[Anindhita] Restu

8 3 0
                                    

"Kali ini saja, izinkan aku menangis."

“Nin, kok chat line aku semalem ngga dibales sih?” Tanya Dimas padaku

Hari ini jadwal bimbel persiapan ujian tulis masuk perguruan tinggi. Aku memang mengikuti bimbel di dekat sekolah bersama dengan teman-teman.

“Eh. Iya, maaf Dim, keread terus lupa bales.” Jawabku.

“Oh, its okey. Btw, gimana? Udah diizinin Ibu daftar kuliah di Jogja kan?” Tanya Dimas lagi

“Udah” Jawabku pendek

Ku lihat Rani baru saja datang, sengaja ku panggil dirinya agar aku tak perlu panjang lebar membahas ini dengan Dimas, aku sedang tidak berselera membahasnya.

“Rani! Sini dehh, masih kosong kok.” Kataku, ku tepuk kursi di sebelahku.

“Thankyouu Nin. Ohya, gimana ceritanya? Katanya ga boleh Ibu ambil kuliah ke Jogja?” Kali ini justru Rani memulai topik yang sama.

“Hehe. Gitulah. Tanggung jawab orangtua sama anak perempuan sulit Ran, kata Ibu.” Jawabku

“Lah, kan nanti di Jogja ada aku. Biar kamunya, aku yang ngejagain.” Kata Dimas.

Sebenarnya aku tidak lagi kaget mendengarnya bicara seperti itu. Entah sudah berapa kali dia mengatakan dan meyakinkanku bahwa dia akan menjagaku disana. Dan aku, sempat luluh hingga memberanikan diri meminta izin pada Ibu.

“Dim… Boleh kita bahas ini lain kali? Aku baru saja mengubur impianku kuliah di Kota Pelajar sana.” Kata ku, sengaja tak ku pandang wajahnya saat mengatakannya.

Dimas mengangguk, “its okey. Aku ngerti rasanya impian yang ga dikasih ruang.” Katanya. Dimas kemudian pergi, meninggalkanku berdua dengan Rani. Aku tahu seorang Dimas. Aku tahu, meski usia laki-laki pada umumnya akan mengalami kedewasaan lebih lambat dibandingkan anak perempuan pada usia yang sama, kehidupan Dimas membuat dia menjadi sosok yang berbeda.

“Wanna tell me?” Rani menoleh kepadaku, memastikan aku baik-baik saja.

“Gatau. Ga kebayang ke depan gimana. Ayah mau aku masuk kedokteran. Sedangkan kau tahu sendiri, nilai biologiku selalu saja mentok di standard lulus minimal.” Kataku padanya.

“Kedokteran di kota ini? Well. Its mean, kamu bakal saingan sama minimal separuh anak IPA di sekolah kita ini.” Jawabnya ringan.

Mendengarnya ingin ku jitak kepalanya. Mengingatkanku betapa susah memenuhi impian Ayah. Tapi Rani tetap saja Rani. Manusia paling logis dan terbuka di kehidupanku. Dengan rangking paspasan di sekolah yang didominasi kaum berotak cerdas, akan sulit bagiku.

“Ran! Tunggu. Udah lihat hasil try out kemarin?” tanyaku, sengaja ku kejar Rani selepas bimbingan kita selesai.

Wajahnya tersenyum bangga. “Udah dong. Try out terakhir, hasilnya plus minus jadi gambaran buat kita. Ohiya, congrats yak! Nilai try out nya tertinggi gitu.” Kalimat Rani ringan, orang yang paling bisa memuji orang lain.

“Thankyou. Tapi sebenernya bukan itu yang mau ku omongin Ran.” Kataku
Rani berhenti melangkahkan kakinya, menoleh kepadaku penuh selidik. “Aku tahu. Ini pasti soal Dimas ya?” Tanya Rani.

Entah bagaimana caranya, Rani selalu tahu apa yang ku pikirkan. “Iya. Kan biasanya dia yang try outnya tertinggi. Tapi, kok dia ga kelihatan ya sejak seminggu yang lalu? Try out ga ikut. Les ga dateng. Kemana sih Ran?” Ku coba mengatur nada bicaraku, aku tidak begitu suka terlihat emosional.

“Ciyee. Khawatir nih? Kemarin-kemarin Dimas ngejar ngejar ga digubris. Eh sekarang dia ngilang baru seminggu, uda dicari-cari. Emang yah, bener kata pepatah, kita bakal ngerasa doi berharga setelah sosoknya menghilang dari hidup.” Kali ini Rani jelas sedang menghinaku. Aku paham, selama ini bagaimana kecuekanku pada Dimas.

“Bukan gitu Ran. Kan kita bertiga udah temenan sejak jaman oyot tuh. Sejak kamu bahkan masih ingusan dan suka meler.” Kali ini sengaja ku ingatkan masa lalu kami, saat masih duduk di sekolah dasar dulu. Rani memang lebih rentan sakit saat itu.

“Masih diinget-inget aja Nin. Kan malu, aib. Dimas ngga ngehubungin kamu emangnya?” pertanyaan Rani kali ini justru membuat denyut jantungku terasa menjadi lebih cepat. Ada yang disembunyikan Dimas dariku.

“Nggak.” Jawabku pendek, mencoba menyembunyikan denyut jantung yang sedang tidak karuan.

“Dimas keterima kuliah ke Jerman. Ambil Mechanical Enginering seperti impiannya. Kemarin dia berangkat. Katanya, sengaja nggak pamitan sama kamu, ngga mau ngeganggu persiapan ujian tulis.” Kalimat Rani ringan sekali, seolah-olah kalimatnya tak akan mengusikku.

Kakiku tiba-tiba lemas. Meskipun kemarin-kemarin aku jengkel sama Dimas yang terus-terusan mengajakku kuliah ke Jogja, tapi mendengar Dimas sudah terbang ke Amerika sana, tanpa mengatakan apapun padaku, hilang semua kejengkelanku.

“Kamu kenapa jadi diem gitu Nin? Bukannya kemarin-kemarin jengkel gitu sama Dimas? Kok sekarang malah sedih gitu?” Kalimat Rani jelas tidak lucu, meskipun Rani mengatakannya diikuti sebuah tawa. Tawa penghinaan.

“Nggak.” Jawabku pendek. Ku lanjutkan langkah ku menuju parkiran mall tempat kami les. Berharap Bang Bayu sudah sampai. Agar aku dapat pulang dan menangis sejadinya secepatnya. Apa pula maksud Dimas. Mengajakku kuliah ke Jogja sana, sendirinya justru mendaftar ke negeri paman sam.

Tanpa sadar langkah kakiku semakin cepat, hingga Rani setengah berlari memanggilku. Memelukku, dan tepat saat itu, tangisku tumpah.

“I know about both of you. About your feeling to him. About his feeling to you. Waktunya yang belum tepat Nin. Iya kan? Kamu boleh menangis sekarang. Pasti banyak hal yang pingin kamu tanyakan ke dia. Menangislah mala mini, cukup malam ini saja. Besok kamu udah harus senyum lagi. Urusan perasaan, tidak boleh mengalahkan kita.” Rani, lagi-lagi selalu bisa mengerti semuanya. Semua yang ku rasa.

Ku hapus perlahan air mataku. Seminggu menuju ujian tulis nasional. Aku paham apa yang diucapkan Rani. Sesedih apapun perasaanku saat ini, ada masa depan yang masih harus diperjuangkan.

“Nah gitu. Senyum. Dimas pasti juga ga suka kalo tahu kamu nangis. Dia ke sana kan buat sekolah juga. Nanti juga balik. Lagian, bukannya kamu mau masuk kedokteran? Denger-denger sekolahnya lama, ga pernah libur lagi.” Ucapan Rani masih berusaha menghiburku.

“Ohya Nin, Dimas nitip ini buat kamu. Katanya, aku disuruh ngasih ke kamu saat kamu sudah bertanya dimana dia.” Rani kali ini tertawa, seminggu Dimas tidak terlihat, dan baru seminggu itu aku bertanya dimana dia. Secuek itu sama keberadaan Dimas selama ini.

Kali ini, sebuah kotak mungil berpindah ke genggamanku bersamaan dengan mobil Bang Bayu sampai di parkiran. “oke, makasih banyak Ran. Aku pamit duluan ya?” ku peluk Rani sekali lagi, lalu pamit bergegas memasuki mobil.

Di mobil, segera ku buka kotak tersebut. Sebuah jam tangan manis di dalamnya, ku lihat sebuah kertas putih di dalamya.

Sebuah surat, yang membuat hidupku ke depan tidak akan lagi sama.

Assalamualaykum warahmatullahi wabarakatuh,
Anindhita Gadis, terimakasih sudah menjadi sahabat baik selama ini. Saat dulu pertama kali Papah mengajakku pindah ke Semarang, aku takut. Takut kota ini akan tidak ramah padaku, anak desa nun jauh di Pulau Kalimantan sana. Tapi, terimakasih karena kamu dan Rani menerimaku dengan baik, menjadi teman yang lucu, dan membantuku beradaptasi dengan cepat. 6 tahun ya sejak pertama kali kita kenal?
Anindhita Gadis, maaf, aku terlalu pengecut untuk pamit secara langsung. Ketika kamu bilang, kamu ga dikasih izin Ayah dan Ibumu untuk kuliah ke Jogja, aku bersyukur. Karena sebenarnya, Papah mengirimku kuliah ke Amerika. Mengirim berkas pendaftaran tanpa izin dariku. Hehe, kamu tahu sendiri bagaimana Papah keras terhadap anak laki-lakinya ini. Aku memang ingin kuliah ke Jogja, dan ingin pula kamu dan Rani juga ada di sana. Rasanya akan menyenangkan bila kita bertiga bisa satu almamater.
Anindhita Gadis, sudah dulu ya. Aku pamit. Semoga sukses dan berhasil menjadi Dokter yang melayani masyarakat Indonesia. Mungkin akan sulit menghubungiku. Baik-baik ya. Jangan lupa bagi waktu, untuk istirahat, untuk menemani Ayah Ibu, untuk menemani Bang Bayu sekedar ngopi di kafe langganananya. Salam untuk keluarga semua.
Wassalamualaykum warahmatullahi wabarakatuh.

Air mataku tumpah. Kali ini saja, izinkan aku menangis…

Benang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang