Ting tung... ponsel saya berdering. Pesan dari Rista rupanya ketika saya tengok notifikasinya.
"Zakiii, aku bingung nih ..." bunyi pesan dari Rista.
"Iya, gimana? Ada yang bisa ku bantu?" jawabku
"telpon aja ya"
"boleh" balasku sambil mengambil earphone untuk bersiap bertelepon yang kuperkirakan akan lama.
Telepon dari Rista pun masuk. Saya berpindah ke teras depan rumah untuk menerima telepon dari Rista.
"Zaki..." sapanya begitu saya mengangkat telepon.
"Assalamua'alaikum," saya balas dengan salam.
"Waalaikumussalam, iya lupa belum salam. Zaki aku galau nihh..." Jawab Rista yang segera ingin menceritakan banyak hal dengan nada yang mulai sendu.
"Gimana gimana ...," tukasku yang penasaran
Benar saja, Rista mulai bercerita dengan sesenggukan menahan tangisnya. Panjang lebar dia menceritakan kondisinya dengan salah satu kawan main saya, tapi malah mendapat omongan jelek dari beberapa kumpulan perempuan lain. Sungguh kondisi konflik pertemanan dan asmara yang rumit dirasakan oleh cewek-cewek.
Saya menanggapi seperlunya tapi bingung hendak memberi saran seperti apa. Berusahalah saya membesarkan hatinya dan menyarankan agar sabar. Saya menganggap Rista seperti adik saya sendiri bila begini kondisinya. Sebisa mungkin saya mebantu Rista, karena Rista juga yang membantu menguatkan saya kala saya patah hati.
"Zaki...!" panggil Bunda, "bantuin ayah turunin belanjaan tuh."
Bunda bersama Ayah baru saja sampai rumah setelah berbelanja beberapa kebutuhan harian. Pinta Bunda tentu harus saya utamakan. Saya pun mencukupkan obrolan dengan Rista melalui telepon."udahan ya, tak bantuin ortu dulu," ucap saya pamit dari obrolan.
"Assalamu'alaikum" salam saya menutup obrolan.
Saya pun menghampiri mobil yang digunakan Ayah untuk berkendara dan mengangkut belanjaan.
"Zaki, sini ...," panggil Bunda seusai mengangkut beberapa barang belanjaan. Bunda ingin mengajak ngobrol rupanya.
"telponan sama siapa tadi?"
"oh, itu temen, Bund," jawabku perlahan.
"lah iya, temen siapa namanya? Perempuan ya?"
"Rista, i...ya temen cewek satu kelas," jawab saya yang tetap terbata meski sudah meyakinkan diri agar lancar begitu menjawab.
"kok gitu jawabnya. Ada apa emang sama si Rista?" tegur Bunda melihat perubahan ekspresi saya ketika menjawab. Saya hanya bergeming namun tak berani menatap bunda ketika begini.
"Kalau tidak ada apa-apa ya tenang aja jawabnya. Bunda kan ga tau nama temen-temenmu selama SMA ini. Ya beberapa memang pernah main ke rumah, tapi Bunda kan engga tahu kalau yang perempuan," Bunda jadi mencurahkan hal-hal terkait hubungan saya, teman-teman saya dengan Bunda. Saya jadi menatap kembali Bunda, meski tetap tidak ada kata-kata yang ingin saya ucap.
Ya setelah saya pikir kembali, memang sejak SMA Bunda sudah jarang terlibat dengan pergaulan saya. Terlebih sejak saya dibolehkan mengendarai motor sendiri, membawa ponsel sendiri. Sehingga wajar Bunda tidak mengerti ketika saya sempat dekat dengan cewek sampai hubungan yang begitu intensif. Dan memang saya tidak ingin Bunda tahu itu.
"Jadi kamu ingin kuliah di mana?" tanya bunda mengubah topik pembicaraan.
"ITB bund, Teknik Informatika" jawab saya singkat cepat.
"Sudah yakin?" Bunda memastikan.
"heem, insya Allah sudah. Pilihan-pilihan lainnya juga yang ada hubungan sama komputernya" jawab saya lebih panjang.
"Pilihan kedua dan seterusnya kalo bisa di deket-deket sini aja. Sekarang fokus aja belajarnya, kan sudah Ayah Bunda fasilitasin di bimbel. Tirakat*nya dikuatin, salatnya jangan sampai ditinggal. Yang sunah-sunah juga, puasa diteruskan Senin dan Kamis," Bunda mengarahkan.
"iya, siap Bund," saya mematuhi.
Saya juga baru menyadari ternyata saya telah mendapatkan privilege sebagai siswa SMA yang bersiap melanjutkan studinya. Kebebasan memilih jalur dan studi pilihan. Fasilitas dan lingkungan belajar yang kondusif juga saya dapat dengan tergabung bimbingan belajar intensif.
"Oiya ingat ya ini atas pilihanmu sendiri tidak ada yang maksa, Bunda percaya sama kamu. Dan itu kalo sama perempuan kurang-kurangin. Fokus aja dulu studimu. Berteman boleh aja, tapi engga perlu sampai bawa bawa perasaan, seperlunya aja. Jangan sampai ada yang tersakiti," Bunda menambahkan peringatan.
Saya jadi tertegun, bagaimana saya menjalin relasi dengan lawan jenis sejauh ini. Setelah beberapa renungan saya jadi membangun kembali semangat dan niat. Karena saya punya mimpi dan target yang jauh, saya tidak boleh terlena hanya sebab relasi dengan perempuan. Kagum itu wajar, tapi saling mendampingi dalam meraih mimpi di usia kami ini belum tentu kami siap.
Terlebih saya, Ferdian Zaki, ingin melanjutkan studi dalam perantauan, yang jarang terpikirkan oleh teman-teman saya. Sebab di kota yang saya tinggali ini mudah didapati beberapa perguruan tinggi ternama bagi mereka, ya kalau tidak ke luar kota masih bisa ke perguruan tinggi di kota tetangga, masih satu provinsi.
bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Benang Merah
General Fiction[Malam Sabtu bersama Senandika_33] Renjana, Ferdian, dan Anindhita , terlahir dari keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Takdir selalu saja membuat ketiganya jatuh, tersungkur, hingga titik nadir kehidupan pun mau tak mau harus ditelan. Dunia...