[Renjana] - Islam dan Jepang

9 1 0
                                    

".....Jean, ayo menikah dan ikut aku ke Jepang!"

Deg.

"Ka..kkamu gila apa?!" bentakku.

Entah apa yang dipikirkan oleh Mika, sekali pun itu bukan ide buruk, hanya saja....

"Aku mungkin belum bersyahadat dan tentunya wawasanku terhadap Islam tidak bisa dibandingkan dengan mereka yang memeluknya sejak lahir. Tapi, aku akan terus memantaskan diri menjadi seorang muslim bahkan setelah nanti aku memeluknya" jelasnya.

Aku mengeryit, "Mika, apa kamu memeluk Islam untuk bisa menikahiku?"

Mika menggeleng, "...itu hanya satu dari banyak alasan yang ada"

Aku melihat Papa dan Mama datang dari ruang tengah menghampiri kami.

"Mika sudah lebih dulu meminta izin kami terkait hal ini, Kak" Tutur Papa

"Apa pun keputusan kamu, Mama juga Papa sama sekali tidak keberatan" Mama ikut andil.

Tik. Tik. Tik. Tiba-tiba hujan turun padahal ini puncak musim kemarau. Aku berjalan menuju tepi jendela, cukup deras disertai angin yang sanggup membuat ilalang di tepi jalan hampir tumbang meski akarnya yang tertancap berlepas dahaga.

Sudah lama aku menanti hujan, tetapi saat dia datang aku sadar satu hal; aku memang menyukai hujan, Tapi, sekarang aku lebih suka ilalang. Ia tetap berdiri meski tanpa hujan.

Aku menjeda sambil menatap jam dinding, 25 Juli 2019 20.05 WIB. Dalam situasiku sekarang, pergi ke Jepang hanya akan membuat semua menjadi tambah runyam, bukan hanya soal Ibu Mika yang tidak pernah suka anaknya bergaul denganku. Tetapi pergi sama saja melarikan diri, aku punya dendam yang harus kubayar; pada orang-orang yang membenci dan meremehkanku. Bukan berarti ke Jepang menghilangkan kesempatan itu, hanya saja aku ingin mereka melihat segalanya dengan mata kepala mereka sendiri, dan itu di sini, di Indonesia. Lagi pula, dendamku tidak boleh melibatkan Mika.

"Mika, aku bukan tidak mau menikah denganmu. Aku hanya tidak bisa meninggalkan Indonesia" seketika obrolan-obrolanku dengan Mika tentang Indonesia; anak-anaknya, isu politiknya, krisis ekonominya, budaya, sastra dan bahasanya yang beragam, gunung-gunungya, lautan biru yang terhampar, bencana alam, serta tentang agama-agamanya yang beragam, terutama Islam. Semua seperti berkumpul di satu titik dalam otakku, mendukung keputusan; KAMU TIDAK BOLEH PERGI.

"Kalau begitu..."

"Mika. Kamu harus pergi. Aku tahu itu. Jepang bukan hanya soal study buatmu, Jepang adalah kamu dan segala yang kamu inginkan" potongku.

Mika menatapku dengan mata yang sudah basah.

"Maaf, Mika"

Mika tersenyum tipis, "....janji kamu akan mengunjungiku suatu hari nanti"

"Insyaa Allah" tuturku.

Seminggu kemudian, Papa, Mama dan aku menyaksikan dua kalimat syadahat diucapkan dengan lantang dan fasih di Masjid dekat SMA-ku oleh Mika Takeru, yang kini bernama Ahmad Misbah. Memiliki unsur yang sama dengan nama jepangnya; CAHAYA.

Selamat bersinar di negeri matahari, Mik..Misbah.

***

Percakapan terakhir; Bandara Soekarno-Hatta, 4 Agustus 2019

"Jepang adalah miniatur masyarakat madani"

"Bagaimana bisa?"

"Etika dan attitude masyarakat Jepang adalah replika masyarakat yang berhasil memaknai nilai islam dalam kehidupan sehari-hari mereka, dari hal terkecil hingga paling besar. Aku senang mendapati benang merah antara Islam dan Jepang. Kamu tahu sendiri kadang kala aku malu mengakui aku memiliki darah Jepang, tetapi setelah belajar Islam, aku kembali bisa mencintai tanah kelahiranku. Di beberapa buku disebutkan bahwa tanah air Islam adalah dimana pun darah muslim hidup di atasnya, dan aku menyukai itu. Tandanya kita masih satu tanah air bukan, Jana?"

"Sejak kapan kamu memanggilku Jana?" tanyaku takjub.

"Sejak aku tahu ada kata Jannah dalam bahasa arab dan artinya surga. Itu kata yang indah"

Kami terdiam, menyadari kami berangkat dari terminal yang berbeda.

"Aku boleh bertanya satu hal lagi padamu?"

"Apa?"

"Kenapa saat itu kamu tidak pulang ke rumah sampai Ibumu marah?"

"Oh.. itu" Misbah tertawa seolah itu kejadian yang lucu, "...semua fasilitas; kendaraan, ponsel, kamera, tabungan, kartu debit, uang jajan bahkan kunci rumah yang biasa kubawa disita oleh Mama. Kami berselisih karena beberapa hal, terutama tentang apa yang akan aku lakukan setelah lulus. Mama ingin aku meneruskan bisnis keluarga saja mengingat kondisi kesehatan Papa yang mulai menurun saat itu..."

"Tetapi kamu ingin kuliah? Mengambil fotografi seperti yang selalu kamu katakan?" tebakku

Misbah tertawa lebih keras, "...tentu saja. Karena itu aku hanya memiliki sedikit uang yang kutabung di koperasi sekolah, di mana tidak akan cukup untuk menghidupiku jika harus dipakai untuk ongkos bus rumah-sekolah, makan dan biaya kegiatan lainnya. Aku memang tidak pulang ke rumah, tetapi setiap hari aku ke rumah sakit merawat Papa"

"Setelah dari rumah sakit kamu tidak pulang?" tanyaku heran

Misbah menggeleng, "Ongkos dari rumah sakit-rumah tiga kali lebih mahal ketimbang ke Masjid samping sekolahmu"

"Jadi, Mamamu salah paham tentang kamu yang masuk Islam karena kamu bermalam di Masjid?"

"Iya, aku tidur di rumah takmir tepat di belakang Masjid sambil belajar tentang Islam. Masjid itu kebetulan juga memiliki komunitas mu'alaf. Mereka baik sekali, Jana. Aku bahkan tidak pernah memikirkan seindah itu Islam. Aku benar-benar tidak pernah masuk ke dalam Masjid kamu tahu? sampai hari aku bersyahadat. Setiap hari aku tidak tahan ingin berbalas salam dengan kalian tetapi..."

Aku mulai malu, sebagai orang yang memeluk Islam sejak lahir, aku merasa belum bisa membicarakan Islam dengan mata berbinar seperti Misbah. Dia bukan hanya memiliki wawasan yang cukup luas tentang Islam tetapi dia tahu bagaimana memaknai setiap ajaran Islam. Misbah tidak seperti mu'alaf, dia memiliki Islam di hatinya sejak awal.

"Semoga berkah, Misbah. Kamu dan mimpi besarmu tentang Jepang dan Islam"

"Juga kamu, jangan buat orang lain meremehkanmu lagi"

Akhirnya kami berjalan ke arah yang berlawanan.

"Jana!" teriaknya, jarak kami sudah lebih dari dua meter. Aku menoleh.

"Assalamu'alaykum, Jana!" pekiknya dengan senyum paling indah yang pernah kulihat selama mengenalnya.

"Wa'alaykumussalam Misbah, fii amanillah, ilal liqo!"

"Apa artinya?"

"Cari sendiri!"

***

Kita sedang terbang di benda yang sama, di langit yang masih itu-itu saja. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan kan? Jika rindu, tengadah saja.

Airmataku tiba-tiba saja sudah menetes tanpa bisa kuhentikan. Ternyata sebiasa apa pun sebuah perpisahan tetap saja menyesakkan. Terlebih aku takut tidak menemukan Misbah pada mereka-mereka yang lain. 

bersambung...

Benang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang