"Mas, temannya jangan ditinggal"
Terkejut, saya menoleh ke sumber suara yang cukup keras. Suara yang cukup menyadarkan saya kalau perempuan tadi seharusnya mengikuti di belakang saya. Ternyata tertinggal dan perlu dibantu dipapah perempuan lain yang baru saja meneriaki saya.
Oh ternyata gadis itu tim medis, begitu melihat tanda pengenalnya. Tapi saya kesal, mengapa baru sekarang, tadi ketika saya mencari malah tidak muncul.
"Lekas!" saya menyeru sambil mempercepat langkah setelah sempat terhenti sejenak.
Bukan bermaksud meninggalkan mereka, tapi begitu tahu mereka saling membantu tentu bisa menyusul saya. Juga saya menyadari bahwa saya yang perlu menunjukkan jalan menghindari keramaian ini. Terlebih saya tidak akan tahan bila berjalan di belakang mereka.
"Namaku Anindhita" terdengar olehku gadis medis tadi memperkenalkan diri.
Saya menoleh ke belakang sejenak memantau mereka. Saya menggerutu dalam hati, sempat-sempatnya mengobrol saling berkenalan. Saya pun melangkah tanpa mengacuhkan mereka lagi. Dan tiba di sisi jalan yang cukup sepi.
Tiba-tiba perempuan yang tadi dipapah itu sanggup lari menarik gadis medis sampai di hadapan saya. Suatu kondisi yang terbalik dari momen sebelumnya. Saya yang masih terkejut, mengatur nafas yang mulai tersengal-sengal dihampiri oleh perempuan itu.
"Kamu!" tuturnya dengan kesal kepada saya.
"Kamu sakit bohongan ya?" tanya saya yang sudah terengah-engah.
Gadis medis bernama Anindhita yang heran menanyakan saya dengan perempuan yang sakit di hadapan saya. Iya saya menduga dia benar sakit, tapi sepertinya bukan hanya tubuhnya melainkan kejiwaannya.
"Rusuh. Lihat!" menunjuk ke arah kerumunan aksi yang telah merobohkan gerbang.
Sial, di saat puncak ledakan aksi begini justru saya tidak mengikutinya. Semua karena kegilaan yang terjadi dengan perempuan sakit ini. Saya setelah menghela nafas kemudian menginsafi, mencoba mensyukuri setidaknya saya tidak perlu di kerumunan itu lebih lama. Pasti akan melelahkan sekali kalau di sana ditambah panas yang menyengat siang ini.
Dan gadis medis itu malah ingin pergi mendekat ke kerumunan.
"kamu gila?!" perempuan sakit itu mencoba mencegahnya.
"Ini tugasku. Jika medis ikut kabur juga siapa yang mengobati jika mereka terluka karena kerusuhan yang ada?"
"biarkan saja dia" cetusku yang kini dalam kondisi duduk di trotoar.
Kemudian Anindhita pun pergi setelah sempat memberi saran dan beberapa jenis obat kepada perempuan sakit itu. Sebelum berlalu dia sempat memberi anggukan dan mungkin senyuman yang tidak begitu jelas saya perhatikan. Saya pun lanjut duduk memilah beberapa kertas untuk membersihkan sepatu yang terkena muntahan perempuan sakit ini.
"Maaf soal itu" ia sepertinya menyadari kalau ini bekas muntahannya.
"Tidak apa-apa. Mbak benar-benar sudah baikan?" Tanya saya dengan masih membersihkan sisa-sisa noda di sepatu.
Saya hanya ingin memastikan kondisinya setelah perubahan perilakunya tadi. Saya tidak bisa begitu saja membenci orang yang baru bertemu.
"Ya. Apa itu?" ia menjawab dengan langsung lanjut bertanya.
"Apa?" saya bertanya memastikan.
Rupanya ia menanyakan kumpulan kertas yang ia ambil begitu saja dari genggaman saya. Sungguh mengesalkan, tidak bisa lebih sopan apa kalau mau mengambil. Namun saya tidak dapat marah kali ini, biarlah ia membacanya.
"Pernyataan sikap?"
"Oh. Iya, itu kumpulan press rilis dan hasil kajian aksi hari ini" jawab saya.
"Untuk apa?"
Heran, saya menatapnya sejenak, tapi saya palingkan kembali karena tidak ingin menunjukkan kekesalan. Bagaimana bisa ia sampai ada di aksi ini. "Kenapa kamu ikut aksi?"
"Diajak temen" jawabnya.
Oke, pantas saja dia begini. Saya bisa memakluminya dengan berbagai hal mengesalkan darinya hari ini. Ini juga merupakan aksi pertama yang saya ikuti sebagai mahasiswa. Tapi saya sudah sempat beberapa kali terlibat aksi di jalan ketika masa sekolah karena tergabung dalam organisasi pelajar di kota asal saya.
"RUU P-KS ini..." ucapnya memecah keheningan kami beberapa saat lalu.
"Iya. Multi tafsir, kan? Bukan hanya RUU yang itu saja yang lain juga" saya menyambar.
"Mas dari Universitas mana?" dia bertanya lagi. Kembali lagi ia menimpali saya dengan pertanyaan yang membuat kesal. Bukan pertanyaannya, namun kesal sebab keacakan darinya yang saya rasakan ketika tiba-tiba bertanya. Tidak terduga, mengejutkan dan membuat tidak nyaman.
Jas almamater yang ia kenakan merupakan dari kampus yang sama denganku. Saya telah menyimpan almamater di dalam tas saya setelah cukup gerah tadi. Karena itu mungkin dia tidak mengetahui kalau kami satu universitas. Sehingga saya tidak tertarik untuk memberinya jawaban. Tapi saya menyadari kami sudah cukup lama ngobrol tanpa saling kenal. Bagaimana bisa saling bertegur bila berjumpa lagi di kampus pikirku.
"Namamu siapa?" saya bertanya agar bisa menyapa dengan namanya.
"Renjana. Renjana Kyra."
Nama yang unik, semoga saya mudah mengingatnya. Terutama cewek, saya tidak mudah mengingat orang yang baru dikenal. Kecuali ada kesan lebih yang saya rasakan. Dan dua cewek yang saya temui di siang ini entah mengapa memberi kesan lebih bagi saya. Anindhita dan Renjana, sepertinya bisa saya ingat berkat kesan dari mereka hari ini.
Saya mengenalkan diri dengan sedikit mengangguk dan tangan menempel di dada.
"Ferdian Zaki. Salam kenal."
Saya tidak membalas uluran tangannya yang menunggu tangan saya menyalaminya. Sejak sekolah saya memang tidak terbiasa bersentuhan dengan lawan jenis, kecuali Bunda sih. Melihatnya seperti kebingungan, malah membuat saya tertawa.
"Hahaha, dan satu hal. Saya belum tua, jangan memanggil saya 'mas' lagi" menutup sesi perkenalan kali ini.
Saya meminta kumpulan rilis yang diambil olehnya tadi untuk saya bawa pulang. Kami pun berpisah, karena dia telah disusul teman yang sepertinya mengajaknya ke aksi ini. Sedangkan saya tinggal berjalan sedikit untuk mengambil motor yang saya parkir tak jauh dari trotoar tempat saya duduk.
***
Sejak awal menjadi mahasiswa saya berkeinginan untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan organisasi. Melanjutkan dan mengeksplorasi lagi jiwa aktifisme saya yang sudah mulai tumbuh sejak bertunas di masa sekolah. Berbagai informasi kegiatan pelatihan dan magang dari organisasi-organisasi yang ada di kampus saya coba ikuti.
Di atas kasur saya masih terbangun dengan mengusap-usap layar ponsel. Sejak tadi saya stalking akun-akun berbagai ormawa kampus. Setelah gagal diterima magang di BEM Universitas, saya terus mencari cari informasi dari berbagai kegiatan kemahasiswaan.
Saya mencoba mengambil selebaran yang saya kumpulkan, ada rilis dari aksi reformasi kemarin. Saya jadi penasaran, bagaimana sih bikin rilis begini. Sepertinya saya bisa kalau bikin rilis begini. Itu yang membuat saya mendaftar magang di BEM Univ, tapi kekurangan informasi yang saya dapat mengenai BEM membuat saya tidak diterima.
Dari tumpukan selebaran itu saya sekelebat membaca ada Pelatihan Jurnalistik dan magang yang diadakan oleh Lembaga Pers Mahasiswa. Saya pikir sepertinya menarik untuk saya ikuti kegiatan ini.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Benang Merah
General Fiction[Malam Sabtu bersama Senandika_33] Renjana, Ferdian, dan Anindhita , terlahir dari keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Takdir selalu saja membuat ketiganya jatuh, tersungkur, hingga titik nadir kehidupan pun mau tak mau harus ditelan. Dunia...