[Anindhita] - Obat Terbaik

8 1 0
                                    

Karena waktu selalu saja menjadi obat terbaik.

Tapi tidak bagiku, hari ini hari pertamaku menjalani dunia kampus. Akhirnya setelah perundingan cukup panjang dengan Ayah dan Ibu, aku mengalah. Impianku menjadi scientist dan mengambil kuliah teknik kimia harus pupus lebih dini dari yang ku duga.

Here I am. Berdiri mengumpulkan semangat di Fakultas dengan lambing berwarna hijau. Ku buang napasku perlahan, entah apa jadinya diriku di depan sana nanti. Ku ingat sekilas kembali, percakapanku dengan Rani beberapa jam sebelum pendaftaran ujian tulis terakhir ditutup.

"Yakin mau ambil kedokteran Nin?" Tanyanya

Mendengar pertanyaan Rani, aku menghempaskan tubuhku ke sofa rumahnya. Kami sedang belajar bersama saat itu.

"Tidak ada pilihan kita yang benar-benar kita pilih bukannya Ran?" Ku jawab santai, tanganku sibuk bermain rubik kesayanganku, melatih jari-jariku.

Mendengarnya, Rani tertawa. "Karena kita ga pernah boleh menjadi egois dalam hidup kita sendiri? Bener kan?" Tanyanya lagi.
Aku hanya mengangguk.

"Jadi, udah menyiapkan diri belajar tubuh manusia? Apalah itu namanya orang bilang, Anatomi? Fisiologi?" Pertanyaan Rani kali ini jelas ingin mengingatkanku, bahwa bahkan sepanjang SMP-SMA nilai biologiku mentok di standard nilai lulus minimal. Berbanding terbalik dengan pelajaran hitungan seperti matemattika, fisika, kimia.

"Entahlah. Siap ngga siap." Ku jawab singkat, rubik ditanganku kini hampir selesai.

"Kalo buat masuk kedokteran, ngga menyangsilah, peluangmu masuk besar. Secara gitu, ujian tulis nasional kita isinya matematika, fisika, kimia, mat dasar, TKD, TKPA. Yaaa, so far kalo pun biologi pas-pasan, peluang masuk masih besarlah. Tapi, kehidupan setelah masuknya?" Kali ini pertanyaan Rani mengusik pikiran, Rani benar.

Kehidupan setelah masuknya? Kalimat terakhir yang diucapkan Rani hanya ku jawab dengan gelengan kepala, pasrah.

***

Kehidupan setelah masuknya? Teringat kembali kalimat terakhir Rani di pembahasan pilihan terakhir. Sekali lagi, ku tarik napas panjang. Ku buang perlahan.

"Nin!" suara yang tidak asing menyapaku.

"Hai!" ku sapa Indah, teman sekelasku ketika di bangku SMA dulu

"Ku kira kamu bakal daftar ke jogja juga kaya Rani." Kata Indah, kalimat pembuka yang mengusik ingatanku kembali pagi ini.

"Ga kasih izin Bapak buat ke luar kota." Jawabku

Indah memainkan layar smartphonenya. Hingga berhenti meng-scroll, "Nin, coba lihat deh. Rani cantik ya berdiri di depan FK sana." Kata Indah.

Ku lihat feed instagram terbaru Rani dari smartphoneku sendiri. Fotonya di depan fakultas kedokteran yang sudah ku hapal karena sering main ke tempat Bang Bayu dulu. Ku baca captionnya. "Here I am, Alhamdulillah" . Ratusan like dan ucapan congratulation meramaikan postingannya.

"Ku kira, awalnya Rani mau masuk Teknik.. banting setir ya dia?" Tanya Indah. Pertanyaan yang aku sendiri tak tahu jawabannya.

Aku menggeleng, ku sungging senyum seolah tak terjadi apa-apa. Padahal banyak sekali pertanyaan ingin segera ku tanyakan pada Rani, aku ingin penjelasan.

"Iya, gitu lah. Kita semua akan banting setir pada waktunya Ndah. Kondisi situasi setiap saatnya berubah." Jawabku mengakhiri percakapan kami karena mahasiswa baru sudah diminta berkumpul di lapangan tengah.

"Ndah, makan yuk." Kataku mengajak Indah, istirahat di masa matrikulasi seperti ini cukup singkat. Kami diharuskan mampu membagi waktu sedemikian rupa.

'Line' smartphoneku berbunyi, saat kami sedang berjalan ke arah kantin.

'lagi ishoma ya? Boleh telpon sebentar? Aku mau menjelaskan banyak pertanyaanmu.'

Sebuah chat panjang khas seorang Rani, saat rata-rata orang lebih suka membuatnya menjadi chat pendek-pendek.

'ok, sebentar.' Ku balas singkat ditambah sebuah sticker big hero favoritku.

Kantin cukup ramai, aku dan Indah memesan makanan. Ku lihat Indah memesan ayam geprek mozarela, kelihatannya enak. Tapi perutku sedang tidak berdamai dengan makanan pedas.

"Bu, nasi ayam sayur sop ya" kataku akhirnya pada Bu Mar, nama Ibu penjual di kantin yang tersedia berbagai sayur dan lauk ini.

"Ndah, aku ke sana bentar ya, Rani telpon." Kataku pada Indah, diikuti anggukan kecil.
Setelah kupastikan cukup tenang, di depan sebuah taman belakang gedung perkuliahanku, ku hubungi Rani.

"Hai! Assalamualaykum" suara Rani terdengar riang tanpa rasa bersalah sedikitpun terdengar.

Kubuang napasku, meski ingin sekali marah, rasanya jarak yang cukup jauh cukup berhasil membuatku berpikir ulang agar tidak marah. "Walaykumussalam" jawabku pendek, sengaja memberi sinyal bahwa Rani membuatku kesal.

Rani tertawa mendengarnya. Kami memang sangat berbeda. Aku cukup pemikir dan perasa, sedangkan Rani adalah sosok yang riang dan ceria. Bila aku lebih suka menghabiskan waktu lama-lama dengan setumpuk buku, Rani akan lebih memilih menghabiskan waktu sorenya dengan tim basket sekolah kami.

"Udah ketawanya?" kataku, masih tak habis pikir Rani bisa membohongiku selama ini.
Bahkan saat terakhir kali kami bertemu, tepat seminggu lalu saat Rani pamit kepadaku, juga sekaligus kepada kedua orangtuaku, aku masih membisiki semangat padanya menjalani kehidupan Teknik yang ku dengar cukup keras. Dan dia tersenyum.

"Ayah Ibumu tahu kok aku keterima di FK. Bang Bayu juga tahu. Maaf, aku mau ngabarin kamu kalo aku nyoba daftar FK juga, tapi ku lihat waktu itu kamu masih sedih. Sedangkan ujian tulis udah deket banget waktu itu. Daripada aku bikin kamu mikir kan, yaudah aku diem dulu. Niatnya kemarin pas pamitan, mau cerita juga. Tapi lagi-lagi kamu masih murung. Ya aku urung." Penjelasan Rani cukup masuk akal.
Ku hembuskan napas panjang. Penjelasan Rani lagi-lagi membuktikan kepadaku kalo dia jauh lebih dewasa dariku.

"Udah dapet kabar dari Dimas?" sebuah pertanyaan Rani membuat denyut jantungku meningkat signifikan.

"Belum. Ih, kok malah ganti topik gini. Aku masih belum selesai marahnya." Jawabku.

Rani tertawa pelan di ujung sana, "Maafin aku ya Anindhita Gadis. Ceritanya cukup panjang. Singkatnya kayak kalimat yang kamu bilang di rumahku dulu, kalo hidup kita gak bisa seegois itu, meskipun dalam hal pilihan yang menyangkut kehidupan kita sendiri. Aku akhirnya memilih mengalah, menuruti kemauan Papa sama Mama. Yaa gimana, Papa Mama pingin anaknya bisa ada yang jadi dokter, meneruskan Beliau-Beliau."

Aku tersenyum mendengar penjelasan Rani, "Ran, terimakasih." Kataku.

"What for?" Tanya Rani, bisa ku bayangkan ekspresi wajahnya pasti sedang menunjukkan ekspresi bingung.

"Penjelasannya. Telponnya siang ini. Terimakasih." Jawabku pendek.

Rani tertawa pelan kembali, "Kuat-kuat ya disana. Kan jadi enak kali kalo kaya gini kita bisa sharing materi kuliah kan?"

Kali ini, aku yang tertawa "Maksudnya sharing tu, kamu yang mau fotokopi catetanku?" Ledekku, mengingat kenangan manis di jaman aku Rani dan Dimas bertukar catatan menjelang ujian semesteran. Lebih tepatnya, Dimas dan Rani memfoto kopi catatanku.

"Yaudah, udah mau masuk nih. Nanti aku sambung lagi ya Nin. Ohiya, dapet salam dari Dimas. Katanya selamat dan semangat kuliahnya. Dia ga berani ganggu kamu. Assalamualaykum." Salah satu kebiasaan Rani, menutup telpon sepihak.

"Waalaykumussalam." Jawabku.
Mendengar nama Dimas kembali disebut, entah perasaan apa namanya yang saat ini ku rasa.

Bersambung....

Benang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang