[Ferdian] Rasa Bersaudara

18 3 0
                                    


Lima bersaudara dengan jarak usia yang tidak jauh, ada rasanya saya perlu mensyukurinya. Dan saya merasakan bagaimana memiliki satu kakak laki-laki dan tiga adik. Rasanya ketika kami tidak mendapat teman di lingkungan sekitar rumah karena Ayah-Bunda yang sempat berpindah-pindah rumah tidak masalah. Karena saudara saya cukup menjadi teman bermain.

Meski tak jarang kita bertengkar ketika bermain. Mulai dari berebut mainan, bahkan berdebat karena perbedaan pendapat ketika membahas alur cerita kartun serial televisi favorit kita. Karena separah apapun kami bergelut hingga adu fisik, Ayah atau Bunda akan mendamaikan dan memaksa kami saling memaafkan dan mencoba menghukum siapapun yang bersalah.


Dan pasti akan saya kenang masa-masa itu. Tersebab pertengkaran yang terjadi satu hari kala itu, sudah biasa saja dan menjadi senda gurau beberapa momen setelahnya. Dan keceriaan setelah berbesar hati memaafkan itu tidak mudah didapati ketika kami mulai tumbuh dewasa.

***

"Sudah biarin aja, anak aneh memang!" ujar Kakak kepada adik-adik yang lain agar tidak menghiraukan kelakuan saya.

Kalimat itu membuat saya merasa sakit mendengarnya. Iya sakit meski tidak tampak ada yang terluka. Saya menangis sejadi-jadinya dengan posisi telungkup di atas lantai tanpa alas.

Saya sempat bertengkar dengan Kakak sore tadi. Awalnya kami bermain hingga suatu momen saya berbuat iseng yang malah membuat saya dianggap keterlaluan dan mengganggu adik-adik saya yang lain. Ego saya membawa saya agar tidak perlu merasa bersalah, karena Kakak kalau berlaku iseng pada saya selaku adik terdekat terkadang juga tidak kira-kira. Sehingga kondisi setelah itu, saya tidak mau berbicara dengan Kakak hingga dia mulai mengakui kesalahannya.

Tapi yang terjadi malah kondisinya semakin berlarut-larut. Karena saya tidak mau mengobrol dengan Kakak, justru malah membuat dia mengabaikan saya lebih parah. Padahal kami sebelumnya biasa ketika kami marah untuk pura-pura saling cuek dan tidak saling berbicara, tapi kondisi kali ini lebih parah. Karena setelah berhari-hari kami tetap tidak ada bertegur apalagi saling berbicara.

"Sesama muslim aja boleh tidak saling menegur paling lama tiga hari. Ini kalian sudah berapa hari? Ha, berapa lama? Apalagi kalian saudara, saudara kandung lagi! Duh," Bunda menasehati kami dengan nada tegasnya.

Aku hanya bisa diam tertunduk ketika Bunda seperti itu. Tapi aku masih dengan ego menunggu Kakak yang lebih dulu meminta maaf untuk aku maafkan. Dan Kakak masih saja betah membuatku menunggu.

"Kalian kenapa sih? Apa yang menjadi penyebabnya? Hah?" kali ini Ayah mencoba masuk untuk bertanya.

"Eh, apa ya masalahnya? Kok aku bisa marah sama kakak ya?" tanya dalam hati saya.

Pertanyaan Ayah membuat saya berpikir lagi. Dan aku menjadi bingung karena saya sudah lupa dengan masalahnya. Tapi kembali saya mendapati bisikan, ya pokoknya Kakak yang salah dan harus Kakak duluan yang mengakui. Kebencian kembali hadir dalam kebingungan apa yang menjadi sebab saya marah.

"Bisa-bisanya kalian masih tahan tanpa berbicara satu sama lain gini. Padahal tinggal satu atap, di rumah yang sama. Ketemu 'tiap hari...." Bunda kembali mengomel.

Saya malah terpikir untuk melanjutkan studi di tempat yang jauh sekalian agar tidak bertemu dengan Kakak saya tersebab pertengkaran kami. Kalau perlu luar negeri antar benua sekalian lah, kalau tidak antar provinsi yang jauh gitu pikir saya. Perkataan Bunda justru memberikan Motivasi baru bagi saya.

Saya menjadi belajar lebih giat, agar segera menyelesaikan sekolah agar bisa mudah mendapat beasiswa lanjut studi jauh. Agar tidak lagi perlu diprotes kalau tidak bertegur dengan Kakak, karena sudah tidak bertemu terus. Selanjutnya meski masih belum memaafkan, bila saya melihat wajah Kakak justru hadir motif baru agar lebih baik.

Tapi masih ada dalam lubuk hati saya menyisakan pertanyaan. Apakah saya masih bisa berbaikan dengan Kakak? Bilamana saya bisa memaafkan?

Bersambung...

Benang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang