[Renjana] Menentukan Jalan

21 3 0
                                    

Aku merebahkan tubuhku di basecamp OSIS yang entah mengapa ruangannya terpisah dari gedung utama sekolah mau pun basecamp ECA lainnya. Suasana di sini cukup tenang, aku suka berlama-lama di sini selepas kelas usai, dulu.

“Assalamu’alaykum!” terdengar salam dan suara engsel pintu di buka

“Loh, ada Kak Jana! sudah selesai kak UAS-nya?” seru Anggita, salah satu stafku semasa di OSIS.

“Eh, Git. Iya nih, akhirnya kelar jugaaaaa…..” keluhku, “…kok ke sekolah? ada rapat?” tanyaku ingat di OSIS periode sekarang dia sebagai sekretaris umum.

“Oh, nggak sih kak. Aku diminta anak-anak mading ngecek naskah buat bulletin akhir tahun” terangnya sambil duduk di sampingku, “…OHHH!!” Anggita tiba-tiba histeris

Aku yang berniat menenangkan diri menjadi agak risih. “Ada apa sih, Git?” tukasku agak sebal.

“Maaf kak..” tuturnya menyadari aku terganggu, “….tapi ngeliat kakak aku jadi inget kalau KOLOM JEJAK masih kosong. Kak Jana mau gak ngisi kolom itu?” tawarnya

DRRTTT…DRTTTT.. belum sempat aku menjawab ponselku bergetar.  Oh Mika.

Aku di angkringan depan sekolah. tulisanya dalam pesan

Aku di kolom jejak? pikirku sedikit mengerikan. Mengingat kolom itu biasan dii isi oleh siswa-siswa yang memiliki prestasi, latar belakang, pengalaman, pencapaian atau hal-hal menarik lainnya.

“Jangan aku deh. Cari yang lain aja Git!” ujarku sambil beranjak

“Kak Jana, please! Kakak orang paling tepat untuk mengisi edisi kali ini” rajuknya, “Perjalanan kakak selama menjadi redaktur Club Mading, akan menjadi memorial paling berkesan untuk adek-adek. Tidak bisa kita pungkiri, berkat kakaklah Club Mading kita berkembang pesat di dunia jurnalis maupun sastra. Dapur kaderisasinya pun tidak pernah mandeg"

"Mereka memang berpotensi, bukan karena aku. Terlebih memang sudah seharusnya menghidupkan dapur kaderisasi atau Club Mading akan terganti!" Aku benar-benar muak sekarang.

“Kak, kami  akan senang jika kakaklah yang mengisi kolom ini”

Astaga, anak ini. Jangan bercanda!
“Akan aku pikirkan…. aku buru-buru sekarang” tuturku sekenanya sambil berlalu.

“Apa-apaan anak itu!” runtukkku sesampainya di angkringan.

Mika, menatapku heran. “Kenapa?” tanyanya.

“Aku diminta nulis di bulletin sekolah”

Mika mengeryit, “Bukannya itu bagus? kapan lagi kamu mempublish tulisanmu?”

“Astaga Mika, ini kolom jejak! kamu tahu kan kolom jejak di bulletin sekolahku?” tukasku agak merinding.

“Emangnya apa yang salah? kamu pantas kok mengisi kolom itu” jawabnya enteng.

Aku terbelalak dan menggelengkan kepala. Kami pun beranjak menuju halte setelah Mika menghabiskan makan siangnya. Tidak ada percakapan. Aku tidak sedang mood membahas apapun karena tawaran Anggita tadi dan Mika sepertinya enggan membuat mood-ku semakin buruk.

“Hey! Apa yang ingin kamu lakukan setelah lulus?” tanyanya tiba-tiba.

Aku menyusuri trotoar, sambil komat-kamit menghitung langkah untuk mengalihkan fokusku. Nyaris tidak mendengar pertanyaan Mika, sampai tangannya menarik ranselku.

“Apa?” tanyaku.

Mika menghela nafas, “Apa yang ingin kamu lakukan setelah lulus?”

“Oh! Maaf” aku menyadari keabaianku tadi, “Kuliah tentu saja! Kamu kan tahu, aku ingin belajar sastra pada ahli-ahlinya. Tapi kalau tidak lolos PTN, aku bisa jadi banting setir, masuk pesantren dan menjadi guru seperti kebanyakan keluargaku”

“Hmmm"

“Apa yang ingin kamu lakukan, Mika?”

“Aku….”

PLAK! belum sempat menjawab, tiba-tiba seseorang menampar Mika hingga terjatuh.

“ANAK KURANG AJAR!” pekik seseorang sambil menunjuk-nunjuk wajah Mika. Aku mematung. Kenapa wanita berpenampilan anggun ini mengamuk di jalanan seperti hilang akal.

“Papa kau sekarat, kau malah berminggu-minggu tidak pulang!” tukasnya.

Wanita itu berpaling ke arahku dengan sorot mata penuh amarah, “KAU! berhenti meracuni anakku. Aku tidak keberatan anakku memutuskan beragama islam, tetapi jika islam mengajarkan seorang anak melupakan keluarganya, aku tidak bisa membiarkannya!!” makinya, tepat di depan wajahku. Tiba-tiba Mika mendorongnya menjauh dariku.

“JANGAN LIBATKAN RENJANA, MAMA!” bentaknya.

Aku belum pernah melihat Mika marah. Ini kali pertamanya aku melihat dia begitu kasar, apalagi sama perempuan yang ternyata adalah ibunya. Aku juga tidak paham apa yang sedang mereka debatkan. Ayah Mika sakit? Mika tidak pulang berminggu-minggu? Lalu…Mika masuk Islam? Mengapa Mika tidak menceritakan semua ini padaku? Mika menatapku dengan penuh sesal.

“Maaf, Jean” lirihnya sebelum beberapa lelaki berpakaian serba hitam dan bertubuh kekar menyeretnya menuju mobil silver di sebrang jalan.

Aku terduduk lemas. Apa yang sebenarnya terjadi?

***

Mika Takeru adalah seorang haafu, sebuah label yang diterjemahkan sebagai ‘separo’, digunakan oleh masyarakat Jepang terhadap keturunan campuran, Mika lahir dari seoarang ayah Jepang dan ibu Indonesia, sejak kecil orang tua Mika tidak mengenalkan Mika pada agama apapun. Tetapi mendidik Mika dalam etika dan etos kerja masyarakat Jepang yang begitu lekat. Sebagai seorang haafu kehidupan sosialnya di Jepang tidak begitu lancar. Kerap dia mengalami pembullyan yang barangkali lebih mengerikan dari yang kualami. Mungkin itu juga alasan kami sedekat ini, karena senasib.

***

Seminggu kemudian ayah Mika meninggal.

Tidak ada kabar dari Mika. Sekolah juga sudah libur. Bahkan sampai hari pengumuman Ujian Nasional aku belum melihat Mika lagi. Menurut keterangan beberapa temannya, Mika tidak datang ke sekolah di hari pengumuman, ponselnya pun tidak bisa dihubungi selama libur sekolah.

"Mika" Lirihku menatap papan pengumuman berisi nama Takeru Mika dari SMA 33 sebagai peraih nilai tertinggi di Provinsi.

Aku juga mendengar bahwa Mika lolos sebagai salah satu mahasiswa universitas nasional di Jepang, negara tempat dia dilahirkan, serta  mendapat beasiswa full.

Mika, kamu baik-baik saja, kan?


bersambung...

Benang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang