"Kelas besok libur katanya" Anggun tetiba masuk ke kamar khos
"Gun, minimal ketuk pintu kek kalo gak mau salam" aku cukup kaget dan risih tentu
"Iya sorry. Lu sendiri kenapa kagak dikunci?"
Mulai deh nyari kesalahan orang juga biar ada temen salah. gerutuku dalam hati
"Iya salah aku juga sih. Tadi apa katamu? Libur? Kelas Prof Cris juga?" Aku memastikan pendengaranku baik-baik saja.
"Iya pokoknya seharian libur" tuturnya sebagai kordinator kelas
"Kesambet apa dosen-dosen?" Tanyaku heran
"Lu beneran gak tahu apa pura-pura gak tahu?" Wajah Anggun terlihat serius sekarang
"Apa?"
"Janaaa, besok ada aksi 20th Reformasi. Lebih tepatnya mahasiswa di seluruh Indonesia kembali turun ke jalan untuk menuntut amanat Reformasi yang mulai diabaikan. Reformasi dikorupsi Jana!" Aku mengeryit aku tahu ada seruan aksi besok, tetapi kenapa Anggun harus bereaksi seperti itu. Lebay.
"Pokoknya lu besok ikut gue turun" putus Anggun sepihak sambil pergi membawa sisa cemilan yang tadi kumakan
***
Sial, Semarang panasnya bikin pusing.
Sudah hampir dua jam aku berdiri di antara kerumunan mahasiswa dari berbagai universitas di Semarang; negeri maupun swasta. Orasi-orasi sudah dibacakan dengan jelas oleh para orator yang menurutku cukup handal memprovokasi massa hingga aku juga teman-teman mahasiswa baru lain yang tidak tahu apa-apa perihal poin-poin tuntutannya menjadi paham dan ikut merasakan keresahan yang ada.
Anggun dan beberapa teman sekelasku kehabisan suara karena tadi teriak-teriak menyanyikan yel-yel dan lagu-lagu perjuangan lainnya. Aku menepi mencari sisi teduh dan agak sepi. Tetapi tiba-tiba perutku terasa mual dan muntah mendadak di tengah jalan."Mbak, gak papa?" Samar-samar seseorang bertanya
Bukan hanya mual tapi kepalaku juga terasa pusing, mataku sampai berkunang-kunang tidak jelas.
"Medis!" Teriaknya, "Medis! Sebelah sini. Mbak kuat jalan?" Tanyanya lagi
"Mas, air" lirihku. Tidak sopan sebenarnya, menyuruh orang asing. Tapi, aku tidak peduli, aku merasa harus menyelamatkan diriku terlebih dahulu.
"Air? Saya tidak bawa air mbak. Aduh. MEDIS! mana sih tadi ke sini perasaan"
"Bukan, Mas. Di tas saya ada air. Minta tolong diambilkan"
"Oh.." orang itu mengambil tasku yang tadi kujatuhkan saat muntah dan mengeluarkan tumblr biru kesayanganku. Aku meneguk habis air di dalamnya.
"Pelan-pelan saja mbak. Belum bismillah lagi"
"Aku selamat!" Pekikku. Mataku mulai kembali fokus. Aku melihat jelas kerutan di alis mas-mas yang tadi menolongku. "....apa tadi?" Tanyaku kemudian
"Apa?" Tanyanya
"Tadi masnya bilang apa? Aku belum denger karena sibuk minum"
"Oh iya, saya tahu. Saking sibuknya tadi mbaknya lupa bismillah juga"
"Aku bismillah kok, dalam hati" elakku malu entah kenapa
Orang itu tertawa lepas sekali. "Oke, oke. Baiklah. Masih mual?" Tanyanya
Aku menggeleng, "...pusing. Apa masih ada bagian jalan yang sepi sekitar sini? Aku sudah tidak bisa berdiam di kerumunan"
"Ada. Ikuti saya" dia beranjak tanpa membantuku berdiri.
Kurang ajar. Batinku. Aku berhasil berdiri tetapi makan waktu cukup lama untuk menyeimbangkan kakiku menompang tubuh. Mataku sempat gelap untuk beberapa detik setelah berdiri.
"Kamu anemia ya?" Kali ini suara perempuan di sampingku. Merangkul pundakku dan memapahku. Dia memakai almamater yang sama denganku, dan tanda pengenal berlabel hijau. MEDIS. Begitu terbaca.
"Mungkin" jawabku singkat
"Mas, temannya jangan ditinggal" serunya pada mas-mas tadi. Dia menoleh dan baru sadar kalo aku tidak berada di belakangnya
"Lekas!" Serunya malah berjalan lebih cepat di depan kami. Kami berpandangan
"Namaku Anindhita" tutur perempuan anggun itu
"Ayo lari Nin!" Seruku refleks ketika mendengar gemuruh di belakangku. Menarik tangan perempuan bergamis ini sambil berlari mengikuti mas-mas tadi. Dia berbelok di tikungan dan berhenti tepat di bagian lain gedung DPRD. Cukup sepi.
"Kamu!" Tuntutku pada masnya.
"Kamu sakit bohongan ya?" Tanyanya sambil ngos-ngosan padaku.
"Ah! Kalian kenapa?" Perempuan bernama Anindhita itu heran.
"Rusuh. Lihat!" Tunjuknya. Kami pun menoleh ke arah yang ditunjuknya. Oh astaga; gerbangnya roboh. Aku takjub sendiri.
Entah apa yang membuat perempuan itu justru hendak mendekati massa yang menurutku sudah tidak kondusif.
"Kamu gila?!" Sergahku
"Ini tugasku. Jika medis ikut kabur juga siapa yang mengobati jika mereka terluka karena kerusuhan yang ada?"
"Biarkan saja dia" tutur mas-mas itu sambil duduk di trotoar. Aku mendelik. Laki-laki ini benar-benar.
"Maaf, ini mbak. Makan dulu dan minumlah obat-obat ini. Jangan ada di kerumunan kalau memang mbak tidak terbiasa, juga pakai topi lain kali, panas Semarang memang sedang tidak baik untuk kesehatan" dia berlalu setelah tersenyum dan mengangguk padaku dan laki-laki itu.
Aku menghampirinya. Dia merapikan kertas di tangannya, beberapa di pisahkan untuk membersihkan sepatunya yang.... emm sepertinya kena muntahku tadi."Maaf soal itu" tuturku ikut jongkok di depannya
"Tidak apa-apa. Mbak benar-benar sudah baikan?" Tanyanya tanpa menatapku
"Ya. Apa itu?"
"Apa?" Tanyanya. Kenapa dia selalu balik bertanya. Aku meraih kertas-kertas itu tanpa permisi.
"Pernyataan sikap?"
"Oh. Iya, itu kumpulan press rilis dan hasil kajian aksi hari ini" jelasnya
"Untuk apa?"
Dia menatapku untuk pertama kalinya, lalu memalingkan muka "Kenapa kamu ikut aksi?"
"Diajak temen" jawabku sambil membaca kertas-kertas tadi. Kami terdiam cukup lama.
"RUU P-KS ini..."
"Iya. Multi tafsir, kan? Bukan hanya RUU yang itu saja yang lain juga"
"Mas dari Universitas mana?" Aku memastikan
"Namamu siapa?" Timpalnya tanpa menghiraukan pertanyaanku. Dia benar-benar hobi bertanya. Simpulku sedikit dongkol.
"Renjana. Renjana Kyra" aku mengulurkan tangan
"Ferdian Zaki. Salam kenal"
Tanganku tak bersambut, tetapi untuk kedua kalinya dia tertawa. Lalu mengatakan padaku untuk berhenti memangilnya mas karena dia belum tua, katanya.
***
Ini bulan keduaku menjadi mahasiswa. Aku masih belum terbiasa dengan Semarang. Ah iya, aku akhirnya di sini, ibukota Jawa Tengah. Untuk pertama kalinya nekat, jauh dari Mama dan Papa tanpa sanak-saudara.
Bulan pertama, aku benar-benar kewalahan melewati serangkaian orientasi mahasiswa baru, kalau saja di rumah, ada Mama atau Papa yang bisa dimintai tolong tapi di sini aku harus mulai terbiasa menghadapi semuanya sendiri.Aku sempat mengurung diri di kamar selama beberapa hari karena merasa tidak sanggup meneruskan kehidupan sebagai anak rantau. Tetapi, tidak ada waktu untuk berbalik, jika menyerah sekarang bukannya terlalu dini membuat orang-orang yang membenciku tertawa menyepelekan?
Hmmm.. Petualangan ini baru benar-benar dimulai.
Bersambung....
KAMU SEDANG MEMBACA
Benang Merah
Beletrie[Malam Sabtu bersama Senandika_33] Renjana, Ferdian, dan Anindhita , terlahir dari keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Takdir selalu saja membuat ketiganya jatuh, tersungkur, hingga titik nadir kehidupan pun mau tak mau harus ditelan. Dunia...