[Ferdian] Bimbang

9 0 0
                                    

“Kamu sudah nentuin mau lanjut kuliah apa?” Rista tiba-tiba melayangkan pertanyaan padaku.

“Belum sih, tapi sedang kupikirkan beberapa opsi pilihannya. Tapi aku maunya jurusan Teknik Komputer atau Sistem Informasi. Beberapa kampus Teknik jadi pilihan utamaku, institut teknologi di Jawa Barat yang pertama dan institut teknologi yang di kota ini setelahnya. Kalo dirimu gimana?” Tanya saya balik pada Rista.

“Enak ya kamu…”
“Enak gimana?” selaku.
“Enak, sudah tau mau melanjutkan ke mana, melajarin apaa. Aku masih bingung nih mau lanjut ke mana. Pengen sih melajarin kesehatan kesehatan gitu, tapi aku tuh ngerasa ga pantes kalo ke Universitas A …” Rista mencurahkan perasaannya panjang lebar.

Saya menyimaknya dengan seksama dan memberikan tanggapan seperlunya. Saya dan Rista duduk mengobrol sambil makan di sebuah restoran cepat saji. Setelah membahas beberapa tugas, kami membicarakan beberapa hal terkait masa depan kami.

Ting tung… terdengar dering dari ponsel Rista.
“Zakii, kita tunggu Dian dulu ya. Hilda mau nyusul ke sini” Ujar Rista setelah mengecek pesan Hilda dari ponselnya. Hilda merupakan teman sebangku Rista di sekolah kami.
Saya menatap Rista yang menghadap layar ponselnya setelah berbicara, memanggilku dengan panggilan Zaki. Tatapan saya menjadi dalam, pikiran saya berkelana. Panggilan Zaki bagi saya itu menunjukkan kedekatan kami, panggilan yang digunakan hanya oleh keluarga saya. Karena di sekolah saya lebih umum dipanggil dengan Ferdian atau hanya “Fer”.

Saya dan Rista cukup akrab di masa akhir sekolah ini. Beberapa kali berkelompok di kelas, kerap berlanjut hingga obrolan di luar sekolah seperti di restoran cepat saji seperti ini. Bahkan berlanu berbalas pesan dan bertelepon juga ketika di rumah.

“Assalamualaikum, ciyee berduaan aja…” salam Hilda ketika menghampiri kami.
“Waalaikumussalam, apaan sih Hil,” jawab saya dengan mencoba tetap tenang.

Kedatangan Hilda malah membuat kami lebih tenang dan lepas lagi dalam mengobrol. Karena meski cukup intensif interaksi antara saya dengan Rista, sungguh di antara kami hanya saling berbagi sesama sahabat saja. Bahkan seringnya malah kami bercerita tentang kisah asmara anak SMA yang bodoh dari masing-masing saya dan Rista.

*****

“Gimana hasil try out-mu?” tanya Rista melalui pesan singkat.
“Belum tahu, ini baru mau lihat” balas saya dengan singkat.
Saya pun menuju papan pengumuman Try Out SBMPTN di tempat bimbingan belajar saya.

“Hasil yang tidak mengecewakan. Tapi harusnya bisa saya tingkatkan lagi,” tekad saya melihat hasil yang menunjukkan nilai saya masih besar harapannya.

Target utama saya agar kuliah di jauh ke institut di Jawa Barat secara nilai masih harus ada peningkatan nilai saya dari hasil try out agar bisa masuk diterima. Tapi secara opsi kedua untuk kampus Teknik di kota Pahlawan ini nilai saya sudah masuk, tapi belum sepenuhnya aman juga. Sehingga saya butuh rencana untuk pilihan jurusan dan perguruan tinggi yang harus saya tentukan.

“Yang penting nilaimu aman melampaui standar nilai di pilihan ketiga, jadi sejebloknya nanti masih mungkin diterima di pilihan ketiga,” saran mas Akmal, salah satu konselor di tempat bimbingan belajar yang dekat dengan rumah saya itu.

*****

“Kamu sudah yakin dengan jurusan pilihanmu?” tanya Bunda pada saya yang menatap layar komputer membuka situs resmi beberapa perguruan tinggi guna membaca profil jurusan yang saya tuju di seleksi masuk ini.

“Iya Bund, ini baca-baca profilnya biar makin yakin,” jawabku dengan sejenak memalingkan badan dan muka ke hadapan Bunda.

“Bunda percaya sama kamu. Kamu yang menjalani sendiri ke depan. Karena ga ada paksaan dari Ayah dan Bunda, kamu niatin yang bener kuliahnya,” pesan Bunda dengan lembut, yang tidak terduga oleh saya.

Saya kembali merenung mencoba memahami maksud Bunda tadi. Beberapa kali sebelum ini Bunda kerap menanyakan keputusanku memilih ini dan itu dan mencoba memberi tawaran pertimbangan apa yang lebih baik menurut Bunda untuk saya tentukan pilihan. Begitu pula Ayah yang seringnya memberi tawaran pertimbangan bagi saya, tapi malah berkebalikan dengan pernyataan Bunda barusan.

“Apakah ini karena saya yang keras kepala dan susah diatur, sehingga Ayah-Bunda malah melepas kepada saya sendiri tanpa mengajukan tawaran-tawaran lain lagi?”
Saya pada masa-masa akhir sekolah ini cukup mengkhawatirkan sebenarnya. Cukup banyak pengalaman aktivisme pelajar dan prestasi nilai akademik yang masih terbaik di kelas melenakan saya. Belajar sekenanya kalau mau, main dan bersantai menjadi candu bagi saya.

Aktif di Sie Kerohanian Islam Sekolah sejak tahun pertama, sempat dicalonkan menjadi ketua pula di tahun kedua. Menjadi Koordinator di beberapa kepanitiaan, dan turut serta dalam beberapa kompetisi lokal hingga nasional pernah saya geluti. Ekstrakulikuler IT, beladiri karate, hingga peduli lingkungan juga sempat saya terlibat kegiatannya. Bahkan tak jarang saya menginap di sekolah untuk kegiatan-kegiatan itu.

Di luar sekolah, saya juga sempat berkumpul dalam satu lingkaran dengan para ketua OSIS dan ketua rohani islam di SMA Negeri unggulan di pusat kota. Berkenalan dan kemudian aktif juga dalam organisasi Teens Club Surabaya, membuat saya banyak berkembang. Meski kontribusi saya tidak seberapa, saya sempat dipercaya memimpin Teens Club sebagai Presidennya yang berkomunikasi dengan berbagai Sekolah seluruh penjuru kota. Termasuk agenda besar yang kami tangani adalah Try Out Akbar bagi pelajar SMP. Saya kemudian juga sempat menjadi delegasi Jawa Timur dalam forum tingkat nasional, dan beberapa waktu menjadi koordinator wilayah Jawa Timur.

Dan secara nilai-nilai saya di sekolah masih terhitung yang terbaik, meski sempat naik turun juga. Dan hal itu menyebabkan saya malas untuk belajar dan lupa untuk fokus mempersiapkan untuk seleksi masuk perguruan tinggi. Dan lebih tidak fokus lagi ketika saya mulai bersentuhan dengan masalah asmara.

Bersambung...

Benang MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang