Sudah pukul 16.44 WIB, kalau tidak pulang sekarang kami akan melewatkan bus terakhir. Tetapi batang hidung Mika belum juga tampak. Harusnya dia sudah tiba sejak 44 menit yang lalu. Pesanku masih belum dibaca sejak pukul 10.00 pagi tadi. Ini aneh, sejak berangkat sikapnya memang sudah aneh. Pertama; berangkat naik bus adalah sebuah kemustahilan bagi seorang Mika. Dia tidak pernah suka kendaraan umum. Kedua; sepatu yang sama selama tiga hari, Mika selalu mengganti sepatunya setiap hari sesuai seragam yang dia kenakan. Ketiga; kantung matanya yang menghitam, dia bukan laki-laki yang suka begadang hingga kelelahan. Aku harus mengkonfirmasi hal ini. Sesuatu pasti sedang terjadi padanya.
"Jean!" panggil seseorang setengah berteriak.
Itu dia! batinku.
"Kamu, okay?" tanyaku, memberinya sebotol air mineral sisa olahraga tadi siang
Dia meneguk air itu sambil berdiri.
"Duduk, Mika!" tukasku menarik tangannya hingga tubuhnya terduduk.
Dia patuh dan terus meneguk botol di tangannya kosong.
"Kenapa kamu berlari seperti itu? Kan bisa berhenti depan gerbang angkotnya"
"Aku memang lari"
"Hah? maksudmu berlari dari sekolahmu ke sini?"
"Ya! tepat" tukasnya masih mengatur nafas.
Aku langsung menempelkan punggung tanganku di keningnya. Benar saja, suhu tubuhnya langsung naik
.
"Kamu kacau, ayo kita ke UKS sebentar"Mika menarik tanganku yang mulai beranjak hingga terduduk lagi di sampingnya.
"Tidak usah, kita harus segera pulang. Sebelum bus terakhir berangkat"
Dia bangun sambil merapikan jaketnya, dan memakaikan topi di kepalaku."Ayo!"
Mika. 19 tahun. Usia kami terpaut satu tahun, tetapi aku memulai Sekolah Dasar(SD) satu tahun lebih cepat sehingga kami terbilang satu angkatan. Dia temanku sejak SD, satu-satunya temanku tepatnya. Pertemanan yang berawal dari sebuah perkelahian hebat saat kelas empat yang menyebabkan tiga orang murid di kelasku drop-out. Mika terlibat di dalamnya, dan percaya atau tidak semua itu karena aku. Pertemanan karena pertaruhan darah bisa dibilang. Karena ingatan yang tidak akan pernah bisa aku lupakan dari masa itu adalah tentang wajah Mika yang penuh lebam dengan hidup dan mulut yang bercucur darah. Kenapa?
"Aku tidak tahan dengan mereka" ucapnya saat kutanya. "....kamu sendiri kenapa hanya diam diperlakukan seperti itu? Apa hanya karena di TV anak berkacamata itu culun dan menjadi objek bullying lantas mereka juga memperlakukanmu seperti itu? Sampah memang TV! harusnya tidak usah ada TV".
Dia selalu geram setiap kutanya soal kejadian itu yang ujungnya membuat pidato panjang lebar tentang pendidikan, TV dan KPAI. Tunggu! jadi aku memang sudah memakai kacamata sejak SD. Mataku mengalami gangguan dan mengharuskanku memakai kacamata sejak dini untuk pengobatan. Dan saat itu tidak lumrah anak usia SD memakai kacamata.
"Ah, syukurlah masih keburu" tuturnya setelah memilih tempat duduk di dalam bus
"Mika?"
"Ya?" sahutnya sambil memejamkan mata menikmati sentuhan kursi bus yang empuk di punggungnya setelah berlari berkilo-kilo dari sekolahnya ke sekolahku, berlanjut dari sekolahku ke halte bus.
"Ada yang ingin kamu bicarakan denganku?" pancingku.
Mika membuka mata. Raut wajahnya mengeras mendengar pertanyaanku.
"Kenapa, Jean?"
"Tidak apa-apa. Hanya saja kamu sedikit aneh belakangan ini. Kenapa kamu harus repot-repot naik bus? Dimana ponselmu? Belakangan kamu sulit sekali dihubungi. Dan hari ini kenapa kamu susah-susah berlari? Kan ada angkot Mika"
Mika hanya tersenyum. "Tidak apa-apa" responnya singkat.
Ini tidak benar. Ada yang salah. Kamu berbohong Mika.
..bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Benang Merah
Ficción General[Malam Sabtu bersama Senandika_33] Renjana, Ferdian, dan Anindhita , terlahir dari keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Takdir selalu saja membuat ketiganya jatuh, tersungkur, hingga titik nadir kehidupan pun mau tak mau harus ditelan. Dunia...