[Ferdian] Prolog Saya

38 5 0
                                    

Langit semakin kelam, membuat saya semakin enggan berjalan. Tapi saya harus terus berjalan, agar sampai rumah sebelum hujan deras turun. Saya berjalan perlahan dengan wajah muram yang tertunduk. Saya mencoba meyakinkan diri bahwa semua ini akan berjalan baik-baik saja. Tapi, saya tetap penuh dengan kekhawatiran akan perjalanan yang saya lakukan ini.

Saya yang memilih jalan ini. Saya juga yang menginginkan untuk merantau dari kota kelahiran. Berencana sejak lama akan melanjutkan studi di daerah yang cukup jauh dari rumah. Tapi saya tidak mengira akan terasa berat, karena saya termasuk lamban dan tidak cakap dalam beradaptasi di lingkungan baru.

Ini adalah hari pertama saya sebagai mahasiswa perguruan tinggi. Sungguh tidak terpikirkan sebelumnya akan menjalani ini melainkan sangat sedikit. Dan begitulah bagaimana cara kerja ketetapan Allah, yang mana jalan kehidupan manusia tidaklah selalu sesuai yang diharapkan dan kita tidak tahu di mana kebaikan itu hadir.

***

“Ayo langsung buka sekarang aja,” Ayah mulai dengan nada sedikit penekanan kepada saya.

Saya berbaring di hadapan Ayah dengan menghadap membelakanginya tidak bergeming, sedang malas untuk menuruti pinta Ayah.

“Hei, denger ga sih Ayah bilang? Ayo bisa dibuka di mana, buka sekarang aja!” nadanya mulai meninggi melihat kelakuan saya.

“Enggaak, sekalian besok aja sama pengumuman hasil ujian tulis yang di Jogja,” jawabku datar tanpa menoleh menghadapnya.

“Lagian ini kan yang mau kuliah saya, ngapain Ayah yang bersemangat melihat pengumumannya sih?!” batinku

Ayah kemudian tanpa berkata membawa laptopnya ke dekat tempatku berbaring di ruang keluarga yang cukup berantakan. Tampak Ayah langsung menghubungkan laptopnya dengan koneksi internet menggunakan modem. Setelah itu saya tak memperhatikan lagi yang dilakukan Ayah.

“Berapa nomor pesertamu? Ayo tinggal masukkan aja…” ternyata Ayah langsung mencari situs pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi yang saya ikuti.

“emmmhh, besok aja, Yah!” jawabku tak mau kalah.

Mimik muka Ayah berubah memerah ketika aku mencoba menoleh melihatnya. Terlihat pula beberapa kali tarikan dan hempasan napas Ayah menunjukkan amarah yang sedang berusaha ia kendalikan. Tapi melihat hal tersebut tidak membuatku berubah pikiran.

Namun, setelah perdebatan cukup lama yang kemudian ditengahi oleh Bunda, akhirnya saya melunak. Sore itu saya buka pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi. Dan keesokan hari ketika melihat pengumuman hasil ujian tulis yang di Jogja, menyimpulkan satu hal. Saya diterima pada pilihan terakhir saya dan akan berkuliah di Fakultas Teknik di perguruan tinggi di Kota Semarang.

***

Perdebatan sengit dengan Ayah di hari itu bukan tanpa alasan. Saya cukup kecewa dengan Ayah dengan keputusannya belakangan. Pindah rumah dalam beberapa bulan terakhir setelah menetap sekitar 10 tahun tentu tidak mudah untuk saya terima.
Bukan keputusan pindah rumahnya yang membuat kecewa, tetapi bagaimana Ayah yang suka dadakan itu menyebalkan. Saya ingat bagaimana Ayah secara mendadak mengajak melihat sebuah rumah. Ternyata keesokan harinya Ayah mengumumkan kami akan pindah ke rumah tersebut.
Ayah tidak terbuka terhadap kami anak-anaknya tentang masalahnya yang menjadi sebab juga Saya kesal ketika itu.

“Mohon pengertiannya ya, nak. Ayah lagi merugi dan banyak hutang. Dan rumah kita ini sudah terjual” ujar Ayah mencoba menjelaskan dengan tenang.

“Hah? Merugi, banyak hutang? Ayah engga pernah cerita sebelumnya”

“Iya, nak. Makanya asset Ayah banyak yang sudah dijual. Dan termasuk rumah ini.”

“Hmmmm…. Tapi kenapa harus rumah sih, Yah??”

“Doakan Ayah dan Bunda supaya rezekinya terus lancar ya!” jawab Ayah mencoba menutup perbincangan.

Tentu cukup mengesalkan pindah rumah dadakan, dan diberi pengertian sekadarnya begitu. Saya masih belum dapat menerima mengapa harus meninggalkan rumah sendiri yang telah lama kami tempati untuk pindah ke rumah milik orang lain dengan perjanjian sewa. Ya meski saya sudah menyadari sih, bagaimana urgensi terhadap kondisi finansial keluarga saat itu di mana saya yang sudah lulus SMA akan kuliah juga.

***

Sebelum pindah, acap kali terlihat Ayah dan Bunda berdebat hingga ribut. Masih tergambar dengan jelas dalam ingatan saya setelah berselisih pendapat, beberapa perabot melayang dan beberapa piring terbuat dari kaca jatuh hingga pecah menambah keributan kala itu. Belum lagi kakak yang masih saja membuat ulah, dan saya masih belum sanggup berbicara dengannya. Perselisihan dengan kakak yang membuat saya berpikir untuk melanjutkan studi di daerah yang jauh, agar kami tidak sering berjumpa dan mulai meredakan kedengkian saya.

Motivasi lain saya yang cukup kuat adalah adik-adik saya, yang memberi cahaya harapan yang lebih terang. Waktu saya yang hanya sesaat di rumah baru ini membersamai Ayah dan Bunda akan diteruskan dengan warna warni cahaya mereka. Semoga kehidupan keluarga di rumah baru semakin kondusif, karena saya akan meninggalkan mereka dan rumah ini, juga meninggalkan kota kenangan menuju lingkungan baru untuk studi saya.

Di rumah baru kami mencoba menumbuhkan harapan baru. Berusaha menerima yang telah terjadi dan memaafkan kesalahan yang lalu. Sehingga di rumah baru ini menjadi lembaran baru bagi keluarga kami. Termasuk saya yang sering mengacaukan hubungan dan interaksi di keluarga ini, dengan perginya saya semoga memberi kesempatan perbaikan bagi semua.

Tetapi tantangan jalan yang saya pilih ini tentu tidak mudah juga. Terlebih saya harus beradaptasi kembali. Senikmat apapun bebasnya hidup sendiri jauh dari keluarga tentu tidak senikmat dengan kenyamanan hidup bersama keluarga.

bersambung...

Benang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang