Ah, sudahlah. Aku pun beranjak.
"Ren, tunggu!"
Aku berbalik. "Apa?"
"Kamu harus memberiku kompensasi untuk itu"
"Apanya?" Lagi-lagi dia begitu. Aneh.
"Karena aku tidak mengatakan kalimat-kalimat itu padamu. Harus ada kompensasinya"
"Astaga" benar-benar tidak habis pikir.
"Apa?" kuputuskan mengikuti permainannya.
"Cukup jawab pertanyaanku"
"Ada emang jawabannya?" godaku.
"Harus ada" suaranya sedikit parau, seperti gugup (?). Tiba-tiba saja dia mengambil kacamataku yang kusampirkan di atas kepala. Dia memakainya seolah itu perlu dilakukan padahal matanya tidak minus atau pun silinder. Dia terdiam beberapa detik sambil memicingkan mata, menatapku. Aku mulai risih dan berbalik memunggunginya. Pipiku memanas, malu.
"Kamu mau NAIK bareng aku?" lontarnya tanpa spasi
"............."
***
TOK. TOK.
"Kakak?"
"Iya, Pa?"
"Ada Mika"
Mika? aku menatap jam dinding; 19.40 WIB.
Tingtong. ponselku berbunyi. Ada pesan masuk, oh dari Mika ternyata;
Turun. Aku bawa martabak kesukaanmu.Dia masih berani menampakkan batang hidungnya di hadapanku setelah menghilang tanpa kabar? Dan menyogokku hanya dengan sekotak martabak?! Aku turun dengan tergesa menuju ruang tamu.
"Mika!" aku berseru sambil mengepalkan tanganku membentuk tinju yang akhirnya mendarat di rahangnya.
Mika mengerang, "...Jean! Tunggu. Aku belum siap" elaknya.
"KAMU! kalo kabur harusnya gak usah nongol lagi" bentakku.
Aku mengambil potongan paling besar martabak ketan dari kotak yang dibawa Mika dan memakannya, "kamu belikan segerobak pun tidak akan cukup membuatku memaafkanmu!"
Mika melemaskan rahangnya, "...sedikitlah anggun, sayang kuliah jauh di Semarang gak ada yang naksir, kamu kelewat serem"
"Itu urusanku!"
"Jean, tidak bisakah kamu mempertimbangkannya lagi?"
"Mempertimbangkan apa? Memaafkanmu? TIDAK BISA"
"Bukan. Aku tahu tujuanmu bukan Semarang kan?"
Aku menggigit bibir. Benar. PTN yang kuinginkan bukan di Semarang tapi Jakarta.
"Tidak apa, dimana pun dan pada siapa pun belajar sama saja, kan?"Hening. Untuk puluhan detik kurasa, kami saling diam. Aku menghentikan aktivitas makanku selama kami bicara.
".....Jean, ayo menikah dan ikut aku ke Jepang!"
Deg.
"Ka..kkamu gila apa?!" bentakku
***
Tolong, untuk tidak mengabaikan satu pun peristiwa dalam hidupmu. Karena bisa jadi ada benang yang saling terhubung dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Untuk apa?
Tugasmu mencari tahu!
Bersambung..
KAMU SEDANG MEMBACA
Benang Merah
General Fiction[Malam Sabtu bersama Senandika_33] Renjana, Ferdian, dan Anindhita , terlahir dari keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Takdir selalu saja membuat ketiganya jatuh, tersungkur, hingga titik nadir kehidupan pun mau tak mau harus ditelan. Dunia...